Personel kepolisian kembali menjadi orang nomor satu di jajaran petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi. Inspektur Jenderal (Polisi) Firli Bahuri, yang sekarang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, dipilih secara aklamasi Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Ketua KPK masa bakti 2019-2023.
Nama Firli tiga bulan terakhir menghiasi media massa, tapi bukan dalam nuansa positif. Pasalnya dia dilaporkan berbagai sumber melakukan pelanggaran etik serius saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Akibat pelanggaran itu, Firli dikembalikan ke kepolisian. Terus bertahannya nama Firli dalam seleksi DPR memicu aksi penolakan dari 500 anggota wadah pegawai KPK.
Videos by VICE
Proses pemilihan ini berlangsung amat cepat, hanya selang beberapa jam setelah uji kelayakan 10 calon pimpinan KPK tuntas dilaksanakan Komisi III yang membawahi bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan. Artinya pengujian 10 capim, voting menyempitkan lima nama, ditambah proses musyawarah memilih Firli jadi Ketua KPK, berlangsung dalam dua hari saja selama 11-12 September 2019. DPR sebelumnya butuh pemungutan suara bertele-tele untuk memilih lima nama pimpinan KPK, termasuk sosok ketuanya.
Bersama Firli sebagai ketua, empat pimpinan KPK lainnya untuk empat tahun mendatang adalah Alexander Marwata wakil ketua KPK saat ini, Lili Pintauli Siregar yang sebelumnya Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Nawawi Pomolango yang berlatar hakim pengadilan tinggi, serta akademisi Nurul Ghufron. Kelima nama itu dalam uji kelayakan mendukung sepenuhnya, ataupun sebagian poin dalam revisi UU KPK yang memicu kecaman publik.
Setelah dipastikan terpilih, Firli berjanji bakal memperkuat hubungan antara KPK dan lembaga legislatif. “Dalam rangka melakukan pencegahan [korupsi] kita ingin membangun generasi berkarakter. Kita juga akan bekerja sama dengan anggota dewan, partai politik,” ujarnya seperti dikutip Detik.
Sebagian netizen di Twitter bergegas mengungkapkan keheranan dan rasa kecewa, karena sosok paling kontroversial justru menjadi ketua KPK. Sindiran pun sejak muncul buat pegiat antikorupsi yang kini bekerja untuk istana, karena dianggap gagal mempengaruhi presiden agar tak melemahkan KPK. Sebaliknya buzzer dan akun politik anonim pendukung Jokowi mengapresiasi terpilihnya Firli, serta menyatakan penyidik KPK senior macam Novel Baswedan tak akan lagi bisa “bertingkah”.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, menyatakan parlemen tidak perlu berlama-lama menunjuk lima dari 10 nama yang tersedia. Alasannya semua sosok itu sebelumnya sudah dikaji oleh tim panitia seleksi yang dipimpin Yenti Garnasih. “Pansel menyampaikan bahwa 10 nama-nama [capim KPK] yang sudah mengikuti proses seleksi dan uji kompetensi yang dilakukan oleh tim pansel, dinyatakan clear,” kata Masinton, seperti dikutip liputan6.com.
Sejak awal pekan ini, serta dari pantauan pelaksanaan tes uji kelayakan, mayoritas anggota Komisi III sudah menunjukkan dukungan bulat kepada Firli. Tak sedikit anggota DPR menyampaikan pujian pada Firli, karena programnya menekankan pada pencegahan, bukan lagi pemberantasan apalagi sekadar operasi tangkap tangan (OTT). Firli pun mendapat porsi tes paling lama bersama komisi III, dilaporkan CNN Indonesia hingga nyaris tiga jam, dibanding sembilan capim KPK lainnya.
Dukungan terbuka misalnya diutarakan Anwar Rachman, anggota Komisi III dari Fraksi PKB. Dia meminta Firli meredam demonstrasi wadah pegawai KPK yang dianggap bikin “gaduh” lantaran sering bersikap kontra pada pemerintah. Anwar sekaligus menuntut Firli mendukung revisi UU KPK.
“PKB siap all out dukung bapak kalau sanggup. Kalau enggak sanggup PKB dukung yang lain,” kata Anwar seperti dikutip media yang hadir dalam sesi uji kelayakan Firli. Sanjungan terbuka juga diutarakan Wa Ode Nur Zainab dari Fraksi PAN. Dia merasa cocok dengan visi Firli yang mengutamakan pencegahan dan pembangunan sumber daya manusia KPK. “Satu suara dari saya untuk bapak,” ujar Nur Zainab.
Firli mengikuti jejak Taufiequracman Ruki, sosok ketua KPK pertama yang dulunya sempat menjabat perwira polisi aktif. Berbeda dari Ruki yang relatif minim rekam jejak miring (rapor merah Ruki di mata aktivis adalah terlalu politis karena lama di DPR dan tak sigap menyidik kasus), Firli cenderung ditolak banyak pegiat antikorupsi—bahkan mendapat penilaian buruk dari petinggi KPK yang saat ini masih menjabat.
Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers—berdasar laporan 23 Januari lalu dari Dewan Pengawasan Internal—Firli saat menjadi Deputi Penindakan KPK beberapa kali menemui Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi yang biasa dijuluki Tuan Guru Bajang, termasuk di lapangan tenis pada Mei 2018. Pertemuan itu bermasalah, lantaran KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont melibatkan Pemerintah Provinsi NTB. Selain itu, pimpinan KPK menilai Firli bertemu TGB bukan dalam kapasitasnya sebagai personel komisi antirasuah. Keduanya dekat, menurut Kompas, sebab Firli pernah menjabat sebagai Kapolda NTB sebelum ditarik ke KPK.
“Hasil pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal adalah terdapat dugaan pelanggaran berat [atas sosok Firli],” kata Saut dua hari sebelum pemilihan Ketua KPK baru. Pernyataan Saut soal Firli menjadi polemik, serta mengundang kritikan DPR karena dinilai sudah terlambat disampaikan jelang penetapan capim KPK. “Harusnya dikasih tahu dari awal bahwa Firli busuk,” kata Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa saat dikonfirmasi media.
Ketua KPK saat ini Agus Rahardjo, menilai pihaknya perlu mengumumkan indikasi pelanggaran tersebut sebagai pertimbangan untuk semua pihak mengenai sosok Firli.
Aktivis antikorupsi meradang melihat kengototan DPR memastikan Firli menduduki posisi pimpinan KPK. Oce Madril, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM, menilai DPR bisa digugat saat memilih sosok bermasalah jadi petinggi komisi antirasuah. Sebab ada syarat di Pasal 29 UU KPK bahwa pimpinan KPK haruslah tidak pernah melalukan perbuatan tercela.
“Jika ada pimpinan yang terpilih tidak memenuhi syarat bisa saja ada orang-orang yang memperkarakan itu ke jalur hukum,” kata Oce kepada CNN Indonesia.
Pegiat Transparency International Indonesia, Dedi Setiansah, menyoroti lemahnya komisi III DPR menggali integritas dan rekam jejak ke-10 calon pimpinan baru KPK. “Justru yang terjadi hampir semua calon diberikan pertanyaan terkait keberpihakan terhadap revisi UU KPK,” tandasnya.