Banyak orang bilang Superman Is Dead adalah trio pop punk (atau melodic punk) terbesar di Indonesia. Tapi seberapa besar? Bagi saya pribadi, mungkin peristiwa berkesan saat menjadi penyelenggara musik lebih dari 10 tahun lalu bisa menggambarkannya.
Mari kembali ke momen 2003. Band saya, Sajama Cut, membuat acara kecil-kecilan di BB’s Bar, Menteng, Jakarta Pusat. Ini venue legendaris yang menjadi saksi penampilan band-band legendaris di sirkuit independen Ibu Kota seperti The Brandals, The Upstairs, Sugarstar, hingga The Safari.
Videos by VICE
Di acara yang kami namakan ‘Rock Musick’ itu, kami mengundang Seringai (masih dengan pemain bas pertama mereka Toan Sirait, sekarang di band bernama Indah Bangsat); veteran grunge lokal Toilet Sounds; Henry Foundation (sebelum membentuk Goodnight Electric); dan Snorg, grup ngaco-core yang dibuat Eric Wiryanata dari Deathrockstar. Semua tampil memukau dan membakar penonton.
Karena pengalaman kami sebagai EO sangat terbatas, perhitungan durasi yang kami lakukan malah membuat acara selesai jauh terlalu awal. Ketika malam masih sangat muda, penonton mulai ramai, kacaunya penampil sudah hampir semua mengisi panggung. Saya dan teman-teman panitia lain panik. Acara masih jauh dari kelar. Apa yang harus kami lakukan!?
Di saat kritis itulah, tiga orang yang diajak datang posse Seringai—yang sejak datang telah duduk di sudut-sudut bar yang gelap dikelilingi oleh perempuan dan berbotol-botol alkohol mahal—menyelamatkan acara kami. Merekalah trio punk asal Bali Superman is Dead.
Jerinx, Bobby Kool, dan Eka Rock menyapa kami ramah, beda banget dari kesan awalnya. Mereka cerita kalau niat datang ke BB’s hanya berkunjung sebentar, kebetulan diajak menonton gigs oleh teman-teman mereka di Seringai.
Seakan tahu kami panik melihat konser selesai sebelum waktunya, SID menawarkan diri ikut mengisi acara. Tiga kawan dari Bali itu datang tanpa persiapan. Kalaupun mereka bersedia tampil, Bobby harus menggunakan gitar murahan Korea kelas-3; Eka terpaksa menggunakan bass yang begitu katro sehingga tidak memiliki merk; dan Jerinx sedikit beruntung karena setidaknya drum di kafe biasanya tidak dibungkus selotip.
Mereka tidak mempermasalahkan semua kendala tersebut. Sesaat setelah SID tampil, kami mendapat momen luar biasa. Penonton menyaksikan melihat band yang “berkelas.” Memakai alat-alat katrok di panggung, Superman Is Dead membakar BB’s dengan setlist solid, gerakan yang lepas, serta emosi dan keriangan yang tak kalah dari energi konser-konser mereka di panggung skala stadion. Malam itu BB’s yang cilik disulap menjadi seperti CBGB, dan semua keamatiran kami sebagai EO tertebus.
Untuk kolom Rank You Records kali ini, saya ngobrol bareng Jerinx—nama aslinya I Gede Ari Astina— mengenai album-album yang pernah dibuat SID. Seperti wawancara yang pernah dilakukan VICE Indonesia bersama the Brandals ataupun Senyawa, saya meminta Jerinx membuat peringkat, mana saja album SID yang paling dia sukai. Rupanya musisi 41 tahun ini menolak membuat peringkat. Baginya daftar ini lebih tepat disebut sebagai narasi panjang, berupa kepingan memori yang mendalam mengenai album-album dan perjalanan karir mereka sebagai band punk dari Bali yang akhirnya berhasil memperoleh fans fanatik dari seluruh Indonesia yang kini menamai diri OutSIDer dan LadyRose. Berikut hasil obrolan kami:
Case 15; Independent Entertainment (1997)
VICE: Case 15 adalah album debut kalian yang katanya direkam dengan biaya sangat murah. Bisa diceritakan latar belakang pembuatan album ini dan masa-masa awal SID?
Jerinx: I took a lot of pride making this in-your-face, skill-is-dead, fuck-the-world piece of work karena jujur saja ini album yang prosesnya paling menyenangkan buat kami. SID waktu itu enggak punya sama sekali pengetahuan soal rekaman sebelumnya. Di era penggarapan Case 15, kami baru saja mulai kuliah. Era reformasi masih di tahap pembenihan. Alkohol dan drugs? Almost on daily basis. Sejak 1995, kami membawakan lagu-lagu band pujaan seperti NOFX, Green Day, Bad Religion, dan AFI. Satu setengah tahun setelah awal karir, kami akhirnya menemukan pola menulis lagu sendiri. Saat itu Eka dan Bobby lebih dominan dalam proses kreatif, saya lebih ke konseptor atau marketing, dan bantu-bantu di sektor lirik. Kami tak punya uang, tanpa label, dan musik kami susah dijual. Lalu kami punya ide bikin konser bawah tanah, di mana nanti profitnya digunakan untuk rekaman dan duplikasi album perdana. Mendadak satu band jadi EO, haha.
Apakah waktu itu konsernya berhasil?
We did great though. Setelah konser yang sukses di Tabanan dengan SID as the headliner, kami dapat profit sekitar Rp2 juta. Waktu itu tiket masuknya Rp2.500, kapasitas gedung 1.000 orang. The nite was incredible. Pertama kalinya di Bali terjadi konser musik bawah tanah dengan performer lintas genre, mulai dari punk, grunge, sampai metal. Berbekal Rp2 juta dan belasan materi lagu, kami nekat booking studio Midi Quest di Denpasar untuk dua hari rekaman. Everything except the vocals was recorded live. Enggak pakai metronome, no skill, just pure fire. Semua lagu bertempo lebih cepat dari lagu sebelumnya. Bahkan suara Bobby jadi sangat mirip Fat Mike. Kami rilis Case 15 sebanyak 1.000 keping kaset, sold out dalam empat bulan saja.
Proses dijualnya masih total independen?
Jualannya door to door, titip jual di kantin kampus. Enggak jelek lah untuk album yang mungkin tidak melewati proses mixing-mastering plus cover albumnya norak—foto kopian, berisi makian terhadap band-band pop dan para sekuriti kafe ternama di Bali. Kafe orang kaya saat itu. Reaksi massa yang positif membuat kami lebih nyaman menulis lagu sendiri. Finally we are a proper band. We have songs for fucks sake!
Kuta Rock City; Sony Music Indonesia (2003)
OK, ini album yang mengenalkan SID ke khalayak luas Indonesia. Bagaimana sekarang Jerinx melihat proses transisi kala itu ke major label?
Kalau Case 15 adalah album paling menyenangkan, maka Kuta Rock City adalah yang paling gila proses pembuatannya. Saya ingat medio 1999, saat diwawancara koran Bali Post, saya bilang, “jika 5 tahun dari sekarang SID tidak punya masa depan atau dikontrak label besar, kami akan bubar.” Tentu tidak tanpa alasan. We were indie as fuck. Keren sih kelihatannya. Tapi kami enggak bahagia saat itu. Kami ingin hidup dari musik. Maunya jadi drug dealer tapi takut masuk neraka. Intinya tak mau kerja kantoran. Saat itu saya melakoni profesi dagang stiker dan penulis lepas, Eka di IT, dan Bobby usaha desain grafis. Album-album indie kami setelah Case 15 memiliki penjualan bagus. Selalu sold out tapi kami tak pernah nikmati hasilnya. Manajemen yang buruk tentu saja. We just wanna have fun, don’t wanna deal with all those boring managerial issues. Makanya ketika Sony Music tertarik merekrut, kami tidak berusaha jual mahal. Selama kami tak menjadi budak label dan mereka tak mencampuri ranah berkesenian, we’re good to go. Di era ini saya sudah mulai banyak menulis lagu. Tak hanya lirik. Social Distortion, Ramones dan Tiger Army sangat pekat mempengaruhi song-writing saya. Long story short, we signed up with so-called ‘the devil’ and found ourselves recording and living in Jakarta.
Bagaimana reaksi band merasakan pengalaman baru sebagai musisi major label? Kalian waktu itu pindah bareng-bareng ke Jakarta kan?
Saya ingat kami begitu takjub melihat studio rekaman di Jakarta. We have nothing close to that in Bali. Belum lagi mencoba hidup di Jakarta. Dealing with traffic every single day and as a band, tinggal serumah untuk waktu lama. Seakan kurang cukup cobaan, kami dibenci nyaris semua orang. Dianggap selling out sama punk police, sampai dikecam kelompok sayap kanan karena dituduh rasis. Tiap manggung sudah seperti medan perang. Ada penonton yang beneran mencoba menyerang dan membunuh personel SID. Band kami masuk media berulang kali. Tapi itu sebenarnya bagus sih dari kacamata label. Untuk pertama kalinya, kami menikmati hasil dari penjualan album. Saya bisa merenovasi Twice Bar milik saya, pakai uang royalti album Kuta Rock City. Secara audio album ini jauh sekali dari ekspektasi. Kami kayak kebingungan. Terlepas dari mulai melebarnya referensi musikal; rockabilly, rock n roll punk, keyboards here and there, album ini gagal secara emosi. Di saat perlu terdengar megah malah jadi cheesy. Di saat perlu terdengar raw malah jadi polished. But on a brighter note, this album definitely elevates us to another level, from bale banjar to festivals, from the back to the front page. Lagu favorit saya pastinya ‘Kuta Rock City’. Saya sejak awal sadar lagu ini tidak sekadar lagu. Kuta Rock City itu sudah seperti manifesto kesenian, a big middle finger to mainstream media and big cities elitist who think they can control what small island youth should wear or listen to.
Black Market Love; Sony Music Indonesia (2006)
Banyak fans SID yang menganggap ini mahakarya kalian. Apa saja yang terjadi di kehidupan personal kalian pada era rilisnya Black Market Love?
Untuk beberapa hal, saya memang sepakat ini album kami yang terbaik. Album ini gelap, versatile, namun juga megah. Ballads, ska, rockabilly, grunge, latin, ada semua. Saya mulai aktif banget menulis lagu, nyaris semua materi di album ini bahkan. Saya bikin konsepnya dan art-directionnya. Somehow it gets really-really dark. Selama proses penggarapan album ini, kesehatan saya anjlok, gara-gara gaya hidup destruktif di masa lalu. Lagu ‘Goodbye Whiskey’ adalah ode untuk masa lalu tersebut. Di masa itu, Bali baru saja dibom teroris untuk kedua kalinya, makanya kami juga bikin lagu untuk Bali dalam ‘Year Of The Danger’, ‘Bangkit’, dan ‘Percaya’. Fasisme mulai menunjukkan taring aslinya di Indonesia, kami respons dengan ‘Kita vs Mereka’.
Banyak hal krusial terjadi di era album ini. Efek dari seringnya tur ke luar Bali, kami jadi jauh lebih sadar isu-isu sosial, bagaimana kesenjangan begitu hakiki di negeri yang sangat kaya ini. Secara audio, konsep dan emosi, album ini mustahil diduplikasi. Instead of songs, it records moments. Track favorit saya dari album ini adalah ‘Bukan Pahlawan’, ‘Lady Rose’, dan ‘Goodbye Whiskey’.
Sunset di Tanah Anarki; Sony Music Indonesia (2013)
Berkat album ini, bisa dibilang SID mendapatkan fans baru. Menurutmu, apa capaian paling penting dari Sunset…?
The greatest misintepretation. Album ini membelah opini publik tapi sekaligus yang paling banyak dapat penghargaan. Ketika kami bertiga memulai SID, sedikitpun tak terbayang lagu dan album kami akan memenangkan sebegitu banyak awards. Album ini membuat semua itu terjadi. We are finally one of THEM; real musician with real awards. And I’m not talking about those SCTV, RCTI, Panasonic or AMI awards. This is next level material; awards dari sekumpulan profesor, dosen dan akademisi.
Kamu mulai mengambil kendali kreatif penuh di album ini ya?
Saya menulis 11 lagu di album ini. Sebagian gelap, sebagian lebih cerah dan optimis. Bahkan ada juga elemen dubstep. Tapi sebuah lagu 3 kunci, ‘Jadilah Legenda’, mengubah semuanya. Lagu yang tercipta saat saya surfing di Kuta ini awalnya tak lebih dari penghormatan atas kayanya bangsa dan harapan agar kesenjangan ekonomi lekas tereduksi. Tak disangka single ‘Jadilah Legenda’ menjelma menjadi hymne kelas pekerja, doa akademisi progresif, serta api para pejuang kelas. Komersial banget memang. Tapi kami berusaha maksimal di departemen lirik, sampai saya sendiri kadang lost in translation in my own writing. Hantaman ‘Jadilah Legenda’ belum juga reda, sudah dihantam lagi dengan single ‘Sunset di Tanah Anarki’ yang saya dedikasikan untuk para unsung heroes; Munir, Wiji Thukul, Aidit, Tan Malaka, dan lain-lain. Secara musikal, emosi dan audio, album ini berhasil menerjemahkan isi kepala kami.
Lirik SID semakin peka isu sosial di album Sunset…, bahkan jauh lebih peka dari biasanya. Kenapa?
Bicara musikalitas, di titik ini kami sudah tak memusingkan genre dan memilih fokus di substansi dan esensi punk. It aint a genre. Its a way of life. Kamu mulai sadar kalau kamu punk ketika sengaja melawan musuh yang jauh lebih kuat. Momentum yang membuat kami menghasilkan album ini. I have zero faith in religion but I believe the universe has alligned for Bali. Saat itu 2013, kami memulai perang suci melawan rencana reklamasi Teluk Benoa. Di saat yang sama album ini menemukan hulu ledaknya. Kita semua tahu siapa di balik proyek destruktif tersebut. Berkat album ini, perjuangan Bali jadi lebih terdengar dan membesar. Berhasilnya single ‘Jadilah Legenda’ serta ‘Sunset di Tanah Anarki’ bagaikan darah segar mengaliri nadi dan nyali kami. Tentu saja setiap perjuangan memiliki konsekuensinya.
Perlahan, pelarangan manggung dan intimidasi menjadi hal yang biasa. Banyaknya waktu luang kami gunakan untuk mencari celah bertahan tanpa melacurkan kehormatan, sambil tentu saja mengerjakan materi album baru. Hubungan saya, Bobby dan Eka semakin kuat; As a band, as a gang, as brothers, as Balinese. Saat ini kami sedang merampungkan penggarapan album ke-9 SID. Perjuangan melawan rencana reklamasi Teluk Benoa yang akan menghancurkan rumah kecil kami masih berlangsung. Rasanya sulit membuat album dalam situasi penuh angkara seperti ini. But love is the only reason why we fight. Kami terus bermusik karena cinta. Makanya, mungkin ‘Angkara Cinta’ cocok ya untuk judul album kami berikutnya.