Febby Firmansyah, salah satu penyintas aksi teror bom JW Marriott di Jakarta pada 2003
Febby Firmansyah, salah satu penyintas aksi teror bom JW Marriott di Jakarta pada 2003 sampai sekarang masih menata hidup. Foto oleh Diana Dwika
Terorisme

Merekam Trauma dan Kepedihan yang Dipendam Para Penyintas Terorisme di Indonesia

Mereka selamat dari bom sekian tahun lalu di Jakarta atau Bali, tapi terus dihantui trauma. Termasuk minimnya dukungan pemerintah agar mereka bisa hidup normal, setelah perhatian media berangsur-angsur surut.

Ketika jalanan dipadati orang berangkat kerja, pada 5 Agustus 2003, Febby Firmansyah Isran sudah membagikan undangan pernikahan ke rekan-rekan kantor dengan penuh semangat. Hanya beberapa jam kemudian, kebahagiaan itu terhapus seketika. Isran dilarikan ke Rumah Sakit Jakarta akibat luka bakar parah, menghanguskan lebih dari setengah tubuhnya.

Bom bunuh diri, ditambah bom mobil yang diatur dari jarak jauh, meledak di luar lobi Hotel JW Marriot Jakarta, hanya sekian meter dari posisi Isran dan rekan-rekannya menyantap makan siang. Jemaah Islamiyah (JI), sebuah kelompok teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, mengklaim bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan belasan orang tersebut. Isran adalah satu dari 150 orang yang terluka hari itu.

Iklan

Selama empat bulan, Isran terkukung dalam ruangan rumah sakit. Banyaknya perban yang melilit tubuhnya membuat dia terlihat seperti mumi. "Perban saya harus diganti setiap hari untuk menghindari infeksi. Proses pergantian perban ini lebih sakit daripada luka bakarnya sendiri—rasanya kulit saya seperti dikelupas."

Lebih dari 16 tahun berlalu setelah aksi teror tersebut, tubuh Isran tidak dapat pulih seperti sedia kala. Dia kesulitan melakukan kegiatan sederhana, seperti duduk di lantai untuk salat di masjid. Isran juga sulit mendapatkan pekerjaan lagi. Jari-jari tangan kirinya yang bengkak membuatnya kesulitan menulis, menggunakan komputer atau bahkan membalas pesan di ponsel. Dia harus melupakan karier cemerlangnya sebagai insinyur muda, dan beralih melakoni pekerjaan serabutan seperti menjadi supir taksi, tapi pekerjaan macam itu pun tidak selalu tersedia.

"Setiap kali wawancara kerja, tim seleksi melihat saya sekilas, melihat bekas luka saya dan selalu bertanya-tanya. Ketika saya jawab, mereka tidak pernah menelpon saya kembali. Tidak ada yang mau dikaitkan dengan serangan teroris—biarpun saya posisinya korban," ujar Isran yang kini berusia 42 tahun. Isran masih bersyukur bahwa selepas insiden mengerikan tersebut, tunangannya tetap menerima kondisinya. Ketika kesehatan Isran membaik, mereka melakukan upacara pernikahan di rumah sakit. "Saya sangat bersyukur dia tidak meninggalkan saya."

Iklan

Para "tamu" di pernikahannya mencakup pelayan dan satpam Hotel Marriot, bersama dengan atasannya. Mereka semua masih terkukung di ranjang rumah sakit dan sedang dalam masa penyembuhan.

NIHIL DUKUNGAN

Sejak aksi pengeboman massal pada 2002 menyasar dua kafe resor wisata terkenal Bali membunuh lebih dari 200 orang, Indonesia rutin digempur serangkaian serangan teror lainnya. Data dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan ada sekitar 800 penyintas serangan terorisme di negara ini.

Penyintas seperti Isran mengatakan hampir tidak memperoleh dukungan dari pemerintah untuk membayar biaya pengobatan dan terapi jangka panjang, rehabilitasi, sampai dukungan psikolog demi membangun kembali hidup mereka.

Akibat nihilnya bantuan dari pemerintah, para penyintas harus saling bantu satu sama lain—termasuk dengan sesama korban aksi-aksi kekerasan ekstremis lainnya.

Setiap mendengar aksi pengeboman lain di berita, Isran dan anggota Yayasan Keluarga Penyintas (YKP), sebuah kelompok yang dia prakarsai, bergerak menyambangi berbagai rumah sakit mencari penyintas dan menawarkan dukungan bagi anggota keluarga mereka. Kadang anggota YKP bertindak sebagai "penjamin", berjanji akan membayar pihak rumah sakit agar penyintas segera mendapatkan pertolongan medis.

"Kadang saya pikir lebih enak jadi teroris. Pemerintah punya program rehabilitasi sampai memikirkan penghidupan untuk mereka. Tapi bagaimana dengan para penyintas? Siapa yang memikirkan kami?" tanya Isran.

Iklan

AMBIGUNYA HUKUM INDONESIA

Hukum Indonesia baru secara spesifik menjabarkan hak-hak penyintas dari serangan teroris pada 2014, namun definisi yang ambigu perihal siapa saja yang masuk kategori penyintas mempersulit penerapannya di lapangan. Revisi UU Anti Terorisme 2018 memakai definisi "penyintas/korban aksi terorisme" yang lebih baik, dan karenanya memperkuat peran LPSK sebagai lembaga pemerintah yang ditugaskan memberi kompensasi, dan dukungan medis dan psikologis bagi para penyintas.

"Kami sudah menunggu kompensasi selama bertahun-tahun. Sebelumnya, kebijakan pemerintah hanya ditujukan kepada para pelaku. Para penjahat justru dianggap lebih bernilai. Kami hanya korban. Saya bukannya iri, tapi itu tidak adil," ujar Tony Seomarno yang selamat dari aksi bom Marriott 2003 bersama dengan Firmansyah. Seomarno menghabiskan lebih dari delapan bulan di rumah sakit akibat luka bakar parah.

Suhardi Alius, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sadar adanya rasa sakit hati dan perasaan diabaikan para penyintas. Meski begitu, dia mengatakan pemerintah terus berusaha mengakomodasi kebutuhan, keselamatan dan perlindungan hukum bagi para penyintas. "Kami harus memberikan kesempatan bagi para mantan teroris. Kalau mereka terpinggirkan, mereka lebih mudah diradikalisasi," kata Alius.

"Sebelumnya, kami tidak mempunyai hukum spesifik yang mengatur para penyintas. Tapi sekarang ada, dan kami tengah berusaha membantu mereka," imbuhnya.

Iklan

Dari perkiraan total 800 penyintas serangan terorisme di Indonesia, wakil kepala LPSK Susilaningtias mengatakan lebih dari setengahnya sedang dibantu dan setengah lainnya sedang dalam proses verifikasi BNPT.

Sejak 2016, LPSK telah mengeluarkan kompensasi medis ke sekitar 50 penyintas senilai Rp4,2 miliar, dari anggaran Rp64 miliar per tahun yang mereka miliki.

Kompensasi dan bantuan untuk korban ditentukan oleh pengadilan setelah pendataan selesai. Proses ini membutuhkan dokumen-dokumen seperti catatan rumah sakit untuk dokumentasi dan bukti, yang sayangnya sudah tidak dimiliki banyak penyintas kasus-kasus pengeboman awal.

Belum lagi ada berbagai ketidakjelasan tentang cakupan hukum tersebut. Saat ini LPSK hanya punya waktu hingga 2021 untuk membayar kompensasi, mengingat RUU tentang kompensasi penyintas aksi terorisme masih belum disahkan Presiden Joko Widodo.

"Kami sadar banyak penyintas yang marah. Kami meminta mereka untuk bersabar. Kami berusaha sebaik mungkin menuntaskan kompensasi," ujar Susilaningtias.

LPSK mengaku mereka sedang mempertimbangkan menyiapkan semacam Dana Khusus Korban untuk membantu proses rehabilitasi jangka panjang fisik dan psikologis para penyintas.

bombing-marriot-indonesia

Aparat kepolisian Indonesia memeriksa lokasi lobi Hotel JW Marriott Jakarta Selatan yang hancur akibat bom mobil dan bom bunuh diri pada 08 Agustus 2003. Total 10 orang tewas, dan 150 lainnya luka-luka. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

'RESPONS PEMERINTAH TIDAK MEMADAI'

Selain minimnya perhatian terhadap penyintas serangan teror, ada juga masalah lain. Andreas Harsono dari Human Rights Watch Indonesia menyebut revisi UU anti-terorisme dan inisiatif pemerintah melindungi hak-hak penyintas "tidak memadai."

"Tujuan aksi terorisme adalah menciptakan rasa takut. Dengan cara mengurus para penyintas, memberdayakan mereka dan menjaga martabat mereka, kita bisa mengirim pesan yang kuat bahwa terorisme tidak ampuh," ujar Harsono.

Iklan

Dalam opini yang tayang di The Jakarta Post, Heru Susetyo dari lembaga Victim Support Asia menggarisbawahi betapa hiruk-pikuk liputan media pasca serangan teroris biasanya mendatangkan ujaran simpati dan solidaritas dari teman, keluarga, bahkan orang yang tidak dikenal. Masalahnya, perhatian terhadap para penyintas perlahan surut, seiring media mulai membahas isu-isu lainnya. Bagi penyintas, rasa diabaikan, dan rasa takut bahwa dirinya dilupakan, bisa memperburuk penderitaan fisik dan psikologis mereka.

Nanda Olivia Daniel membutuhkan waktu 40 tahun sebelum dia bahkan bisa buka mulut tentang cedera yang menimpanya ketika sebuah bom mobil meledak di luar Kedutaan Australia di Jakarta pada 2004. Daniel menjalani delapan kali operasi untuk menyelamatkan tangan kanannya selama bertahun-tahun. Dia takut akan cacat selamanya.

"Saya tersiksa dengan pikiran bahwa saya tidak akan bisa bekerja lagi dan harus bergantung penuh sama keluarga."

Pemerintah Australia menanggung biaya operasi dan kebutuhan pengobatannya. Namun dia, dan para penyintas lain dari insiden itu, merasa pemerintah negaranya sendiri justru tidak banyak membantu.

"Beberapa dari kami kehilangan anggota keluarga. Ada yang kehilangan pekerjaan. Kami tidak ingin dikasihani. Kami ingin adanya pengakuan bahwa insiden ini telah mengubah hidup kami dan kami tidak akan bisa kembali seperti semula," kata Daniel.

Seperti Daniel, Iwan Setiawan adalah salah satu penyintas aksi pemboman Kedutaan Australia 2004. Setiawan dan istrinya sedang dalam perjalanan menuju pemeriksaan rutin ke dokter kandungan ketika bom meledak di pinggir jalan. Mereka terhempas dari motor.

Iklan


Insting pertama Iwan adalah memeriksa keadaan istrinya yang sedang hamil delapan bulan saat itu. Setiawan tidak sadar pecahan bom telah membuatakan mata kanannya. Mereka pergi ke rumah sakit dan istrinya langsung masuk persalinan, melahirkan pada hari itu juga.

Dua tahun kemudian, sang istri meninggal karena komplikasi dari cedera yang dideritanya dari serangan bom tersebut.

"Kadang saya bertanya ke Allah, kenapa dia memberikan saya dua tahun lagi bersamanya sebelum kembali mengambil dia dari saya ketika kami akhirnya mulai berhasil melupakan apa yang menimpa kami," ujar Setiawan.

Tidak puas dengan bantuan yang tidak konsisten dari pemerintah, dan didorong dengan rasa keingintahuan yang besar, Setiawan mengunjungi terpidana teroris di penjara didampingi aktivis LSM-LSM dan petugas BNPT.

"Saya ingin melihat sosok orang yang menghancurkan hidup saya. Saya harap dengan bertemu kami para penyintas, mereka akan berubah dan tidak akan ada lagi korban."

Kunjungan-kunjungan awal membuatnya merasa marah dan frustrasi. "Ada napi teror yang menyesal. Ada yang tetap radikal. Mereka menikmati melihat saya dengan mata palsu saya dan mendengarkan penderitaan saya. Mereka malah bilang ini menandakan 'bom yang mereka buat efektif.'"

Meski marah, Setiawan tidak menyerah. "Satu kali kunjungan hanya satu jam lamanya. Kamu tidak bisa mengubah ideologi seseorang dalam waktu satu jam. Saya harus memaafkan mereka."

Iklan

BNPT pernah menggelar seremonipertemuan korban dengan pelaku yang serupa. Pada 2018, sekitar 50 penyintas bertemu tatap wajah dengan 150 mantan militan dan simpatisan terorisme. Keputusan BNPT ini dikritik banyak pihak lantaran tidak dinilai sensitif dan tidak memberi solusi apapun.

KEMAJUAN TERLIHAT, TAPI AMAT LAMBAN

Tri Iswardani Sadatun, wakil kepala Himpunan Psikologi Indonesia, khawatir adanya efek buruk dari interaksi langsung antara mantan teroris dan penyintas seperti yang diselenggarakan BNPT. "Takutnya ini seperti memberi contoh ke teroris bahwa mereka akan dimaafkan. Terorisme tidak akan pernah bisa dibenarkan," ujarnya. Sadatun mengatakan salah satu elemen penting dalam penyembuhan penyintas adalah adanya kebutuhan "mencari semacam makna apa sebetulnya yang menimpa mereka."

Sadatun bekerja sama dengan penyintas seperti Setiawan dan melatih mereka untuk bertindak sebagai lini pertama pasca serangan bom. Mereka memberikan bantuan psikologis bagi anggota komunitas yang terdampak dengan cara berbagi pengalaman sebagai seorang penyintas.

"Para penyintas ini harus diberi gambaran cara membangun kembali hidup mereka secara mandiri dan menemukan sebuah tujuan hidup yang baru. Kalau tidak, mereka akan terus merasa hidup sebagai korban," ujarnya.

Berbagi pengalaman traumanya dan membantu orang lain menghadapi traumanya sendiri telah membantu Setiawan. Dia tetap ingin pemerintah mengakui tanggung jawab mereka untuk menolong mereka yang menjadi korban teror dan berharap "undang-undang yang baru akan membuka jalan ke arah yang lebih baik." "Kini kami merasa mulai pemerintah peduli. Biarpun lambat, ada kemajuan. Sebelumnya, mereka hanya memperlakukan kami seperti korban," ujar Setiawan.


Laporan ini didukung hibah dari the Pulitzer Center Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.