Taliban

Langgar Janjinya Sendiri, Taliban Kembali Melarang Perempuan Bersekolah

Ini kesekian kalinya ulama petinggi Taliban ingkar janji pada dunia internasional. Sejak akhir Maret 2022, perempuan Afghanistan tak bisa mengakses pendidikan dan keluar rumah.
Hak-hak perempuan, Afghanistan, Taliban, larangan keluar rumah
Seorang perempuan di Kabul memprotes larangan bepergian di hadapan prajurit Taliban. Foto: BULENT KILIC/AFP via Getty Images

Hanya sepekan setelah melarang anak perempuan kembali sekolah pada akhir Maret 2022, ulama petinggi Taliban mengumukan perintah agar polisi tidak mengizinkan perempuan dewasa keluar rumah dan bekerja.

Larangan ini dipandang sebagai bentuk kemunduran terbaru dalam perjuangan mengembalikan hak-hak perempuan Afghanistan yang sebelumnya sudah direnggut selama Taliban berkuasa sepanjang kurun akhir 1990-an hingga 2001.

Iklan

Salinan memo dari kementerian dalam negeri Taliban, yang ditandatangani pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada memerintahkan agar setiap aparat memastikan “perempuan tidak boleh keluar rumah atau bekerja di kantor”. Hanya bagian ini dalam imbauan yang dicetak dengan huruf tebal.

Sejak Agustus 2021, pengamat sudah khawatir Taliban bakal memberlakukan kembali hukum syariat Islam versi mereka yang kejam, terutama setelah pasukan Taliban sukses menggulingkan pemerintahan di Kabul yang pro-Barat. Semasa berkuasa dulu, kelompok ekstremis ini rutin melarang perempuan beraktivitas di luar rumah, mencambuk orang di depan umum, merajam perempuan yang dituduh berzina, dan mengharamkan musik.

Taliban bersikeras, saat menggelar jumpa pers, bahwa kepemimpinan mereka kali ini jauh lebih toleran dan menghormati perempuan demi membangun kepercayaan publik internasional. Namun, fakta di lapangan berkata sebaliknya. Hak jutaan anak perempuan di negara itu untuk memperoleh pendidikan dasar terhambat. Sejak pertengahan Maret 2022, ribuan pelajar perempuan dipulangkan dari sekolah lantaran seragamnya dianggap kurang sopan oleh Taliban. Kini, hanya perempuan dewasa bisa keluar rumah, itupun jika ditemani muhrim. 

Perwakilan Taliban yang mengadakan pertemuan dengan sejumlah diplomat Tiongkok pada Maret lalu padahal sempat bersumpah tidak akan ingkar janji. Mereka mengklaim akan tetap mengizinkan perempuan berusia 11 tahun ke atas bersekolah.

Pemerintahan Afghanistan sebelum digulingkan Taliban dihantui maraknya korupsi dan dinilai tidak kompeten mengelola birokrasi, tapi setidaknya perempuan diizinkan mengecap bangku sekolah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan ada lebih dari 2,5 juta anak perempuan Afghanistan yang memperoleh pendidikan pada 2021, dibandingkan dengan 2001, kala itu jumlahnya secara nasional nol, alias tidak ada yang bersekolah.

Sikap Taliban terhadap kesetaraan gender terus saja abu-abu. Klaim pejabat humas Taliban kerap tak sejalan dengan praktik di lapangan. Hak dasar perempuan telah menjadi alat tawar-menawar dalam upaya mendapat pengakuan hukum internasional.

Nyaris 39 juta penduduk Afghanistan hidup dalam kesengsaraan sejak Taliban mengambil alih Kabul. Menurut laporan badan bantuan PBB, sekitar 24 juta orang Afghanistan membutuhkan bantuan pangan, dan sembilan juta di antaranya terancam krisis kelaparan sejak awal tahun ini.