The VICE Guide to Right Now

Pembangkangan Aliansi Dosen: Dukung Mahasiswa Demo Meski Dilarang Kemendikbud

Seruan Kemendikbud agar kampus jadi garda terdepan melarang mahasiswa demonstrasi di momen satu tahun Jokowi-Ma'ruf, dibalas sejumlah dosen dengan ikut menolak UU Cipta Kerja.
Aliansi Dosen Dukung Mahasiswa Demo Omnibus Law Cipta Kerja Meski Dilarang Kemendikbud
Mahasiswa dari aliansi BEM Seluruh Indonesia menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, 20 Oktober 2020 menolak UU Cipta Kerja. Foto oleh Rosa Folia/VICE

Ide pembangkangan sipil merespons UU Cipta Kerja pertama kali dikemukakan dosen Hukum Tata Negara UGM sekaligus eks direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar, awal Oktober kemarin. Sepuluh hari lalu, gagasan ini dipraktikkan ke dunia nyata oleh sekelompok dosen dalam Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law.

Aliansi tersebut menyatakan sikap mendukung aksi unjuk rasa mahasiswa menolak UU Cipta Kerja yang dihelat hari ini (20/10). Selain soal UU Cipta Kerja, demonstrasi turut menandai setahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode kedua.

Iklan

Pernyataan sikap para akademisi ini cukup berani, mengingat Kemendikbud baru mengeluarkan surat edaran meminta bantuan perguruan tinggi untuk “mengondisikan” mahasiswa agar tidak demo menolak UU Cipta Kerja.

“Demonstrasi itu dijamin oleh konstitusi. Imbauan [Kemendikbud] ini bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, khususnya prinsip IV dan prinsip V. Dengan otonominya, tanggung jawab perguruan tinggi dalam memproduksi dan mendiseminasikan pengetahuan hanya kepada kebenaran, bukan pada penguasa,” kata Abdil Mughis Mudhoffir, dosen UNJ sekaligus perwakilan Aliansi, dilansir Suara.

FYI, Prinsip-Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik adalah produk pertemuan komunitas akademik, peneliti, dan korban pelanggaran hak atas kebebasan akademik pada 5-6 Desember 2017 di Unair, Surabaya. Pertemuan tersebut difasilitasi Southeast Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN), Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM), dan Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Unair.

Pertemuan melahirkan lima prinsip. Poin ke-4 dan 5 yang disebut Abdil menjelaskan bahwa akademisi harus dibebaskan dari pembatasan dan pendisiplinan, demi budaya akademik yang bertanggung jawab dan berintegritas keilmuan untuk kemanusiaan. Selain itu, otoritas publik wajib menghargai dan melindungi pemenuhan langkah tersebut. Prinsip-Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik kerap dijadikan panduan akan hak-hak akademisi bersikap.

Iklan

Selain beraliansi dan menyatakan sikap, dosen juga memakai berbagai cara lain untuk mendukung mahasiswanya menentang UU Cipta Kerja. Dosen Sosiologi Universitas Wijaya Surabaya Umar Sholahudin mengaku akan memberi nilai A kepada mahasiswanya yang ikut demo.

“Saya kasih opsi kepada mahasiswa jika ingin nilai mata kuliah saya dapat nilai A: satu, tulis artikel opini dengan tema yang terkait mata kuliah saya. Dua, ikut aksi demo bersama buruh tolak UU Cilaka. Dengan aksi bersama, mahasiswa bisa tahu dan merasakan betul apa yang dirasakan kaum buruh. Ini sebagai sikap empati dan simpatik, solidaritas bersama. Dan saya bilang, UU Cilaka tak hanya berdampak pada buruh, tapi juga mahasiswa pasca-lulus,” ujar Umar kepada Detik.

Di Jember, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Jember M. Iqbal meliburkan empat kelas agar mahasiswanya bisa ikut demonstrasi 8 Oktober silam. Iqbal pun turut bergabung dalam unjuk rasa. Ia merasa apabila tetap memberikan kuliah, artinya ia mengingkari nurani mahasiswa. “Kalau mereka tidak menolak omnibus law, undang-Undang ini [Cipta Kerja] akan memengaruhi nasib mereka,” kata Iqbal dilansir Kompas.

Aksi aliansi maupun mandiri para dosen di berbagai daerah ini jelas pembangkangan terang-terangan. Sebab, 9 Oktober lalu Kemendikbud udah ngasih surat imbauan ke perguruan-perguruan tinggi buat menyosialisasikan larangan mahasiswa demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Dalam imbauan tersebut, serupa dengan polisi dan DPR RI, Kemendikbud berdalih pakai alasan keselamatan dan kesehatan selama pandemi. Yang bikin prihatin, menteri “milenial” Nadiem Makriem yang bikin program Merdeka Belajar mendadak jadi humas negara gini, dengan meminta kampus melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja secara “santun”.

Iklan

“Hasil pemikiran dan aspirasi dari kampus hendaknya disampaikan kepada pemerintah maupun DPR melalui mekanisme yang ada dengan cara-cara yang santun,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam, petinggi yang menandatangani surat imbauan tersebut, dilansir Tempo. Begitu imbauan itu terbit, Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law langsung minta Kemendikbud mencabutnya.

Hari ini (20/10), sedikitnya lima ribu mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) diklaim turun ke jalan menuntut pembatalan UU Cipta Kerja. Pasukan akan ketambahan ribuan massa dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GBSI), dan belasan organisasi lain. Rombongan menggelar aksi menuju dan di Istana Negara, Jakarta Pusat. Demo mahasiswa pada 20 Oktober 2020 juga terjadi di Jogja, Bandung, dan Malang.

“Tuntutan masih sama, pembatalan UU Cipta Kerja dan menerbitkan perppu [peraturan pemerintah pengganti undang-undang),” ujar Ketua Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, Senin (19/10) lalu, dilansir CNN Indonesia. Kabid Humas Polda Metro Jaya mengatakan, akan ada 10 ribu polisi dan tentara yang diturunkan menjaga demonstrasi di Jakarta hari ini.

Jokowi, yang menghindari demo 8 Oktober dengan mengunjungi bebek di Kalimantan Tengah, hari ini dikabarkan “mengungsi” ke Istana Bogor untuk rapat terbatas persiapan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 dan menerima kunjungan perdana Menteri baru Jepang, Yoshihide Suga.

Tercatat belum satu kali pun Jokowi menemui peserta aksi penentang UU Cipta Kerja yang dilakukan sejak 6 Oktober lalu. Setelah bebek, kini sepak bola jadi prioritas perhatian Presiden dibanding berdialog dengan pendemo.