Dari Aspal Ke Ring MMA: Ajang Jogja Gelut Wadahi Agresivitas Pelaku Klithih Yogyakarta

Jogja Gelut Day Digelar Erix Soekamti untuk wadahi agresivitas pelaku klitih yogyakarta

Nova belum sempat memikirkan siasat, ketika merasakan sebuah jotosan mendarat telak di pipi kirinya. Bug!

Ia tersentak ke belakang, setelah hook jitu gagal ia hindari. Meski ujung tangan lawan mendarat di headgear empuk yang ia pakai, Nova merasakan perih tiba-tiba. Mengikuti sensasi itu, pandangan matanya sejenak kabur, ia hanya mendengar sahut-sahutan abstrak teriakan penonton dari luar ring.

Videos by VICE

“Aktif! Aktif! Maju!,” seruan wasit di dekat kuping menyadarkannya.

Nova sontak mengatur kembali tubuhnya. Kini ia lihat lawan berada dua langkah di depannya, smemasang kuda-kuda akan menyerang. Merasa geram karena sebelumnya kena jotos, giliran Nova berinisiatif maju lebih dulu. Ia melancarkan hook bertubi-tubi ke tubuh lawan. Satu mendarat di lengan, satu lagi berhasil dihindari, sebagai ganti sebuah tendangan ia sentakkan ke perut, dan Nova melihat keseimbangan lawannya goyah.

Nova dan lawannya bertanding di ring.jpg
Nova dan lawannya bertanding di semifinal Jogja Gelut Day. Foto oleh Alfian Widi

Pertarungan sengit antara Nova Fitriansyah dan lawannya ini berlangsung di ring tinju babak semifinal Jogja Gelut Day, pada 19 Juni 2022. Hawa sejuk lokasi pertarungan, yang berada di area terbuka bumi perkemahan Kaliurang Yogyakarta, berbanding terbalik dengan panas dalam ring.

Jogja Gelut Day adalah sejenis “fight club” atau ajang tarung yang diinisiasi Erix Soekamti (vokalis band Endank Soekamti) dan kelompok Jogja Mix Martial Art (MMA). Gagasan Jogja Gelut Day muncul dari kegelisahan Erix melihat kembali maraknya kasus klithih, juga kekerasan jalanan lain di Yogyakarta akhir-akhir ini. “Saya kira sudah habis [pelaku klithih], ternyata masih regenerasi terus. Jadi harapan kami, Jogja Gelut Day bisa jadi wadah alternatif menyalurkan agresivitas mereka,” urai Erix saat konferensi pers.

“Daripada di jalanan dan enggak jadi prestasi, gelut di sini aja kami fasilitasi ring dan wasit,” tambahnya. Tawaran ini ternyata bersambut. Hanya dalam kurun 25 hari masa pendaftaran, sebanyak 660 peserta ikut serta. Mereka tak hanya berlatar belakang atlet atau penggemar olahraga bela diri, tapi juga warga umum yang ingin menjajal diri.

Salah satu pertarungan sengit di Jogja Gelut Day.jpg
Salah satu sesi pertarungan sengit di Jogja Gelut Day 2022. Foto oleh Alfian Widi

Meski tak dibedakan di atas ring, peserta terbagi jadi dua jenis, yaitu basic atau peserta yang punya latar belakang teknik bela diri tertentu seperti judo, taekwondo, karate, jiu jitsu, kick boxing, wushu, hingga silat. Mereka biasanya tergabung dalam sasana gulat atau MMA. Yang kedua peserta non-basic yaitu mereka yang tidak punya teknik beladiri apapun selain mengandalkan nyali. Nova salah satunya.

Nova mengaku tak punya basic skill bela diri apapun, tapi ia nekat mendaftar. “Pokoknya berani dulu lah, sudah dua tahun tidak gelut. Jadi pingin coba gelut yang benar di atas ring,” ujar Nova menjabarkan alasannya ikut.

Ia yang kini sibuk bersekolah kelas 11 di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) alias SMK 3 Kasihan Yogyakarta, masuk kelas junior 52 kilogram. Terdapat 16 kelas di ajang ini, terbagi jadi junior dan senior dengan berbagai berat. Meski publikasi digencarkan di wilayah Jogja, peserta berasal dari kota berbeda, bahkan pulau lain.

Melihat lawannya mundur dengan langkah tak seimbang, Nova merasa dominan. Hanya butuh beberapa poin serangan lagi dan ia akan masuk final, batinnya. Tak mau menyia-nyiakan momen, ia merangsek lagi ke tengah ring sambil melempar satu lagi tendangan lurus ke perut lawannya. Yang tak Nova duga, kakinya ditangkap. Nova kehilangan keseimbangan, dan lagi-lagi satu tendangan dan satu bogem mentah menyasar ke kepalanya. Ia tersungkur, lalu dihujani tinju bertubi ke bagian dada.

Dalam posisi terserang, tak ada yang bisa dilakukan Nova kecuali meringkuk merapatkan kepalanya ke dengkul dan membentengi wajahnya dengan dua tangan.

Momen itu membawa kembali ingatan di tubuh Nova atas kejadian yang ia alami dua tahun lalu, saat ia digebuki petugas di toilet kantor polisi. “Aku pernah ketangkep warga terus dibawa ke kantor polisi,” ungkapnya saat ditemui VICE di sekolah. Ada secuil rasa bangga yang tersirat saat ia menceritakan pengalaman apesnya dulu.

Saat itu medio 2020, Nova yang baru lulus SMP dimintai bantuan adik kelasnya untuk nge-drop (mengeroyok) geng SMP lawan. Ia setuju, lalu diberi info kapan dan dimana pengeroyokan akan terjadi, “Aku sungkan menolak, soalnya aku dulu koordinator geng di SMP,” ujarnya. Titel koordinator geng mengindikasikan ia dulu pentolan atau anggota geng yang disegani di sekolah. Menurut Nova, titel koordinator ini didapat setelah ia menang adu jotos di tugu desa melawan seorang laki-laki berumur 24 tahun, saat itu Nova baru 15 tahun. Kabar keganasannya ini merebak dan otomatis membuatnya berada di kasta tinggi dalam geng sekolah

Malam pengeroyokan itu, Nova bersama tujuh temannya berpatroli di wilayah geng lawan. Tentu sambil memamerkan senjata yang mereka bawa: sebuah gir motor, pisau, dan milik Nova sebilah besi panjang yang ia asah bak pedang.

“Tiba-tiba motorku ditendang orang, ternyata rombongan warga yang berburu klithih,” ceritanya. Nova yang tersungkur segera diseret, dikerubungi warga yang juga membawa senjata. Ia ingat, sebuah clurit sempat diarahkan ke lehernya sembari warga menginterogasi. “Kula senes klithih Pak, wonten musuhe! [Saya bukan klitih Pak, ada musuhnya kok!],” bela Nova. Beruntung warga tak main hakim sendiri. Ia dan teman-temannya lalu dibawa ke Kantor Polisi sektor Sedayu, Kabupaten Bantul.

Nova memamerkan piala elang, karya patung yang akan ia pamerkan di pameran angkatan SMSR.jpg
Nova memamerkan piala elang, karya patungnya yang akan ia pajang di pameran angkatan SMSR. Foto oleh Alfian Widi

Justru di polsek itulah Nova kena bogem mentah. Ia diseret tiga orang petugas, dan dihajar sambil dibentak-bentak di toilet. Nova ingat, malam itu ia meringkuk di sel dengan sekujur badan terasa sakit, sampai esok paginya ia dijemput oleh ayahnya.

“Itu terakhir sih, pure kapok setelah itu,” ia tertawa. “Aku pas SMP itu memang berangasan banget sih, kalau disenggol orang dikit, tersinggung dikit, langsung tak tantang gelut!”. Nova mengaku tak belajari ilmu bela diri apapun, ia hanya menonton film Crows Zero berulang-ulang, “Sampai aku bisa tendangan putar itu gara-gara lihat film terus latihan sama temen.”

Pengalamannya jadi jawara di jalanan ini berguna untuk Nova, setidaknya di babak kualifikasi Jogja Gelut Day. Saat itu ia mendapat lawan sesama peserta non-basic. Segera saja ia dominan setelah melayangkan pukulan bertubi, hampir tak ada perlawanan.

Salah satu peserta mengalami luka di bagian wajjah setelah tanding di Jogja Gelut Day.jpg
Salah satu peserta mengalami luka di bagian wajjah setelah tanding di Jogja Gelut Day. Foto oleh Afian Widi

Aturan main yang dipegang wasit di Jogja Gelut Day berbasis pada aturan tarung MMA amatir. Teknik yang digunakan peserta bebas, kecuali beberapa teknik ekstrim. “Teknik elbow [sikutan] yang umum di Muaythai dilarang karena damagenya lebih besar, bisa merobek kulit. Pukulan melompat seperti superman punch, knee ke wajah juga nggak boleh,” kata Aditya Restiawan dari Jogja MMA, ia melanjutkan, “Bantingan tinggi kayak Kata Guruma dan Kani Basami di Judo, teknik grappling (kuncian) memuntir juga dilarang.”

Di babak kualifikasilah sebetulnya kita bisa melihat segala macam teknik dan cara bertarung peserta, “Cara paling mudah membedakan teknik bawaan peserta itu dari kuda-kudanya,” tambah Aditya. Penyelenggaraan Jogja Gelut Day terbilang profesional. Peserta wajib memakai pengaman komplet dari kepala hingga kaki. Satu wasit dan empat juri turut berjaga di sekeliling ring.

Di babak semifinal kali ini, yang dilawan Nova adalah atlet Jiu Jitsu. Setelah terpojok di bawah, Nova berusaha membalik keadaan dengan melakukan teknik arm bar. Mereka saling rebut mendominasi tubuh lawannya. Ground fight pun tak bisa dielakkan, tapi lawan Nova begitu gesit. “Aku sudah latihan grappling beberapa kali lihat di Youtube. Eh pas tak piting, dia bisa lolos,” keluhnya.

Posisi berbalik lagi, Nova didominasi. Tubuh lawannya kini berada di atas. Lengan lawan masuk ke sela tubuhnya dan mencengkeram tangan Nova kuat-kuat, ia tak bisa bergerak.



Beberapa hari kemudian ketika ngobol dengan VICE, Nova menyesal menjajal ground fighting yang tak betul-betul ia kuasai. “Harusnya aku banyak main tangan aja. Aku nggak jago main kaki, apalagi tarung di bawah,” Ia menangkupkan dua tangannya ke kepala. Nampak bekas memar kebiruan masih melingkari mata kiri Nova, oleh-oleh dari lawannya.

Selain tak belajar teknik beladiri, Nova mengaku tak seagresif dulu. Sejak masuk ke jurusan patung di SMSR, hidup Nova berubah drastis. Saban hari ia berkutat dengan proses reflektif penciptaan karya seni yang membutuhkan emosi stabil, ketelatenan, kesabaran, dan ketenangan. “Awal-awal masuk SMA itu aku merasa kesabaranku kurang. Bikin gambar atau menatah patung kayak lama banget, kok nggak jadi-jadi sih?!,” ceritanya di sela proses display karya di galeri SMSR.

Ia sedang menyiapkan pameran angkatan, karyanya sebuah patung fiberglass berbentuk piala dengan kepala elang di atasnya ia beri judul, “Eagle Trophy”. “Elang itu spesial banget. Matanya tajam, dia bisa lihat semut bahkan dari atas gunung,” ujarnya.

Nova di depan meja putar patungnya.jpg
Nova di depan meja putar patungnya di sekolah. Foto oleh Alfian Widi

Alih-alih dipakai untuk memukul orang, tangan Nova kini lebih banyak bergelut dengan tanah liat, kayu, fiberglass, dan aneka material lain. Kini lebih dari 40 jam perminggu waktunya dihabiskan di studio patung sekolahannya. Duduk dihadapan meja putar, nampaknya tak hanya patung yang ia garap, tapi juga secara tak langsung kecerdasan emosional dirinya sendiri. Ia mengaku ia yang sekarang jauh lebih kalem dan bisa berpikir panjang. “Aku malu kalau ingat jaman SMP, nyusahin orang tua. Ya walaupun seru sih, bisa arogan jadi jagoan, tapi sekarang sudah beda,” ujarnya.

Keputusannya ikut Jogja Gelut Day pun semata melepas rindu, “Pingin gelut, tapi aku tidak ingin menanggung resiko di luar gelutnya,” ujarnya.

Dari 660 peserta di babak kualifikasi, mengerucut ke 100 peserta di babak semifinal. Di babak final Jogja Gelut Day yang dilangsungkan di Panggung Mahika Ayu, kawasan wisata Tebing Breksi 30 Juni lalu, bertanding 32 peserta untuk memperebutkan juara 1 di 16 kelas. “Hadiah paling penting yang didapat juara Jogja Gelut Day itu adalah titel gentho (preman) terhormat,” kata Erix Soekamti.

Peserta yang tersaring masuk final rata-rata adalah mereka dengan teknik, atau justru atlet profesional. Seperti Gibran Darrow Alfarizi, juara 1 kelas junior 60 kilogram yang pernah mendapat emas di kejuaraan Wushu Sashou 2019. Gibran telah berlatih teknik bela diri sejak kecil umur tujuh tahun. Sementara di kelas yang sama dengan Nova, dimenangkan Ardhevan Faridz Hestada. 

“Ternyata gelut di ring besar, ditonton banyak orang, dan tahu kalau lawan kita punya teknik itu bikin nervous, aku enggak fokus,” aku Nova.

Barangkali itu juga yang membuat Nova akhirnya tak berkutik saat bertanding. Setelah berhasil dikunci, Nova sempat mengangkat badan dengan harapan bisa membanting balik tubuh lawan. Tapi justru tubuh Nova kembali terbanting dengan posisi di bawah, dan kreeeek ia merasakan headgear pelindungnya terbuka.

Sejurus kemudian, pilihan sulit diambil Nova: ia memukul-mukulkan tangan ke lantai ring. Nova memilih knock out.

Di titik itu, Nova merasa rasa rindu gelutnya sudah lunas. Ia sadar betul, Nova yang ada di ring Jogja Gelut Day hari itu bukan Nova semasa SMP. Ia yang sekarang lebih mampu mengukur kapasitas dirinya, lebih mampu mengukur kapan harus berhenti dan merasa cukup.

“Dulu aku rajin gelut itu cuma ingin membuktikan diri kalau aku jagoan, biasalah remaja,” ujarnya.

Meski kerap gelut di jalanan, Nova menolak disebut pelaku klithih. Kasus kekerasan jalanan di Yogyakarta seringkali tak bisa disimplifikasi. Kompleksnya akar masalah membuat hal ini susah diatasi. Terbaru, 29 Mei 2022 lalu seorang pelajar SMP tewas di jalan setelah bentrok dengan sesama geng pelajar. Soeprapto, sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada mengaitkan tren ini dengan aktivitas geng preman dewasa yang dipengaruhi pertumbuhan ekonomi Yogyakarta.

Di level individu, tak bisa dipungkiri perkembangan emosional dan insting pencarian jati diri remaja yang memuncak jadi alasan yang juga valid. Tarung bebas, apapun bentuknya, jadi ajang paling mudah untuk menjajal kapasitas diri. Ajang tarung bebas yang fair, dapat mengajari pemainnya belajar soal kalah dan menang, soal rasa sakit dan rasa bangga, soal menemukan dan kehilangan diri.

“Yang kami pingin putus itu regenerasi kekerasan jalanannya. Kalau soal memberantas klithih, itu tugas polisi,” kata Erix, sembari menambahkan, “Aku ingin peserta yang ikut jadi seduluran saka gebuk-gebukan (bersaudara karena jotos-jotosan)”.

Abro Fernandez, atlet MMA yang juga jadi wasit pertandingan Nova, sebelum pertandingan.jpg
Abro Fernandez [tengah] atlet MMA yang jadi wasit pertandingan Nova, sebelum pertandingan.

Setelah digelar secara bertahap selama Juni, Jogja Gelut Day #1 usai sudah. Meski hanya sampai di babak semifinal, Nova berniat terus melatih fisiknya untuk mendaftar di gelaran Jogja Gelut Day selanjutnya. Untuknya kekalahannya di ring tak jadi soal, diam-diam ia telah menang melawan Nova remaja yang berangasan di dalam dirinya.

“Enggak dapet piala Jogja Gelut Day enggak apa-apa, aku bisa bikin piala sendiri kok,” ujarnya bangga, sambil memamerkan piala elang yang hendak ia pajang di galeri sekolahnya itu.