Penyerapan Anggaran Covid Lamban Akibat Birokrasi, Jokowi Butuh Lebih dari Sekadar Marah

Jokowi ancam reshuffle menteri akibat serapan anggaran corona rendah birokrasi lambat

Dalam sebuah drama sidang terbatas yang menghadirkan para menteri pada 18 Juni lalu, Presiden Joko Widodo terekam agak ngegas ngomongin cara kerja anak buahnya yang lelet di tengah situasi krisis . Jokowi kesel karena meski anggaran menangani corona udah disediakan, tapi kok enggak segera dipakai belanja kebutuhan. Usut punya usut, rumit dan leletnya administrasi jadi kendala utama penyerapan anggaran. Ironis, mengingat reformasi birokrasi termasuk cita-cita Jokowi pada periode kedua ini.

“Prosedur di Kementerian Kesehatan betul-betul bisa dipotong. Jangan sampai bertele-tele kalau aturan di permen-nya (peraturan menteri) terlalu berbelit-belit, ya disederhanakan,” kata Jokowi di pidato penuh amarah itu. Jokowi juga menyebut kalau kerjaan anak buah gini-gini aja, ia tak segan membubarkan lembaga dan melakukan reshuffle kabinet.

Videos by VICE

Emang sah banget sih kalau kita bilang kerja pemerintah ngurusin corona ini lambat banget. Memasuki bulan kelima pandemi, serapan anggaran penanganan corona belum ada yang tembus 40 persen.

Pada Senin (27/6), Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan anggaran pemulihan ekonomi nasional di sektor kesehatan baru terserap 4,68 persen dari total anggaran Rp87,55 triliun, membuat Menkes Terawan kembali jadi sorotan publik.

Penyerapan di pos lain juga enggak kalah lambat. Pencairan anggaran perlindungan sosial baru 34,06 persen dari bajet total Rp203,9 triliun, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah baru 4 persen dari total Rp106,11 triliun, stimulus UMKM baru 22,74 persen dari total Rp123,46 triliun, sedangkan insentif dunia usaha baru 10,14 persen dari total Rp120,61 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan lambatnya eksekusi anggaran kesehatan menangani virus karena birokrat terlalu berhati-hati agar tak terjerat potensi korupsi.

“Biasanya yang berniat baik [itu yang] paling khawatir [dengan tahap-tahap penyerapan anggaran], kalau memang niat maling tetap saja kerja keras, kalau baik [menjadi] sangat hati-hati [dalam memperlakukan anggaran] dan menjadi dilema kami.

“Presiden ingin saat krisis lakukan langkah-langkah beyond [lebih dari biasanya], agar tidak jadi masalah akuntabilitas itu trade-off-nya [konsekuensi yang harus diterima], maka aturan apa yang bisa di- stretch [direnggangkan agar birokrasinya enggak rumit], pokoknya kami tidak ada dana ke- pending,” ujar Sri Mulyani dilansir Tempo.

Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir bilang keterlambatan pencairan dana yang dikelola Kemenkes terjadi karena usulan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan dari fasilitas kesehatan dan dinas kesehatan daerah terlambat masuk. Penyebabnya, usulan tersebut harus diverifikasi dulu di internal fasilitas kesehatan baru dikirim ke Kemenkes. Sederhananya: alur birokrasinya emang panjang.

“Alurnya terlalu panjang sehingga membutuhkan waktu untuk proses transfer ke daerah. Keterlambatan pembayaran juga disebabkan antara lain karena lambatnya persetujuan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran oleh Kementerian Keuangan,” kata Abdul kepada Tempo.

Untuk mempercepat pencairan anggaran, Abdul bilang Menkes Terawan melakukan revisi Permenkes 278/2020 yang membuat verifikasi data fasilitas kesehatan dan dinas kesehatan daerah dilimpahkan sepenuhnya ke lembaga tersebut tanpa harus ke Kemenkes terlebih dahulu.

Kepada VICE, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi memaparkan sejumlah kemungkinan penyebab serapan anggaran penanganan corona masih sangat kecil.

“Pertama, anggaran untuk pandemi memang baru diumumkan. Biasanya kalau baru diumumkan eksekusinya lambat karena kondisi birokrasi yang berbelit-belit. Kedua, karena disuruh di rumah aja, aparat (pemerintah) kita banyak yang juga di rumah sehingga enggak ada yang efektif kerja,” kata Uchok kepada VICE.

“Cara kerja dari rumah di tengah pandemi enggak pernah dibayangkan dan bikin semua panik sehingga konsep mengantisipasi jadi hilang semua. Ketiga, pimpinannya tidak melakukan evaluasi. Kalau mandek begini, apa yang harus dilakukan? Kenapa uang enggak cair? Artinya, koordinasi setingkat menteri enggak ada. Karena enggak bisa ketemu, jadi susah.”

Uchok merasa baiknya birokrasi yang panjang langsung dipotong saja di situasi darurat begini. Misal, satgas di Kemenkes diberi keleluasaan untuk langsung mencairkan anggaran setelah melihat kebutuhan di lapangan. “Harus ada payung hukum untuk satgas,” jelas Uchok.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan lambatnya pencairan anggaran berimbas pada semakin turunnya pertumbuhan ekonomi. “Pemerintah sendiri terus lakukan revisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II dari sebelumnya minus 3,1 persen menjadi minus 3,8 persen. Ini indikator bahwa stimulus yang terlambat menjadi kurang efektif baik dari sisi konsumsi rumah tangga maupun dari pertumbuhan belanja pemerintah sendiri,” ujar Bhima kepada VICE.

Keinginan mempercepat belanja anggaran agar uang yang numpuk di pusat bisa beredar di masyarakat juga jadi salah satu alasan Jokowi marah-marah di rapat kabinet tersebut. Selain menyiksa masyarakat yang sedang butuh uang dan bantuan, uang yang tertahan juga bikin pertumbuhan ekonomi makin melorot.

“Untuk pemulihan ekonomi nasional, misalnya saya beri contoh, bidang kesehatan, itu dianggarkan 75 triliun. Tujuh puluh lima triliun! Baru keluar 1,53 persen coba. Uang [yang harusnya sudah] beredar di masyarakat ke-rem ke situ semua. Segera itu dikeluarkan dengan penggunaan-penggunaan yang tepat sasaran sehingga men-trigger ekonomi. […] Di bidang ekonomi juga sama, segera stimulus ekonomi bisa masuk ke usaha kecil, usaha mikro, mereka nunggu semuanya. Jangan biarkan mereka mati dulu baru kita bantu, enggak ada artinya,” semprot Jokowi.

Bhima berpendapat, penyebab lambatnya pencairan bukan hanya soal birokrasi yang ruwet, tapi juga kesiapan dana. “Pada awal Covid-19 kan pemerintah belum gencar terbitkan utang lewat SBN [Surat Berharga Negara] berbunga tinggi sementara penerimaan pajak menurun tajam, membuat situasi sulit bagi kas negara,” jelas Bhima. Faktor lain, senada dengan Menkeu Sri Mulyani, adalah kekhawatiran pelaksana teknis kena kasus korupsi meski sudah dilindungi perppu yang memberikan imunitas. Akibatnya, pejabat jadi takut bergerak.

“Koordinasi juga bermasalah. Ada ego sektoral antara pemerintah pusat dan daerah. Lihat aja bantuan mau pamer-pameran. Yang satu bantuan khusus presiden, satunya bantuan dana APBD DKI Jakarta. Belum lagi soal data yang tidak sinkron. Pelaksana di bawah jadi bingung,” kata Bhima. Ia merasa ada menteri dengan kinerjanya lamban dan sudah selayaknya diganti, “Regulasi berubah tapi menterinya sama, ya percuma.”