*Revisi judul dilakukan pada Senin (8/6) pukul 17.49 WIB, menyusul ralat dari sumber berita asal, yang memastikan tidak ada poin perintah hakim PTUN agar presiden ataupun pejabat kominfo meminta maaf sebagai konsekuensi pelanggaran hukum tersebut.
Vonis dijatuhkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (3/6,) dalam persidangan yang disiarkan online. Hakim mengategorikan tindakan kedua tergugat, yakni Presiden dan Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia sebagai “perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan dan atau pemerintahan” karena memperlambat dan mematikan internet di Provinsi Papua dan Papua Barat ketika kerusuhan pecah Agustus-September 2019.
Videos by VICE
Vonis ini menjadi kemenangan penggugat. Mereka terdiri dari Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers Jakarta, SAFENet Voice, YLBHI, KontraS, ELSAM Indonesia, dan ICJR.
Gugatan dimasukkan tahun lalu dengan sidang perdana digelar 22 Januari 2020. Pemerintah beralasan, internet di Papua dan Papua Barat diperlambat dan dimatikan untuk membatasi peredaran informasi palsu yang melawan hukum. Menurut penggugat, dampaknya malah membuat informasi simpang siur. Pers sulit mendapat informasi yang berimbang, sedangkan penduduk Papua terhalang untuk menyampaikan informasi kerusuhan yang sedang terjadi.
Dari cuitan perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Isnur, pemerintah Indonesia dinyatakan bersalah karena tiga hal. Pertama, internet shutdown yang dilakukan cacat prosedur.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Dirjen Aplikasi dan Informatika Samual A. Pangerapan mengatakan bahwa perlambatan dan pemutusan internet diinstruksikan langsung pemerintah lewat koordinasi grup WhatsApp yang beranggotakan Menkominfo dengan semua CEO operator telekomunikasi. Hakim mengatakan pemutusan internet mendesak harus didahului dengan pengumuman keadaan bahaya oleh presiden seperti yang diatur UU Keadaan Bahaya 1959.
Kedua, setelah internet diputus, pemerintah tidak menyediakan fasilitas agar publik tetap dapat mengakses fasilitas informasi dari Papua. Klaim Kemkominfo bahwa di Papua ada media center dibantah oleh kesaksian Kapolda Papua saat itu, Rudolf Albert Rodja, yang mengatakan doi enggak tahu tuh ada media center.
Ketiga, saksi ahli pakar Ham Herlambang P. Wiratraman menjelaskan bahwa menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pemutusan akses internet adalah pelanggaran HAM karena tidak hanya menghalangi akses para jurnalis, tapi juga melindungi tindakan pelanggaran HAM berat, yang dicurigai terjadi di Papua dan Papua Barat, dari pengawasan pers.
Hakim juga mementahkan pembelaan Menkominfo bahwa pemutusan akses internet bertujuan untuk membatasi penyebaran hoaks dan informasi yang melawan hukum. Menurut hakim PTUN Jakarta, kalau ingin membatasi penyebaran hoaks, yang dibatasi ya hoaksnya aja, bukan jaringan internetnya. Hakim memakai analoginya konten pornografi yang mana otoritas memburu konten pornografinya doang, bukan internetnya yang dimatikan.
Lalu ini bagian yang paling ditunggu. Bersama dengan vonis bersalah, hakim sekaligus menetapkan hukuman yang harus ditanggung pemerintah.
Kesatu, Menkominfo dan Presiden diwajibkan menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan tindakan perlambatan dan pemutusan akses internet lagi di seluruh Indonesia.
Kedua, Presiden dan Menkominfo diwajibkan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia, khususnya penduduk Papua, Papua Barat, dan lembaga pers, yang disiarkan di tiga media cetak nasional (Koran Tempo, The Jakarta Post, dan Kompas), enam stasiun televisi (Metro TV, RCTI, SCTV, tvOne, Trans TV, dan Kompas TV), dan tiga stasiun radio (Elshinta, KBR, dan RRI) dengan redaksi yang udah diatur sama penggugat, maksimal satu bulan setelah putusan.
More
From VICE
-
Screenshot: Frontier Developments -
Screenshot: Sony Interactive Entertainment -
Screenshot: Microsoft -
Credit: Peter Cade via Getty Images