Jomblo Menurut Penelitian Cenderung Susah Tidur

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Kalau kamu adalah satu-satunya manusia di bumi (atau kalau kamu baru saja mulai nonton Master of None season kedua), kamu mungkin tahu rasanya kesepian. Kamu akan tahu bahwa sebagian besar hal dalam hidup, baik yang kecil maupun besar—seperti makan, SMS-an, Netflix—terasa tak memuaskan kalau secara sosial kita kesepian. Kini tidur bisa masuk ke dalam daftar itu, menurut sebuah penelitian yang dirilis kemarin, yang menemukan bahwa orang-orang kesepian cenderung memiliki kualitas tidur lebih buruk.

Sebuah tim dari King’s College London mempelajari lebih dari 2.200 kembar identik Inggris yang lahir dari 1994 dan 1995, sebagai sampel anak muda representatif sebuah negara. Mereka menetapkan kesepian sebagai perasaan tidak mampu memiliki hubungan sosial dan mereka membedakan kesepian dari isolasi sosial—yaitu, seperti yang kita sering temukan di quote-quote Tumblr, kesepian dan sendirian adalah dua hal berbeda. Secara umum, hasil mereka menunjukkan 24 persen orang-orang kesepian yang jadi responden cenderung melaporkan kualitas tidur yang buruk, serta kesulitan konsentrasi pada siang hari.

Untuk mencapai hasil tersebut, para peneliti menggabungkan skor kesepian bagi setiap peserta berdasarkan wawancara dalam rumah dan kuisioner soal persahabatan, perasaan jika ditinggalkan, terisolasi, dan sendirian. Secara keseluruhan, 25 hingga 30 persen peserta melaporkan perasaan kesepian sebagian waktu, dan 5 persen melaporkan perasaan kesepian. Tim ini kemudian mengukur kualitas tidur peserta menggunakan kuisioner kedua yang mencakup segala hal dari jumlah tidur per malam, hingga obat-obatan pembantuk tidur, dan permasalahan pada siang hari terkait kualitas tidur rendah.

Analisis ini juga menilik isolasi sosial para peserta, status ketenagakerjaan, dan apakah mereka memiliki anak kecil. Mereka mendeteksi depresi, kegelisahaan, konsumsi alkohol, ADHD, dan PTSD, yang mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi tidur. Akhirnya, karena ini merupakan penelitian terhadap kembar, mereka meneliti apakah genetik memiliki andil dalam kasus ini, atau jika kondisi masa kecil merupakan faktor penting. Analisis ini menemukan bahwa gen bukan biang keroknya, dan kesepian dan kualitas tidur tidak berkaitan dengan gen.
Dengan segala faktor biologis dan sosial, terdapat kaitan kuat antara kesepian dan kualitas tidur. Pada faktanya, dalam satu subkelompok peserta, korelasi ini bahkan semakin kuat: orang-orang yang pernah mengalami kekerasan, disalahkan sebagai korban, atau perlakuan tidak pantas ketika masih kecil atau remaja cenderung mengalami kesepian dan memiliki kualitas tidur rendah. (Contoh dari ‘disalahkan sebagai korban’ dalam penelitian ini termasuk pelecehan dalam internet, kekerasan seksual, pengabaian, trauma, dan korban kekerasan.)
Para peneliti mengaitkan temuan mereka dengan evolusi; mereka menyarankan bahwa kesepian pada dasarnya tentang merasa tidak aman. Terputus dari kelompok sosial membuat kita merasa rentan, dan memicu reaksi fight-or-flight, atau keadaan meningkatnya sensor sensitif untuk mendeteksi bahaya, yang tidak sesuai dengan kualitas tidur. Dan para peneliti didukung oleh penelitian lebih dari satu dekade yang telah melihat kemungkinan asal evolusioner dari kesepian dan memiliki dampak terhadap perilaku kita.
Namun, di samping klaim-klaim evo-psikologi, ada beberapa orang yang berargumen bahwa penelitian ini menetapkan perasaan “biasa aja” menjadi penyakit psikis. Merasa kesepian kan normal, ya? Namun seru juga melihat para peneliti menseriusi topik kesepian, mengingat hal tersebut mempengaruhi kesehatan kita. Bagi orang dewasa lainnya, kesepian terkait dengan tekanan darah tinggi, depresi, dan penurunan kesehatan mental dan fisik. Bahkan, sebagian besar penelitian soal kesepian fokus pada lansia, mengingat tingkat isolasi sosial dalam kelompok usia tersebut. Namun menurut Mental Health Foundation di Inggris, kesepian justru paling sering ditemukan pada orang-orang berusia 18 hingga 34. Lebih penting lagi, adalah perasaan kesepian kronis sebetulnya cukup umum—sehingga semakin penting untuk mengakui dampak kesehatan kesepian pada anak muda, yang lebih mungkin mengalami keterputusan hubungan sosial kronis pada usia muda, sehingga akan menjadi semakin parah seiring waktu.
Dan meski kualitas tidur tidak terkesan penting jika kamu masih muda dan demen bergadang, hal tersebut memiliki kualitas jangka panjang. Dalam kesimpulan penelitian ini, sang peneliti menulis: “Kualitas tidur yang rendah adalah satu dari banyak cara kita merasa kesepan, dan temuan kita menggaris bawahi pentingnya intervensi awal untuk mengurangi kesepian pada anak muda.” Intervensi tersebut termasuk strategi seperti CBT untuk memecahkan kepercayaan negatif seseorang menyoal situasi sosial, kepercayaan yang cenderung memicu interkasi sosial yang tidak sehat.

Videos by VICE

Jika ada pelajaran yang bisa petik, adalah bukan salah kita jika merasa kesepian. Terutama bagi mereka yang pernah mengalami trauma atau kekerasan, yang memiliki risiko lebih tinggi merasa kesepian dan dampak negatifnya pada kesehatan. Kabar baiknya adalah, terapi psikologi mutakhir berupaya untuk membantu kita merasa tak kesepian itu—dan mereka mungkin bisa membantu meningkatkan kualitas tidur kita.