Mengintip Kondisi mengenaskan 'Hotel Bayi' di Jepang
Foto oleh Ani Dimi via Stocksy

FYI.

This story is over 5 years old.

Culture

Mengintip Kondisi mengenaskan 'Hotel Bayi' di Jepang

Mencari tempat penitipan anak di Jepang seperti tugas mustahil. Banya orang tua lantas berpaling pada layanan penitipan 'liar' yang tak profesional. Kematian anak jadi risiko terburuk.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Kalau anda pikir mencari pusat penitipan anak yang bisa dipercaya di Jakarta susahnya minta ampun, cobalah hal serupa di Jepang. Negeri dihuni oleh 127 juta orang itu tengah dirundung masalah kekurangan lokasi penitipan bayi yang lumayan akut. Kondisi ini memicu menjamurnya "hotel bayi' yang beroperasi tanpa izin. Belakangan, sudah ada beberapa bayi meregang nyawa di 'hotel' semacam itu.

Iklan

Tingginya permintaan akan tempat penitipan anak yang layak punya dampak tersendiri. Akhir-akhir ini, orangtua anak di Negeri Matahari Terbit sampai harus terlibat perebutan sengit bangku TK yang disubsidi pemerintah. Perebutan ini makin pelik di daerah perkotaan. Menurut keterangan yang dilanir oleh surat kabar Japan Times, sampai April 2015, terdapat 23.167 anak di Jepang tak mendapatkan tempat di penitipan anak. (Beberapa orangtua yang berhasil diwawancari Broadly mengaku pernah ditolak lebih dari 10 tempat penitipan anak meski mereka mendaftar setahun lebih awal.) Imbasnya, tempat penitipan anak ilegal yang menawarkan jasa menjaga balita hingga anak usia sekolah selama 24 jam, bermunculan di mana-mana. Pada Oktober 2016, Yusuke Tsunoda, seorang pegawai penitipan anak berumur 34 tahun, dicokok polisi karena dituduh melukai Rinto Idenawa yang berumur 4 bulan.

Rinto ditemukan tewas Desember 2015 akibat kerusakan otak saat dititipkan di Chibikko Boy, sebuah hotel bayi 24 jam di wilayah Hiratsuka, Prefektur Kanagawa. Rinto, mulai dititipkan tengah malam sebelumnya, adalah salah satu dari 33 bayi yang dijaga seorang diri oleh Tsunoda malam itu. Chibikko Boy sudah enam kali dilaporkan atas berbagai macam pelanggaran. Meski demikian, pusat penitipan anak ini tetap beroperasi walau kerap mendapat teguran dari Pemerintah Prefektur Kanagawa. Hotel bayi dikelola oleh swastanya biasanya memiliki tarif yang lebih tinggi dari penitipan bayi yang berizin resmi.

Iklan

Belum lagi, pegawai hotel bayi biasanya tak punya kecakapan memadai. Yang mengejutkan, hotel bayi dianggap sebagai unit usaha legal. Menurut angka statistik dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan Ketenagakerjaan Jepang, jumlah hotel bayi telah mencapai 1.749 dan ada 32.523 anak yang kerap dititipkan di hotel bayi tersebut.

Mulai 2000-an, pemerintah Jepang melakukan deregulasi dan privatisasi pada layanan penitipan anak. Dengan demikian, pelaku bisnis, perorangan atau bahkan preschool partikelir di Jepang diizinkan membuka layanan penitipan anak. Pada2013, pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe mengumumkan rencana meningkatkan jumlah tempat penitipan anak hingga 2019. Namun, seperti terlihat dalam kasus tewas Rinto, menambah jumlah tempat penitipan anak tak serta merta sejalan dengan meningkatnya kualitas pelayanan.

Pusat penitipan anak di Tokyo. Photo via Flickr user e_chaya.

Tewasnya balita di tempat penitipan anak bukan kasus langka di Jepang. Menurut angka yang dikeluarkan kantor kabinet, pada 2015 saja, ada sembilan anak yang tewas di hotel bayi. Maret 2016, Kento, bayi berumur 14 bulan, tewas di Kids Square Nihonbashi Muromachi, Ibu kota Tokyo. Orang tua Kento baru menggunakan fasilitas penitipan bayi itu kurang dari enam bulan.

Di bulan yang sama, bayi perempuan berumur enam bulan meregang nyawa di sebuah penitipan bernama Kamata Children's House di Ota City, Tokyo. Kedua orangtua bayi malang ini adalah karyawan penuh waktu. Malang bagi mereka, tempat penitipan anak publik tak kunjung ditemukan sampai cuti melahirkan mereka habis. Mereka menemukan Kamata Children's House lewat informasi yang menyebar melalui daring. Tak punya pilihan lain, mereka langsung merogoh 60.000 yen (setara Rp7 juta) untuk jasa penitipan selama satu bulan. Dua staf yang kala itu bekerja menjaga bayi mereka tak memenuhi kualifikasi bekerja di tempat penitipan anak.

Iklan

Kasus kecelakaan atau keteledoran tak hanya terjadi di Jepang. Namun sebagai perbandingan, di Inggris—yang memiliki banyak tempat penitipan anak 24 jam—pekerja penitipan anak diwajibkan lulus tes DBS check (Disclosure and Barring Service). Pekerja penitipan ana diwajibkan memiliki kualifikasi yang memadai. Pemerintah Inggris turun tangan langsung menjaga kualitas pelayanan penitipan anak di sana. Tempat penitipan anak di Inggris disidak secara berkala oleh agensi pemerintah bernama Ofsted (Office for Standards in Education, Children's Services and Skills). Sebaliknya, di Jepang tak ada peraturan ketat mengatur keberadaan hotel bayi. Tak ayal, hotel bayi berkualitas rendah bisa beroperasi tanpa halangan berarti.

"Banyak hal buruk terjadi di Hotel Bayi Jepang. Ironisnya, jika layanan ini tak pernah ada, maka situasi lebih mengerikan akan terjadi."

Seorang perempuan—dia tak ingin Broadly mencantumkan nama lengkapnya—mengaku pernah bekerja di sebuah hotel bayi di perfektur Nagasaki. Dia secara gamblang menyebut penitipan bayi yang mempekerjakannya sebagai tempat yang "kotor." "Kadang saya masih suka sedih kalau ingat pernah kerja di sana," ujarnya. "Entahlah hotel bayi tempat saya pernah bekerja masih ada atau tidak, tapi saya sering teringat pengalaman saya di sana, bayi-bayi yang saya jaga. Pengalaman saya masih membekas di hati saya."

Perempuan itu mengaku tempatnya bekerja terletak di Sasebo (kota terbesar kedua di Nagasaki). Tempat kerjanya tidak menyediakan nutrisi yang cukup bagi para bayi yang dititipkan. Makanan yang diberikan pada para bayi tidak segar. Pun, asupan yang diberikan tak jauh-jauh dari makanan instan seduhan. "Banyak hal mengejutkan terjadi di hotel bayi. Di saat yang sama lebih banyak hal mengerikan akan terjadi tanpa kehadiran hotel bayi." Dia ingat 90 persen dari ibu-ibu yang menitipkan anaknya di hotel bayi itu berprofesi sebagai PSK atau pelayan bar.

Iklan

Mantan pekerja hotel bayi ini juga teringat pengalamannya merawat seorang bayi baru lahir. Di tempatnya bekerja dulu, tak ada fasilitas untuk memandikan bayi. Alhasil, bayi malang itu tak benar-benar dimandikan setelah makan. Tak lama berselang, kulit bayi malang itu mulai memerah. Alih-alih tinggal di tempat penitipan, bayi itu menginap semalaman di rumah sakit. Ajaib. Sehari setelahnya, perempuan itu melanjutkan, bayi itu kembali dititipkan di tempatnya bekerja.

"Kalau boleh jujur sih, saya ingin hotel bayi itu tak pernah ada karena kondisinya mengenaskan." ujarnya. "Tapi, saya paham bagi pekerja seks komersial yang kebanyakan adalah orangtua tunggal, hotel bayi jadi gantungan terakhir mereka." Pengguna layanan hotel bayi tak terbatas pada pekerja seks komersial. Hotel bayi juga jadi solusi bagi ibu-ibu dari bermacam profesi yang kesulitan mengakses tempat penitipan anak yang dibiayai publik. Selain itu, ibu-ibu yang memiliki jam kerja panjang atau masuk kerja di malam hari kerap jadi pelanggan hotel bayi. Toko Teramachi, seorang pengecara dan pakar sistem pengasuhan anak di Jepang, telah membantu beberapa orangtua yang anaknya meregang nyawa di fasilitas penitipan anak tak berizin.

Salah satu kasus yang ditanganinya terjadi tahun 2014. Seorang bayi berumur sembilan tewas akibat serangan jantung setelah dibiarkan begitu saja di sebuah hotel bayi di kota Utsunomiya. Menurut pengakuan Teramachi, pusat penitipan anak brengsek itu dalam iklan mereka menjanjikan "pendampingan perawat secara terus menerus kontak dengan dokter, makanan yang dibuat di bawah bimbingan ahli gizi serta memiliki kemampuan menangani anak yang tengah sakit dan layanan perawatan di malam hari." Untuk semua layanan yang dijanjikan, mereka mematok tarif 20,000 yen (setara Rp2,3 juta) semalam.

Iklan

"Kebanyakan klien tempat penitipan ini berprofesi sebagai dokter dan pemilik perusahaan yang terpaksa meninggalkan anak mereka ketika ada kunjungan keluar kota," jelas Teramachi. Kenyataannya, tempat itu tak pernah mempekerjakan dokter, perawat, apalagi ahli gizi.

"Saya sangat ingin menitipkan anak di layanan resmi pemerintah. Tapi tempat-tempat itu selalu penuh."

Teramachi menekankan Jepang sangat membutuhkan mekanisme tes yang harus diambil oleh mereka yang bekerja di bisnis penitipan anak, serupa tes DBS di Inggris. Menurut sebuah artikel yang baru-baru ini diturunkan oleh Bloomberg, pekerja tempat penitipan anak berpenghasilan 214.200 yen (setara Rp24 juta) per bulan.

Jumlah ini jauh di bawah pendapatan bulanan pekerja di Jepang yang mencapai 325.600 yen (setara Rp37 juta). Dalam sebuah survei terhadap 31.500 pekerja jasa penitipan anak, ditemukan bahwa 1 dari 5 memikirkan kemungkinan beralih profesi karena rendahnya upah yang mereka terima. Sudah bukan rahasia lagi—ini juga terungkap dalam survei itu—hanya sedikit pekerja penitipan anak memiliki kualifikasi yang memadai.

"Salah satu sistem yang harus dibuat di Jepang adalah mekanisme untuk memeriksa catatan kriminal atau kekerasan seseorang yang hendak bekerja di bisnis penitipan anak, seperti penjaga anak, guru TK, serta staf hotel bayi. Ini akan menyingkirkan calon-calon yang tak kompeten," imbuh Teramachi.

Foto oleh Courtney Rust via Stocksy

Iklan

Meski beberapa pelanggaran standar perawatan anak di hotel bayi sudah dilaporkan kepada pihak berwenang, seperti kasus yang terjadi di Chibikko Boy, Teramachi percaya bahwa pemerintah Jepang hanya akan membuat kebijakan yang tidak signifikan. "Pemerintah sebenarnya punya kewenangan, tapi tak pernah digunakan." ujar Teramachi. "Alasannya, kalau mereka mengambil langkah keras, operasional hotel bayi akan terganggu. Akibatnya, lebih banyak bayi yang akan terlantar. Pemerintah Jepang tak mau menghadapi masalah ini."

Di dalam masyarakat Jepang yang terkenal punya pembedaan peran gender yang ketat, proses pencarian solusi dilema hotel bayi ini tak akan berjalan lancar. Pemerintahan PM Abe mendorong lebih banyak perempuan masuk pasar tenaga kerja jepang. Sementara di saat yang sama, perempuan Jepang masih dibebani tugas mengurusi anak.

Imbasnya, Ibu yang bekerja punya beban ganda di Jepang. Seorang Ibu memiliki anak lelaki berumur 17 bulan mengaku pada Broadly bahwa dia menggunakan jasa tempat penitipan anak tak berlisensi 5 hari dalam seminggu. Perempuan ini menolak memberikan namanya. "Aku ingin menitipkan anakku ke tempat penitipan anak terdekat, sayangnya kondisi pusat penitipan anak umum sangat mengenaskan." ujarnya.

"Belum lagi, sebagai pekerja paruh waktu, pekerjaan saya bisa gampang diambil orang." Dia menambahkan di Jepang, beralih profesi tak segampang yang anda kira, terlepas dari apa jenis kelamin anda. Hal ini akan makin runyam jika anda seorang ibu. Kultur pengambilan karyawan di Jepang sangatlah kaku. Sekali anda diterima dan bekerja sebagai karyawan tetap, anda sebetulnya mendapatkan gaji lumayan dan stabilitas hidup. Tapi, sekali anda mundur dari sebuah perusahaan, bakal susah mencari pekerjaan di level yang sama.

Jika seorang perempuan berhenti bekerja demi mengurusi anaknya, perusahaan akan menganggap dia tak pantas jadi karyawan tetap ketika perempuan itu kembali melamar pekerjaan. Berkat keberanian beberapa perempuan Jepang membeberkan pengalaman tak mengenakan mereka bersangkutan dengan layanan hotel bayi, isu ini sekarang menjadi bahasan di tingkat nasional. Dalam sebuah unggahan facebook yang penuh kegelisahan 22 oktober lalu, Tamura Tomoko—salah satu anggota dewan parlemen Jepang—menuntut pemerintah "mlanjutkan penyelidikan dan pemeriksaan standar keamanan di hotel bayi tak berlisensi. Pastikan isu ini masuk dalam agenda politik terkini agar bisa diselidiki lebih lanjut di masa datang."

Jepang jelas membutuhkan sebuah perubahan drastis dan mendalam guna mengakhiri kultur hotel bayi yang brengsek ini. Tak perlu ada lagi orangtua yang harus merasakan duka yang paling dalam hidup mereka: ditinggal mati anaknya di usia sangat belia.

—Reportase ini dibuat dengan bantuan Morisa Martin dan Wakaba.