'Indonesia Termasuk Benteng Terakhir Budaya Sepakbola Sejati'

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

'Indonesia Termasuk Benteng Terakhir Budaya Sepakbola Sejati'

Antony Sutton meninggalkan Inggris, memilih bergumul dengan dunia sepakbola Indonesia. Penulis blog Jakarta Casual itu merasa budaya bola di Tanah Air masih murni, karena bebas dari komersialisasi.

Lebih dari satu dekade lalu, di sebuah pub olahraga Jakarta yang menjadi tempat berkumpul favorit para ekspatriat, Antony Sutton membuat keputusan penting: menonton sepakbola Indonesia langsung di stadion. Keputusan itu mengubah hidupnya, sekaligus membuka pintu langsung kepada budaya olahraga yang dulu pernah dia alami di Inggris, tanah kelahirannya. Mantan warga London dan pendukung setia Arsenal selama masih berkandang di Stadion Highbury ini keluar dari kebiasaan tipikal ekspat dan menyaksikan pertandingan sepakbola lokal antara Persija melawan Sriwijaya FC.

Iklan

"Kamu beneran mau nonton sepakbola?" tanya istrinya, saat itu masih berstatus kekasihnya. "Istri saya kayaknya sih engga percaya," ujar Sutton. "Baginya, kalau ada pilihan antara nonton pertandingan sepakbola di Indonesia atau duduk di pub, ya dia pilih duduk di pub."

"Karena dia mikir seperti yang dipikirkan orang lain—tentang sepakbola Indonesia yang isinya soal keributan, perkelahian, huru-hara," ujarnya. Bagaimanapun, sang istri memang tidak salah. Sepakbola di Indonesia berulang kali diwarnai cerita-cerita seram mengenai brutalitas di dalam maupun luar lapangan.

Penggemar sepakbola lokal rata-rata mengenal Antony Sutton dari media sepakbola Indonesia, Jakarta Casual. Banyak orang sempat salah mengira Sutton adalah pencari bakat sepakbola atau manajer tim sepakbola asing. Setelah 15 tahun tinggal di Indonesia dan mengikuti pertandingan lokal lalu, Sutton menulis buku bertajuk Sepakbola: The Indonesian Way of Life yang mencatat observasi pengalaman pribadinya selama menggumuli budaya sepakbola di Tanah Air. Antony Sutton menyaksikan sepakbola Indonesia, yang paling mengesankannya adalah kecintaan orang-orang pada olahraga ini. Dia tidak langsung terpukau pada tim atau taktik tertentu. Bagi Sutton, sepakbola selalu mengenai orang-orang yang terlibat, atmosfer keramaiannya, dan bagaimana sepakbola lebih dari sekadar olahraga bagi orang-orang yang menggandrunginya. "Fans sepakbola sama kok di mana-mana. Kamu punya pandangan naif bahwa tim kesukaanmu bisa memenangkan pertandingan apapun di musim manapun," kata Sutton. "Tapi di Indonesia, kita mengekspresikan gairah itu, dengan cara-cara yang tidak lagi bisa dilakukan di Inggris." Sutton mengaku kecewa pada perkembangan sepakbola di negara asalnya. Suasana stadion tim-tim Premier League kini sangat berbeda dari yang dialami Sutton semasa remaja. Dia menonton pertandingan pertamanya pada 1973. Dia bilang sekarang harga tiket masuk pertandingan-pertandingan Liga Inggris menjadi sangat mahal. Contohnya tiket harian Arsenal, dibanderol Rp910.000 per orang—belum termasuk makanan dan transport, jadi cukup mahal untuk rekreasi akhir pekan. Komersialisme liga telah membatasi akses terhadap sepakbola. Sesama penonton malu melihat Sutton yang berusia 45 tahun meloncat dan berteriak dari bangkunya. Dia heran, padahal sepakbola seharusnya dinikmati semeriah mungkin.

Sebaliknya, iklim sepakbola Indonesia hampir tak mengenal kelas. Ada tiga divisi liga sepakbola di negeri ini… Artinya secara keseluruhan ada 60 tim yang ikut bersaing di semua divisi. Sekalipun padat dengan liga dalam negeri, penggila bola di Indonesia masih punya waktu untuk menyaksikan pertandingan liga Eropa di malam hari. Kegilaan akan bola di negeri ini dimiliki hampir semua orang. Hanya saja, harus diakui suporter yang hanya peduli pada klub lokal kesayangannya merupakan jenis paling langka. Mereka melakukan banyak hal, termasuk membuat bisnis sampingan agar bisa mendukung timnya bertanding kapanpun.

"Tim lokal di Indonesia mempunya andil dalam memajukan ekonomi Indonesia," kata Sutton. "Setidaknya klub-klub ini memaksa penggemarnya menjadi wirausahawan." Penggila kesebelasan lokal mungkin meminjam budaya bola dari Eropa. Namun dalam penerapannya, budaya yang diambil cuma setipis kulit ari. Para suporter itu menghadiri latihan rutin, nekat menonton pertandingan tandang sambil menumpang truk,hingga membuat sendiri merchandise jika klub yang mereka dukung tak membuatnya. Jiwa komunal macam inilah yang absen dari kultur sepakbola Eropa modern. "Kalau dilihat di permukaan, budaya sepakbola Indonesia memang mencontek Eropa," ujar Sutton. "Tapi coba lihat lebih seksama, yang terjadi sekarang sudah melampui kultur sepakbola di Eropa sana." Sekalipun ada bagian kultur bola lokal yang dicap negatif, terutama soal tawuran dan perkelahian berdarah, bagi Sutton ini hal yang lumrah dalam kultur bola di mana pun. Sutton tumbuh besar di Inggris di dekade 70-an. Di masa itu, punk dan sepakbola hampir tak bisa dipisahkan. Polisi kerap menyasar anak muda. Alasannya terdengar konyol: anak muda dekat dengan kultur skinhead. Kala itu—masa yang penuh gejolak sekaligus kerap disalahpahami—persepsi publik akan kekerasan dan sangkut pautnya dengan sepakbola jadi bahan berita yang gampang dijual media massa. Dalam pandangan Sutton, kondisi ini tak banyak berubah sampai sekarang. "Kalau tingkah polah dan penampilan kita berbeda, kita sudah pasti jadi sasaran orang lain," tuturnya. "Media kerjaannya membesar-besarkan hal kecil, entah itu musik atau sepakbola, selama bisa jadi headline." Dalam hikayat sepakbola Indonesia yang rutin diwarnai buruknya manajemen—baik di tingkat klub sampai PSSI, ada hal-hal positif dalam kultur sepakbola lokal yang menurut Sutton seharusnya membuat bangga penggemar sepakbola Indonesia. Misalnya, perjuangan suporter Persebaya, alias Bonek, yang mati-matian menjaga asa klub kesayangan mereka. Penggemar berat persebaya ini sampai rela pergi ke Jakarta mendemo PSSI. Bagi bonek, apa yang mereka lakukan bukan demi permainan sepakbola semata. Bagi mereka, ini adalah perjuangan tak kenal lelah untuk menjaga sepakbola tetap hidup di Indonesia.

"Semua pengalaman [menonton] sepakbola di Indonesia, terlepas semua yang negatif, bagi saya tak ada duanya."