Mestinya disambut gembira, permintaan Presiden Jokowi agar UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) direvisi karena “tidak bisa memberi rasa keadilan” malah menimbulkan kebingungan. Pasalnya, di kalangan anak buahnya sendiri ada beda pernyataan apakah tentang masalah utama dalam sejumlah pasal UU ITE.
Juru Bicara Presiden Jokowi Fadjroel Rachman termasuk yang menganggap UU ITE tidak pernah mengkriminalisasi pengkritik. “Tidak pernah ada orang yang ditangkap karena melakukan kritik,” ujar Fadjroel yang secara menjengkelkan konsisten melafalkan UU ITE sebagai “undang-undang ai ti e” saat membahas wacana revisi di Mata Najwa, Kamis lalu (18/2).
Videos by VICE
Dalam acara malam itu, Fadjroel menyebut usulan revisi UU ITE dari Presiden bukan karena ada pengkritik yang pernah dikriminalisasi, melainkan karena pasal karet dalam UU ITE dipakai masyarakat untuk saling melaporkan. Sedangkan anggota Fraksi PDIP Effendi Simbolon menyalahkan tafsir polisi yang menyebabkan banyak kasus kriminalisasi pendapat. Ia juga tegas menolak UU ITE direvisi serta menuntut Jokowi membuktikan pasal mana dalam UU ITE yang bersifat karet.
Pernyataan Fadjroel berkebalikan dari keterangan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Ahli Presiden (KSP) Donny Gahral Adian. Menurut Donny, selama ini telah banyak orang dipidana menggunakan UU ITE karena dianggap melakukan fitnah atau kritik. Oleh karena itu, UU ITE perlu direvisi untuk membuat batasan definisi ujaran kebencian, fitnah, hoaks, dan kritik.
“Harus ada pemilahan yang terang di media sosial, jadi kami tidak pidanakan mereka yang tidak bersalah. Kekhawatiran yang menyatakan pemerintah menggunakan UU ITE untuk alat kekuasaan bisa ditepis,” ujar Donny kepada Koran Tempo, Selasa (16/2).
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang turut hadir di Mata Najwa membantah pernyataan Fadjroel bahwa tak ada orang yang ditangkap karena kritik. “Pernyataan itu kalo dilihat di lapangan paradoks,” ujar Asfin. Ia mencontohkan, YLBHI saja mendampingi lebih dari 3.000 orang yang ditangkap hanya karena berdemonstrasi. “[Kritik] bukannya nggak didengar, justru ada tindakan balasan: ditangkap. Dan yang dibawa ke pengadilan sedikit sekali, artinya itu bukti penangkapan sewenang-wenang,” tambah Asfin.
Menanggapi Fadjroel Rachman yang mengatakan semua kasus UU ITE selalu punya alasan pidana yang jelas (bukan kriminalisasi), serta menekankan kritik ideal mesti berbasis data, Asfinawati menegaskan tak boleh ada larangan berpendapat tanpa data.
“Di luar itu [kritik yang mengandung ujaran kebencian seperti yang didefinisikan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik], menurut saya [kritik] ga boleh dipidana, bahkan dilarang [untuk dipidana]. Kalau dia [mengkritik] enggak pakai bukti? Ya gapapa, karena kalo begitu orang yang common sense atau dengan hati nuraninya saja, tidak punya data, atau tidak bisa membaca, dia enggak bisa mengkritik dong. Kritik jadi punya elite. Padahal sering kali masyarakat di bawah merasakan dengan hati nuraninya dan dengan jiwa raganya.”
Problem UU ITE: Delik aduan tak tegas, pasal karet, dan digdayanya tafsir polisi
Wacana revisi UU ITE disampaikan Presiden Jokowi saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Senin kemarin (15/2). “Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini,” ucap Presiden, dilansir Kompas.
“Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” kata Jokowi lagi, mungkin teringat pengalamannya memberi amnesti kepada korban kriminalisasi UU ITE Baiq Nuril dua tahun lalu.
Ini adalah kali kedua Jokowi menyorot soal kritik sepanjang tahun ini. Sebelumnya, ia telah meminta masyarakat untuk lebih aktif mengkritik pemerintah. “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataupun potensi maladministrasi, dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan-perbaikan,” demikian sambutan Jokowi di acara Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI pada 8 Februari 2021.
Pengamat menduga, pernyataan Presiden tersebut merespons anjloknya skor demokrasi Indonesia tahun lalu yang dinilai terburuk dalam 14 tahun terakhir, menurut riset lembaga The Economist Intelligence Unit.
Blak-blakan Jokowi yang rindu kritik tersebut langsung disambut elite. Di hari yang sama dengan sambutan Presiden, ekonom yang juga kader PDIP sekaligus mantan menteri dua kali Kwik Kian Gie sampai merasa perlu mengeluhkan iklim represif hari ini.
“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil [diubrak-abrik],” demikian twit Kian Gie, dikutip CNN Indonesia.
Bahkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla urun bicara. “Walaupun mendapat berbagai kritik beberapa hari lalu, Presiden mengumumkan, ‘Silakan kritik pemerintah,’ tentu banyak pertanyaan: bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Ini tentu menjadi bagian dari upaya kita,” ucap Kalla, dikutip Suara. Komentar seputar topik kritik juga datang dari mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyebut, ada delapan pasal dalam UU ITE yang bermasalah karena bersifat “karet”. Sedangkan anggota Fraksi PDIP di DPR RI T.B. Hasanudin menunjuk langsung dua pasal yang paling bermasalah, yakni Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
Menurut ahli hukum tata negara Refly Harun, letak karet sejumlah pasal UU ITE ada pada definisi penghinaan dan ujaran kebencian yang tidak jelas. Akibatnya, polisi bisa sewenang-wenang. “Cuma masalahnya adalah membedakan kritik, penghinaan, ujaran kebencian, hasutan, provokasi, itu yang enggak jelas [dalam UU ITE]. Jadi ketika orang merasa, ‘Saya menyampaikan kritik,’ tiba-tiba yang muncul di penegak hukum, ‘Anda bukan menyampaikan kritik, tapi anda telah menghina.’”
Ia menambahkan pula, “Permasalahannya kan adalah undang-undang ini memberikan terlalu lebar kewenangan kepada penegak hukum untuk menafsirkan.”
Kasus pasal karet yang terang-benderang pernah dialami Uril Unik Febrian dan Martha Margaretha pada 2019. Keduanya ditangkap polisi memakai UU ITE atas tuduhan menyebar hoaks hanya karena mengingatkan bahaya gempa.
Masalah lain adalah pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE, yang di atas kertas mensyaratkan delik aduan—karena mengacu pada KUHP Pasal 207. Praktiknya, polisi tetap bisa menangkap orang lewat patroli siber meski tanpa menerima aduan pihak yang dirugikan terlebih dahulu. Salah satu korbannya adalah Faisol Abod Atis, warga Malang yang pada 2019 dicokok lewat patroli siber polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45a ayat 2.
Mulanya karena Faisol mengkritik Presiden Jokowi yang saat debat pilpres 2019 mengklaim “hampir tidak ada konflik agraria” selama masa pemerintahannya. Lewat media sosial, ia menyanggah pernyataan itu dengan mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria bahwa ribuan konflik agraria terjadi sepanjang 2015-2018, menewaskan 41 orang.
Faisol akhirnya diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Malang dengan vonis 10 bulan penjara plus denda Rp10 juta. Selain Faisol, jurnalis Dandhy Dwi Laksono juga dikriminalisasi bermodal laporan dari internal polisi—biasa disebut laporan model A.
Sepanjang pemerintahan Jokowi dari Oktober 2014-Juli 2019, sebanyak 241 orang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas maupun pemerintah, demikian data Amnesty International Indonesia (AII) dikutip Direktur Eksekutif AII Usman Hamid dalam artikelnya di The Conversation. Dari total kasus tersebut, sepertiganya (82 kasus) karena tuduhan “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi.
“Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber,” tulis Usman. Ia juga mengutip data SAFEnet pada 2018 yang menyebut, sepertiga dari kasus UU ITE sejak 2008 didominasi laporan dari pejabat negara yang rata-rata menyasar aktivis, jurnalis, pegawai negeri, dan guru.
Sementara Jubir Presiden dan anggota DPR RI perancang UU ITE merasa regulasi ini baik-baik saja, survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membuktikan sebaliknya. Dalam laporan akhir tahun 2020 Komnas HAM disebutkan, 29 persen responden takut mengkritik pemerintah.
Bahkan di lingkungan akademis seperti kampus, sebanyak 20,2 persen responden tetap jeri mengatakan keberatan mereka. Hasil tersebut membuat Komnas HAM meminta pemerintah mengkaji ulang UU ITE. “Dan meminta pemerintah, agar melakukan review atas UU ITE, serta menyegarkan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi.”
Selain kriminalisasi, rasa takut mengkritik juga disebabkan potensi serangan digital yang jamak dilakukan, demikian disampaikan Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur. “Iya [yang mengkritik jadi terancam]. Karena kriminalisasi dan serangan-serangan digital semakin tinggi,” ujar Isnur kepada CNN Indonesia.
Kasus yang dialami peneliti Ravio Patra tahun lalu menjadi preseden unik sekaligus mengerikan terkait serangan digital “misterius” dan kriminalisasi memakai UU ITE. Hanya berselang setengah hari sejak WhatsApp Ravio diretas pada 22 April 2020, ia diciduk polisi di Menteng, Jakarta Pusat karena tuduhan mengirim broadcast pesan ajakan merusuh dan menjarah pada 30 April. Ia dijerat lima pasal sekaligus, salah satunya UU ITE Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.
Meski sempat ditahan dua hari, tidak jelas siapa yang melaporkan Ravio. Polisi mengatakan laporan datang dari seseorang berinisial DR, sedangkan kuasa hukum Ravio menyebut laporannya adalah model A. Kasus peretasan ini sudah korban laporkan kepada Polda Metro Jaya, namun hingga hari ini masih menggantung.
Nasib UU ITE setelah Presiden meminta revisi
Sehari setelah Jokowi meminta revisi UU ITE, Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian mengatakan kantornya akan membentuk tim pengkaji UU ini. Menurut sumber Koran Tempo, sejumlah pihak dilibatkan untuk mengeksekusinya, yakni KSP, Menko Polhukam, Kapolri, Kemenkumham, dan Kominfo.
Tapi arah angin cepat sekali berubah. Sehari kemudian, wacana “hapus pasal karet multitafsir” dari Presiden berubah menjadi “merancang interpretasi resmi atas pasal-pasal UU ITE”. Selain itu, perkara tim penggodok ide revisi juga tak disebut-sebut lagi. Alih-alih, Deputi IV KSP Bidang Informasi dan Komunikasi Politik Juri Ardiantoro malah menyatakan inisiatif revisi dilimpahkan kepada DPR RI. Padahal situasi di DPR RI, masih ada dua fraksi besar yang belum mendukung revisi UU ITE untuk kedua kalinya ini, demikian dilaporkan Tempo.
Kepolisian pun tampaknya lebih condong pada gagasan “membuat interpretasi resmi” ketimbang menghapus pasal bermasalah. Sikap ini diindikasikan oleh ide Kapolri yang ingin membentuk virtual police.
“Virtual police,” kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Purnomo, Selasa lalu (16/2), sengaja memakai istilah berbahasa Inggris, “menegur dan menjelaskan potensi pelanggaran pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian, lalu diberikan [informasi tentang] apa yang sebaiknya dia lakukan.”
Dengan konsep seperti itu, peran sesama warga yang udah parnoan sehingga sering ngasih peringatan “ninu-ninu” dan “hati-hati ada tukang nasi goreng mangkal” akan diambil alih polisi.
Ibarat film Inception, virtual police yang fungsinya menyosialisasikan UU ITE juga butuh disosialisasikan. Siapa yang akan digandeng? Seperti bisa diduga, Listyo menunjuk kepada influencer. Selain para pemengaruh bayar, Listyo pun berharap Kominfo mau bekerja sama. “Tolong ini dikerjasamakan dengan Kominfo sehingga kalau ada konten-konten seperti itu, virtual police muncul sebelum cyber police yang turun.”