Belum reda rasa syok masyarakat gara-gara Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ketahuan korupsi benih lobster buat beli barang diskonan di Hawaii, Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyerahkan diri beberapa jam setelah ditetapkan sebagai buronan. KPK, yang seakan “terlahir kembali”, menyematkan status tersangka kepada Juliari pada Minggu (6/12).
Juliari mengutip jatah Rp10 ribu per paket bantuan sosial (bansos) yang dibagikan Kementerian Sosial (Kemensos) kepada kelompok terdampak pandemi. Mirip kasus Edhy, Juliari dan Kemensos juga ketahuan minta jatah kepada perusahaan rekanan yang melakukan pengadaan bansos.
Videos by VICE
“Diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS [Matheus Joko Santoso, tersangka lain],” kata Ketua KPK Firli Bahuri pada konferensi pers, Minggu (6/12). Firli menyebut bansos dibagikan dua gelombang. Gelombang pertama dipalak Juliari sebesar Rp8,2 miliar, sedangkan gelombang kedua Rp8,8 miliar. Total, Juliari diduga KPK mengantongi Rp17 miliar.
Dengan begini, Kementerian Sosial menambah catatan buruk lembaganya sebab dari enam menteri yang menjabat sejak kementerian ini dihidupkan kembali pada masa Megawati Soekarnoputri, tiga di antaranya kena kasus korupsi. Mereka adalah Bachtiar Chamsyah, Mensos 2001-2009 dan dicokok juga gara-gara pengadaan bantuan sosial. Menteri Sosial kedua dikirim ke bui adalah Idrus Marham, politikus Golkar yang cuma menjabat posisi ini delapan bulan pada 2018. Idrus ditahan karena kasus lain, soal pengadaan PLTU di Riau.
Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan, penangkapan Juliari merupakan momentum pemerintah memperbaiki mekanisme kerja Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) penanganan Covid-19. ICW menilai penentuan rekanan PBJ dengan metode penunjukan langsung menyimpan masalah. Bentuknya berupa pemotongan, pungutan liar, eror distribusi sebab pendataan out-of date, sampai politisasi bansos (halo, Bupati Klaten).
“Salah satu dorongan kami adalah dengan membuat PBJ direncanakan serta dikelola secara transparan, misalnya mempublikasikan perencanaan pengadaan di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan [SiRUP] dan realisasi pengadaan. Dengan begitu, publik dapat mengawasi apakah pengadaan telah dilakukan dengan mematuhi ketentuan pengadaan,” tulis ICW dalam rilis resminya.
“Kondisi darurat pada dasarnya bukan pembenar untuk kemudian menutup informasi dan melakukan pengadaan di ruang gelap, mengingat pengadaan darurat mempunyai potensi terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang cukup tinggi.”
Peneliti ICW Tibiko Zabar menyebut bansos Covid-19 banjir permasalahan, terutama aspek pengelolaan, “transparansi dan akuntabilitas pengadaan sangat minim. Berdasarkan hasil pemantauan kami, setidaknya sejak 2 Juni 2020 hingga 31 Agustus 2020 terdapat 239 temuan dan aduan warga yang kami terima. Paling banyak terkait pungli dan inclusion error [seharusnya tidak dapat, tapi malah dapat karena kesalahan data],” kata Tibiko kepada VICE.
Penelusuran ICW menemukan bahwa salah satu perusahaan penyedia bansos baru didirikan pada 4 Agustus 2020. Selain tak berpengalaman, penunjukan ini bertentangan dengan UU 20/2001 Pasal 12 huruf I. alasannya, pejabat rentan memanfaatkan posisinya karena doil yang bertugas mengawasi program, yakni mensos itu sendiri.
Kementerian Sosial sejak lama dikritik karena lebih sering menjadi lahan basah bagi politikus partai. Mendiang Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, membubarkan Kemensos (saat itu masih disebut departemen sosial) pada 1999, tapi kemudian dihidupkan lagi di era Megawati. Video Gus Dur menceritakan ulang ambisinya mengakhiri korupsi laten di kementerian itu, saat diwawancarai Andy Noya viral lagi setelah kasus Juliari ramai dibahas netizen.
“Departemen itu yang mestinya mengayomi rakyat ternyata korupsinya gede-gedean…. Sampai hari ini,” kata Gus Dur dalam video yang direkam pada 2008 itu. “Tikusnya sudah menguasai lumbung.”
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyebut bansos baiknya diubah menjadi bantuan langsung tunai [BLT] yang lebih minim risiko penyelewengan. Karena bentuknya uang, tidak ada keterlibatan pihak ketiga yang membuka peluang manipulasi tender atau penggelembungan nilai produk seperti dalam bansos.
“Melalui cash transfer, kecil kemungkinan dana bantuannya disunat karena langsung sampai ke penerima akhir. Selain itu, semua catatan dan rekaman penyaluran tercatat di bank. Itu akan lebih efektif. Ini problematis memang [bantuan berupa barang],” kata Bhima kepada Bisnis. “Andai kata masyarakat memang memerlukan bansos sembako, proses pengadaan barang dan jasanya mesti transparan dan akuntabel karena rawan.”
Senada dengan Bhima, Tibiko menyebut konsep bansos rawan penyelewengan, apalagi menjelang kontestasi politik. Sebab dana bansos rawan dipolitisasi. Ia menyebut bantuan tunai lebih dibutuhkan bagi warga terdampak, mengurangi potensi penyelewengan dari sisi belanja barang.
“Jadi yang perlu diperbaiki soal tata kelola bansosnya, baik tunai atau barang. Kalau barang dari pengadaan dan distribusi bansos. Pemerintah tolong lebih transparan, pelaporan juga harus disampaikan secara berkala kepada warga,” sebut Tibiko.
Polemik bansos sudah disinyalir bermasalah dari hulu ke hilir. Pada Juli lalu, polisi mengaku sedang menangani 102 kasus dugaan penyelewengan dana bansos penanganan Covid-19 di sejumlah wilayah Indonesia.
“Ada pelaku seorang wali kota, kepala dinas sosial bekerja sama dengan penyedia, kepala seksi kesra, pejabat Bulog, kepala desa atau perangkat desa, dan ada juga pelaku dari Ketua RT,” sebut Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, dilansir CNN Indonesia.