kesehatan

Sosok Seperti Perempuan Indramayu yang Doyan Makan Silet Ada Banyak di Indonesia

Pengidap kelainan kuliner ekstrem dari obat nyamuk sampai sabun cuci, kerap menghiasi pemberitaan media Tanah Air. Gangguan psikologis bernama pica ini diwanti-wanti berbahaya.
Gejala gangguan psikologis pica makan barang ekstrem paku, silet, oli,
Foto ilustrasi perempuan lansia makan [kiri] dan silet dari Unsplash

Kisah Nenti, pemulung berusia 50 di Indramayu, Jawa Barat adalah kemelaratan yang dibalut masalah makan. Ia tengah jadi perbincangan gara-gara doyan memakan silet saban hari selama 25 tahun terakhir. “Rasanya seperti makan kerupuk,” kata Nenti kepada Tribunnews.

Iklan

Dalam sehari, Nenti bisa menghabiskan empat buah silet sampai-sampai tidak perlu makan nasi. Kebiasaan ini dimulai sejak diberi ilmu kebal semasa bekerja sebagai seniman kuda lumping di Cirebon. Namun, kemudian usaha itu tutup, membuatnya banting setir jadi pemulung bersama suaminya. Setahun terakhir keduanya tinggal di bekas toilet umum karena rumah mereka hancur terkena bencana alam dan tak punya keluarga lagi.

Ekonomi keluarga Nenti sangat payah. Sebelum menemukan toilet tak terpakai, ia dan suaminya sempat tinggal di kuburan. Mereka juga kesulitan mencari air minum, terpaksa menadah air hujan untuk dikonsumsi. Pun membeli silet yang harganya lumayan, Nenti sering tak mampu membelinya.

Tapi ia terus makan silet karena jika setop, ia akan merasa lemas, mual, dan pusing. Menurutnya, dengan makan silet ia bisa memulung seharian tanpa merasa lelah dan tidak pernah sakit.    

Apa yang dialami Nenti dalam dunia medis disebut pica, kelainan yang ditandai kegemaran makan sesuatu yang tidak umum dimakan dan tidak mengandung nutrisi. Kelainan ini dianggap berbahaya karena bisa jadi hal yang dimakan mengandung bahan kimia berbahaya, atau saking tidak bergizinya, membuat pengidapnya malnutrisi. Tapi pica tidak dianggap sebagai gangguan psikologis. 

Iklan

Jika dokter menemukan pengidap pica, biasanya ia akan langsung diperiksa untuk dipastikan apakah mengalami anemia zat besi, malnutrisi, usus buntu, atau keracunan sesuatu. Pasien juga akan diobservasi untuk mencari adakah infeksi dalam tubuh akibat kebiasaan makannya.

Pengobatan yang diberikan berupa terapi, setelah sebelumnya dokter mengecek rekam medis pasien untuk mencari tahu kaitan kelainan makan ini dengan tingkat kecerdasan, cacat perkembangan pasien, maupun tendensi obsessive compulsive disorder (OCD).  

Kelainan pica bukan hal langka di Indonesia. Sebagian kasusnya ditemukan pada orang dari kelas ekonomi bawah, kemungkinan karena kelainan mereka tak bisa segera diperiksakan kepada dokter. 

Februari tahun ini, misalnya, seorang anak berumur 4 tahun di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara didapati suka makan sabun cuci. Lahir di keluarga miskin, ia diduga terpengaruh kakaknya yang berusia 10 tahun yang duluan doyan makan sabun cuci sejak jadi buruh cuci untuk menghidupi keluarga.

Di Lampung, pria 14 tahun yang dibesarkan dalam keluarga miskin gemar makan kardus dan kertas sejak usia setahun. Saat diperiksakan, ia divonis malnutrisi dan mengidap TBC.

 Pica lain pada anak-anak dilaporkan dari Banyumas pada 2009. Dua kakak beradik berusia 7 dan 4 tahun punya kebiasaan minum minyak kayu putih langsung dari botolnya. Dari Tuban, pada 2009 diberitakan seorang lelaki 71 tahun sudah rutin menenggak minyak tanah dan solar sejak masih kanak-kanak. Ia mengaku tidak pernah sakit karena kebiasaannya ini. “Pokoknya enak,” katanya, dikutip Surya.