Politik Internasional

Pengadilan Korsel Tuntut Jepang Ganti Rugi Korban Perbudakan Seks di Masa Penjajahan

Pemerintah Jepang sejauh ini menolak keputusan tersebut karena tidak tunduk pada yurisdiksi Korea. Praktik budak seks atau Jugun Ianfu marak terjadi di Asia Pasifik, menimpa pula perempuan Indonesia.
Junhyup Kwon
Seoul, KR
Patung yang melambangkan mantan ‘perempuan penghibur’ tentara Jepang selama Perang Dunia II. Foto: Jung YEON-JE/AFP
Patung yang melambangkan mantan ‘perempuan penghibur’ tentara Jepang selama Perang Dunia II. Foto: Jung YEON-JE/AFP

Pada Jumat pekan lalu, pengadilan Korea Selatan memerintahkan Jepang untuk ganti rugi kepada 12 korban perbudakan seks pada zaman Perang Dunia II.

Ini merupakan keputusan hukum pertama yang dikeluarkan Korea Selatan terhadap Jepang menyangkut sistem “perempuan penghibur” yang mereka ciptakan. Pemerintah Jepang “tak terima” dengan keputusan tersebut.

Jepang dikatakan telah melakukan “tindakan ilegal”, sehingga wajib membayar masing-masing sebesar 100 juta won (Rp1,3 miliar) kepada 12 perempuan yang dipaksa memenuhi kebutuhan seksual tentara Jepang.

Iklan

Kim Jeong-gon selaku hakim Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengecam pemerintah “mengatur dan merencanakan sistem ‘perempuan penghibur’ sebagai perang agresi selama Perang Dunia II.”

Kekejaman penjajahan Jepang terhadap bangsa Korea di masa lalu menjadi alasan kenapa kedua negara ini sulit akur hingga sekarang.

Kantor berita Kyodo News melaporkan Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Takeo Akiba memprotes keputusan itu di hadapan Duta Besar Korea Selatan Nam Gwan-pyo. Di sisi lain, menurut Sankei News, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga mendesak agar “gugatannya dibatalkan”.

Pemerintah Jepang mengklaim negara mereka tidak tunduk pada yurisdiksi Korea yang diatur dalam hukum internasional.

Namun, pengadilan Korea berujar hak kekebalan tidak berlaku dalam kasus ini karena Jepang telah melanggar norma internasional dengan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan secara sistematis.

Shin Yul, guru besar Ilmu Politik dan Diplomasi di Universitas Myongji, memberi tahu VICE World News, dampak kasus itu diduga akan terjadi dan memengaruhi hubungan kedua negara secara negatif.

“Situasinya akan menjadi sangat berbeda ketika mereka [Jepang] membutuhkan hubungan dengan Korea Selatan,” terangnya, menyinggung ancaman Korea Utara yang dihadapi kedua negara.

Iklan

Hasil keputusan ditetapkan atas gugatan yang diajukan oleh 12 perempuan Korea terhadap Tokyo pada 2013. Hanya lima penyintas perbudakan seks Jepang yang masih hidup sekarang.

Korea Bar Association dan Dewan Korea yang memperjuangkan keadilan terhadap korban perbudakan seks militer menyambut keputusannya dengan hangat.

“Saya sampai tidak bisa berkata-kata saking bahagianya,” tutur seorang penyintas, Lee Yong-soo, dalam video YouTube unggahan kanal Daegu Citizen Forum for Halmuni. “[Generasi muda] Korea dan Jepang harus belajar sejarah dan tidak boleh melupakan masalah ini.”

Sekitar 200.000 perempuan — sebagian besar dari Korea meski ada juga dari Tiongkok dan Filipina — dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang sepanjang 1932-1945.

Pengambilan keputusan atas gugatan serupa dijadwalkan pada Rabu pekan ini. 20 penggugat, termasuk penyintas dan anggota keluarganya, juga menuntut ganti rugi dari Jepang.

Follow Junhyup Kwon di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Korea