sains dan teknologi

Ilmuwan Ingin Jadikan Kepiting Hijau Pengganti Plastik Sekali Pakai

Daripada merusak ekosistem, cangkang kepiting hijau bisa diolah menjadi cangkir dan alat makan plastik ramah lingkungan.
Ilustrasi kepiting hijau dan cangkir plastik
Kiri: Flickr/Oregon State University. Kanan: Flickr/jamesomalley

Kepiting hijau invasif, yang mengancam ekosistem alami di Amerika Serikat dan Kanada, berpotensi menjadi sumber bioplastik berlimpah.

Ilmuwan Kanada berencana mengekstrak kitin polimer super kuat dari cangkang yang sudah dibersihkan. Terkandung dalam cangkang krustasea dan serangga, kitin dapat dijadikan plastik ramah lingkungan yang bisa terurai di lautan. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Proyek ini tidak hanya mencegah kelebihan populasi kepiting hijau, tetapi juga menciptakan alternatif bahan baku plastik.

Iklan

Sebagai pemimpin proyek, ahli kimia Audrey Moore dari McGill bekerja sama dengan Kejimkujik National Park Seaside Nova Scotia untuk menciptakan cangkir dan alat makan plastik dari kepiting hijau. Laboratorium Audrey didanai melalui crowdfunding oleh Seeds for Change McGill.

“Bekerja sama dengan Kejimkujik merupakan tantangan besar. Kami benar-benar harus keluar dari zona nyaman,” tutur Audrey. “Kami terjun ke dunia nyata untuk memastikan proyeknya bisa dilaksanakan.”

Idenya sendiri cukup sering digaungkan di kalangan ilmuwan. Sejumlah laboratorium tengah mengerjakan proyek serupa. Mereka berharap kitin bisa dijadikan plastik. Masalahnya, mengubah cangkang menjadi garpu bukan tugas mudah. Ada beberapa laboratorium yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti asam hidroklorik untuk memurnikan kitin. Proses pengubahan kitin menjadi kitosan—bahan pembuat plastik—pun membutuhkan zat kimia lain. Walaupun lebih bersih daripada produk minyak bumi, proses ini menghasilkan air limbah beracun yang tidak bagus untuk lingkungan.

Laboratorium Audrey berspesialisasi dalam produk kimia ramah lingkungan, sehingga mereka mencoba pendekatan baru. Alih-alih merendam cangkang di dalam larutan asam, Audrey mencampurkan krustasea hancur dengan bubuk lain. Limbah yang dihasilkan lebih sedikit, dan metodenya juga tidak menguras air. Hasil penelitiannya telah diterbitkan dalam Green Chemistry pada Maret 2019.

Iklan

“Kalian mungkin mengira mencampurkan bahan kimia harus selalu pakai air,” ujar Audrey. “Kami menyadari kimia juga bisa dicampurkan secara padat.”

Audrey masih dalam tahap awal. Saat ini, dia harus memastikan plastik ciptaannya bisa terurai di lingkungan alami. Sang ilmuwan juga ingin meningkatkan produksi, yang berarti membutuhkan lebih banyak kepiting hijau. Untung saja, banyak konservasionis yang bersedia mengirim hewan tersebut pada musim semi tahun ini. Audrey berharap bisa membangun sarana penghancur cangkang kecil-kecilan di lokasi konservasi, agar mereka lebih mudah mengirimkan cangkang dalam jumlah besar.

Di Kejimkujik, populasi eelgrass dan kerang semakin menipis akibat kepiting hijau. Pengurangan ini telah terjadi sejak 1980-an. Percaya atau tidak, eelgrass adalah ekosistem paling beragam di dunia. Eelgrass mampu menstabilkan sedimen dasar laut yang renggang dan bergeser, serta menyediakan oksigen dan habitat bagi banyak organisme laut, termasuk ikan yang masih muda. Keberadaan eelgrass sangat penting bagi burung yang bermigrasi dan menyediakan permukaan untuk menumbuhkan ganggang.

Kepiting hijau dikenal sebagai pembawa kekacauan. Populasi mereka berkembang pesat, mengungguli, atau menghabisi invertebrata asli. Perairan yang menghangat akibat perubahan iklim dapat meningkatkan kemunculan kepiting hijau.

Sementara itu, kita membuang setara satu truk plastik ke laut setiap menit. Sampah tersebut lalu mencekik lumba-lumba dan kawanan ikan, berakhir di dalam perut burung laut, dan menyiksa kura-kura. Limbah plastik juga melepaskan bahan kimia beracun yang dapat menghancurkan organisme laut.

Bioplastik sejak dulu digadang-gadang sebagai solusi potensial mengatasi krisis plastik. Dan kini, laboratorium Audrey akan membuktikan plastik bisa diciptakan dengan cara yang ramah lingkungan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.