Mitos Pesugihan Gunung Kawi Jawa Timur Favorit Para Pengusaha dan Soeharto
Puluhan pengunjung berjalan menuju pintu masuk Gunung Kawi untuk berwisata ataupun berdoa demi melancarkan bisnis. Semua foto oleh Arief Priyono.
Indonesia Riot

Mengikuti Perjalanan Para Pemburu Kekayaan di Gunung Kawi

Pengusaha dari berbagai kota rutin mengunjungi ke gunung di selatan Kota Malang itu. Kontributor VICE mencari tahu mengapa mitos ritual pesugihan bisa mengakar kuat di sana.

Aroma kemenyan dan bunga tujuh rupa mulai terhirup di udara, pertanda gerbang menuju Gunung Kawi tinggal sedepa. Sebelum sampai di petilasan yang mahsyur karena mitos pesugihannya itu, gerombolan calo yang menanti di atas motor seketika meloncat dari jok dan mendekat. Mereka cukup agresif mengejar tamu yang nampak belum berpengawal.

Salah satu dari mereka menghentikan saya dan fotografer tepat sebelum berjalan kaki memasuki ruas jalan penginapan Gunung Kawi. "Sampean mau preian, opo golek kandang bubrah? [Mau liburan, atau cari pesugihan?]" ujar pria paruh baya yang mengaku bernama Harmoko. Meski kami bilang tidak berniat menggunakan jasanya, Harmoko tetap bersedia menemani ke titik petilasan utama yang jadi favorit pengunjung Gunung Kawi. "Sekalian mau ke atas, cari tamu," tukasnya.

Iklan

Setiba di petilasan, Harmoko mulai mencari-cari ‘nasabah’—begitu ia menyebut pengunjung yang berniat berdoa agar diberi kekayaan. Harmoko mengusahakan beragam jasa. Mulai dari mencarikan hotel, mengantar ke makam keramat, sampai jadi fotografer pribadi. Ia mengaku sudah ‘berdinas’ sebagai calo di Gunung Kawi selama tiga puluh tahun.

1584347234115-Untitled-design-2020-03-16T152257439

Di loket gerbang masuk ini, semua kegiatan sembahyang dan syukuran dikenai tarif.

"Warga sini, anak mudanya rata-rata bekerjanya sebagai calo," imbuhnya. "Saya sih punya beberapa nasabah tetap. Mereka kemari hampir setiap bulan. Kadang kalau bulan Suro, saya sampai kewalahan."

Gunung Kawi berjarak 81 kilometer sebelah selatan kota Malang. Sekitar dua jam perjalanan membelah tebing berliku sebelum sampai sampai ke lokasi parkir kendaraan bermotor. Kawi merupakan salah satu gunung favorit di Pulau Jawa bagi orang-orang yang ingin meraup kekayaan dengan melakoni ritual tertentu.

Harmoko saya perhatikan nyaris tak pernah mengucapkan istilah pesugihan. Ia lebih suka menyebutnya sebagai lelaku ‘Kandang Bubrah’. "Jadi kandang bubrah itu artinya kita merenovasi rumah kita setelah berdoa di sini. Waktunya beragam. Ada yang dua tahun, ada yang satu tahun. Tujuannya ya, biar danyang [penunggu] di rumah kita itu betah, dan membantu kita cari rezeki," terang Harmoko.

Malam mulai larut diiringi gerimis yang turun sejak sore. Alih-alih mencekam, suasana jalan utama menuju petilasan Gunung Kawi tampak seperti pasar. Meski penerangan minim, penjual bunga dan jimat riuh menawarkan dagangannya pada puluhan orang yang masih lalu lalang.

Iklan

Terlihat rombongan belasan pengunjung beriringan menuju area makam. Harmoko buru-buru meninggalkan kami, hendak menawarkan jasanya. Mendadak Harmoko mundur teratur, setelah beberapa orang berpakaian serba hitam berjalan menuruni anak tangga menemani rombongan tadi. Dia membungkuk, dan membiarkan orang-orang itu lewat. Mereka rupanya kolega Raden Iwan Soeryandoko, juru kunci Gunung Kawi. Dengan blangkon dan jarik batik, rombongan itu berjalan pelan penuh wibawa.

Saat sang juru kunci lewat di jalan utama, suasana segera senyap. Seluruh warga menunggu hingga Raden Iwan dan rombongan menghilang dari pandangan.

1584347271345-Untitled-design-2020-03-16T152340593

Penjual bunga mudah kalian temukan di jalan utama menuju gerbang petilasan Gunung Kawi.

Raden Iwan Soeryadoko adalah generasi keempat juru kunci Gunung Kawi, cucu Eyang Djogo, pendiri petilasan kondang tersebut. Malam itu, Raden Iwan turun sendiri mengawal ritual keluarga keturunan Tionghoa, yang baru saja menunaikan ‘syukuran’ atas bangkitnya usaha mereka.

Salah satu anggota keluarga itu meminta VICE menyamarkan identitasnya. Dia minta dipanggil Tan saja. Lelaki di usia kepala empat asal Jember ini mengaku sebagai ‘nasabah’ rutin Gunung Kawi. Saban tahun, mereka mengusahakan hadir di tanah bertuah itu sebanyak empat hingga lima kali.

"Dulu usaha kami sempat ngepot-ngepot. Karena keluarga banyak yang ke Kawi, kami pun akhirnya juga datang ke sini. Eh, ternyata manjur. Usaha kami yang hampir bangkrut perlahan mulai naik," ujar Tan.

Baginya, ritus mendatangi Gunung Kawi sama halnya seperti ibadah biasa. Ia menolak bila persembahan tumpeng yang dibawa keluarganya disebut sesajen. Baginya, itu sekadar simbol penghormatan untuk leluhur yang melancarkan bisnis.

Iklan

"Kalau pesugihan, enggak mungkin toh Saya bawa keluarga? Sudah gila apa?" imbuhnya.

Keesokan harinya, VICE bertemu seorang ‘nasabah’ lain yang menunaikan ritual serupa. Dia bernama Bao-Yu, saudagar dari Jakarta yang rutin ke Gunung Kawi sejak akhir dekade 90’an.

1584347325550-Gunung-Kawi-24

Pengunjung berdoa di salah satu kelenteng yang berdiri di petilasan Gunung Kawi.

Berbeda dari Tan, Bao-Yu lebih memilih berangkat dan sembahyang ke Gunung Kawi seorang diri. Usianya kini menapaki 55 tahun, namun ia tetap tak pernah absen mengunjungi petilasan ini, yang dia klaim berhasil menyelamatkan nasibnya dari jurang kebangkrutan. Pertama kali ia menjajal kemujuran di Gunung Kawi setelah toko miliknya dijarah habis-habisan akibat kerusuhan Mei 1998.

Bao-Yu dan keluarganya tak memiliki apa-apa lagi selain harapan. Di titik terendah, Bao-Yu disarankan seorang kenalan berangkat ke Kawi. Katanya bisa mengusir kegagalan yang membebani punggungnya.

"Saat itu saya rasa ini adalah tempat yang aman. Sehingga saya bisa bermeditasi dan berpikir jernih. Betul-betul dulu saya tidak bawa apa-apa. Duit juga seadanya. Berangkat ke sini diantar teman. Rasanya was-was," kenang Bao-Yu.

Ia pun mulai menjalankan serangkain ritual. Mulai dari mandi air kembang, berziarah ke makam, dan sembahyang di Kelenteng. Sepulang dari Gunung Kawi, saat amuk massa di Ibu Kota mulai reda, ia diberi tawaran salah satu saudaranya membuka toko distribusi bahan pokok di Jakarta.

"Padahal Jakarta masih kelihatan mencekam. Tidak tahu, kok saya yakin [buka toko]. Syukur, saya mulai bangkit sampai bisa bertahan hingga hari ini," imbuhnya.

Iklan

Atas kesuksesan tersebut, Bao-Yu menyumbang sebuah lilin raksasa seharga Rp50 juta untuk Klenteng Dewi Kwan Im, di lereng Gunung Kawi. Seperti pengunjung lain, Bao-Yu cukup defensif bila ditanya apakah semua ibadah itu hanya bentuk lain dari upaya mendapat pesugihan. "Saya tidak pakai tumbal apa-apa, lho. Ini cuma berdoa saja. Mungkin motivasi dari berdoa itu yang kemudian membuka jalan sukses," ujarnya.

Selain bersembahyang dan menggelar syukuran, salah satu metode termahsyur buat meraup keberuntungan di Gunung Kawi adalah memetik daun Dewandaru. Daun itu berasal dari pohon keramat dilingkari pagar besi di jalan utama. Konon, jika daun atau buahnya menimpa tubuh, itu pertanda si pengunjungs segera terbebas dari belenggu kemiskinan.

Pohon-pohon itu tak pernah sepi. Di sekitarnya, selalu ada orang bersemedi ataupun iseng-iseng berdiri selama berjam-jam. Termasuk gerombolan ibu-ibu yang tengah berziarah siang itu. Mereka berjam-jam berdiri di bawah Dewandaru. Mata mereka semua menerawang ke atas, berharap agar penantian tertimpa daun tak sia-sia.

1584347615139-Untitled-design-2020-03-16T152327242

Rombongan peziarah Gunung Kawi menanti ditimpa daun Dewandaru.

Keberuntungan belum menjadi milik mereka. Sekitar dua jam berdiri, Dewandaru tak kunjung merontokan berkah. Satu persatu dari rombongan itu mundur teratur. Hingga tersisa satu orang dari rombongan, bernama Siti Rosyidiah.

Siti datang dari Mojokerto. Percobaan yang ia lakukan barusan, menurutnya, hanya iseng saja. "Kalau dapat saya bawa pulang, kalau tidak ya santai aja," tuturnya. "Siapa tahu saya bisa jadi kaya. [tertawa]. Iseng aja sebenernya. Bukan maksud musyrik. Rezeki tetep apa kata Gusti Allah."

Iklan


Upaya rombongan ibu-ibu tadi itu masih lumrah. Salah satu abdi dalem petilasan bercerita pernah melihat orang sampai bersemedi di bawah Dewandaru selama tiga hari hingga satu minggu tanpa makan ataupun minum. "Ada yang sampai sakit, tapi kalau meninggal tidak. Kalau pingsan, kami akan tangani. Cuma kan kita juga tidak bisa melarang mereka. Itu kepercayaan mereka," tuturnya.

Tidak afdol rasanya membahas Gunung Kawi tanpa berbicara dengan sang juru kunci. Raden Iwan Soeryandoko akhirnya bisa ditemui setelah makam eyang buyutnya sepi dari pengunjung. Ruangannya terletak di ujung lorong. Raden Iwan duduk bersila di antara keranjang bunga tujuh rupa. Di situ, Raden Iwan mengaku rutin berkomunikasi dengan para leluhurnya.

1584347548901-Gunung-Kawi-20

Raden Iwan Soeryandoko sang juru kunci Gunung Kawi.

Menurut Iwan, mitos Gunung Kawi sebagai tempat keramat sebetulnya belum ada seabad. Eyang Djogo adalah pejuang kemerdekaan Indonesia yang terpaksa melarikan diri ke kawasan Kesamben, Blitar, saat Agresi militer pertama Belanda terjadi di Jawa Timur.

Tiba di Kesamben, kolera tengah mewabah. Ternak warga sekaligus penduduk diserang habis penyakit itu. Tepat di saat Eyang Djogo datang, wabah mendadak lenyap. Warga pun menganggap sosok Eyang sebagai juru selamat.

Kabar kesaktian Eyang Djogo menyebar dari mulut ke mulut, membuat desa Kesamben kian dibanjiri pendatang. Lambat laun, padepokan yang dibangun di desa itu sesak. Eyang Djogo pun mengutus salah satu muridnya, R.M Imam Soedjono, membuka lahan baru di lereng Gunung Kawi. Sejak saat itu, manusia tak pernah absen hilir mudik mencari pertolongan dan Kawi mulai dikultuskan.

Iklan

"Sejak dulu yang datang banyak orang Jawa dan Tionghoa. Makannya, di sini ada Klenteng juga Masjid. Karena kami menolong tanpa pandang suku dan ras. Nah, yang jadi masalah adalah, kemunculan kabar tentang pesugihan. Saya tidak tahu siapa yang memulai, tapi yang jelas kami tengah berperang melawan kabar bohong itu dalam satu dekade belakangan," ujar Raden Iwan.

Salah satu biang masalahnya, kata Raden Iwan, adalah calo-calo yang berlebihan dalam menarik minat pengunjung. "Banyak calo yang mereka hanya mau ambil duit saja, tanpa pernah berkontribusi pada pihak kami. Kadang mereka ini kan juga tidak paham atas sejarah? Sempat saya bubarkan lho tahun lalu," tuturnya.

1584347642099-Untitled-design-2020-03-16T152358207

Papan selamat jalan di kawasan penginapan menuju pintu keluar petilasan Gunung Kawi.

Meski begitu, Iwan tak menampik bila komersialisasi ziarah terlanjur terjadi. Pihak juru kunci pun ikut serta. Contohnya di loket sebelum masuk ke area petilasan, memang terpacak beberapa tarif mulai dari satu kotak nasi untuk persembahan, hingga acara besar seperti wayang. Biayanya dari Rp75 ribu hingga Rp7 juta. Menurut Iwan, pagelaran seperti Wayang pun juga akan tetap dijalankan meskipun tanpa penonton.

"Ada harga-harga yang kami pasang itu hanya untuk mempermudah pengunjung saja. Daripada mereka bawa makanan dari bawah, atau bawa wayang dari bawah, kan lebih praktis kami yang sediakan. Kalaupun mau bawa dari rumah ya silahkan," imbuhnya.

Gunung Kawi terlanjur menjadi penyemai harapan. Ada yang mengaku percaya pada tuahnya, seperti Bao-yu, atau sekadar iseng seperti Rosyidah. Mitos, pada akhirnya, adalah bisnis yang menggiurkan untuk menggaet mereka yang sedang memburu asa untuk lepas dari kemiskinan.