Sejarah Musisi Legendaris Harry Roesli dan Depot Kreasi Seni Bandung DKSB
Foto dari arsip La Yala Khrisna Patria Roesli. Diunggah seizin keluarga.
Musisi Legendaris

Menjaga Nyala Terang 'Si Bengal' Harry Roesli dan DKSB di Jagat Kreatif Indonesia

Nama besar industri kreatif lokal seperti P-Project, Iwan Fals, hingga Budi Dalton terpengaruh komunitas binaan musisi Bandung Harry Roesli. Kenapa sosok anti-Orde Baru itu kini tak terlalu dikenal anak muda?

Hari Pochang terdiam cukup lama tatkala saya menanyakan apa yang paling dia rindukan dari sosok Harry Roesli, sahabat sekaligus rekan satu bandnya sepanjang era 1970-an. Tatapannya menerawang, mengumpulkan kenangan-kenangan sentimentil yang tidak terhitung lagi.

"Harry itu sosok sahabat yang enggak tergantikan," kata Pochang dengan suara bergetar.

Mungkin tidak ada orang yang mengenal Harry lebih jauh selain Pochang. Mereka bersahabat sejak remaja, tumbuh dengan kenakalan-kenakalan khas anak muda, sebelum akhirnya memutuskan berkreasi di bawah panji yang sama: rock and roll.

Iklan

Ikatan personal dalam rentang waktu panjang itulah yang kemudian menjadikan keduanya tak sebatas kawan karib, melainkan juga selayaknya saudara satu darah. Ketika Harry berpulang pada akhir 2004, Pochang pun terguncang.

Di momen pemakaman yang berlangsung di Bogor, Pochang memberikan penghormatan terakhir untuk sahabatnya. Dengan kegetiran amat besar, dia mengambil harmonika dan memainkannya dekat liang kubur Harry, sebagai bukti bahwa dirinya merelakan kepergian sang sahabat.

Namun, pertahanan Pochang tetap jebol; air matanya menetes dan membahasi wajahnya. "Itu pengalaman yang emosional sekali buat saya."

Perkenalan Pochang dengan Harry terjadi saat keduanya berada di bangku SMP di Batu Karang, Bandung, dan berlanjut sampai SMA. Di sekolah, keduanya mulai keranjingan musik, terutama yang dimainkan The Beatles maupun The Rolling Stones. "Kayak anak-anak muda waktu itulah. Sukanya kalau enggak Beatles, ya, Rolling Stones. Standar," kenang Pochang saat ditemui VICE di Ruang Putih, Kota Bandung.

Meski begitu, kecintaan Harry kepada musik, sepenuturan Pochang, tidak terlalu disetujui keluarga. Orangtua Harry tak ingin melihat anaknya keseringan bermusik karena cemas kegemaran tersebut dapat menganggu pendidikan.

Dasarnya anak muda yang punya jiwa petualang tinggi, Harry mbalelo. Bersama Pochang, dia tetap melakoni kegiatan musiknya dengan rutin mengisi acara inagurasi sampai pesta ulang tahun. "Kalau ibu Harry ke Jakarta pada akhir pekan, kami di rumah [di Jalan] Supratman dan main musik dari siang sampai malam," tambah Pochang, yang tampilannya masih seperti rockstar 1970-an; berambut gondrong, berkemeja jins, dan kuat merokok.

Iklan

Lulus SMA, Harry melanjutkan studi ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Di kampus, Harry makin menggandrungi musik. Referensinya turut melebar. Dia mulai meninggalkan The Beatles dan The Rolling Stones, beralih ke musik-musik rock yang rumit sebagaimana yang kerap dibawakan Gentle Giant sampai Frank Zappa. Di waktu bersamaan, Harry juga mendengarkan karya-karya bikinan komposer avant-garde terkemuka, John Cage.

Rujukan musik tersebut, Pochang bilang, didapatkannya melalui banyak sumber seperti majalah Aktuil, toko kaset Hidayat yang berlokasi di Jalan Sumatera, sampai radio pemancar gelap, yang kerap mengenalkan musik-musik baru.

1587982292522-39a592dd-772b-4525-8bfd-f6b5671ad8d5

Foto dari arsip La Yala Khrisna Patria Roesli.

Kesenangan pada musik lalu ditumpahkan Harry dengan membentuk band, diberi nama Harry Roesli and His Gang, bersama Pochang, Indra Rivai, Albert Warnein, Janto Soedjono, serta Dadang Latiev. Proyek ini mulanya hanya untuk suka-suka. Akan tetapi, jadi proyek serius manakala mereka memutuskan bikin album. "Cuma dari gitar-gitaran doang awalnya itu. Tapi, dari situ malah jadi serius," cerita Pochang.

Proses kreatif dalam membuat album melibatkan banyak pendekatan. Dari piknik ke Lembang demi memperoleh inspirasi hingga jamming semalam suntuk. Pada 1973, album debut itu berhasil dirilis dengan tajuk: Philosophy Gang. Album ini memuat tujuh komposisi, lima ditulis Harry, sisanya dibuat Albert.

Di Philosophy Gang, kita dapat mendengar betapa piawainya Harry memadukan bermacam warna musik, baik itu rock, blues, funk, sampai jazz. Kamu bisa mendengarkannya lewat nomor seperti "Don’t Talk About Freedom", panjangnya menyentuh hampir sembilan menit dengan sajian pelbagai permainan solo yang mematikan, atau "Peacock Dog" yang transisi antara rock dan bossanova-nya begitu membuai.

Iklan

Sebagai album debut, Philosophy Gang direspons dengan positif pendengar musik. Harry dan kawan-kawannya bahkan turut diundang dalam gelaran Summer 28 Festival, konser musik berskala besar mirip Woodstock yang diadakan di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta, pada Agustus 1973.

Pochang mengakui masa-masa itu penuh dinamika, terutama bagi anak-anak muda. Rezim Suharto, kala itu baru berkuasa satu dekade, mengizinkan masuknya budaya populer dari Barat yang sebelumnya dilarang Sukarno. Itu adalah upaya Orde Baru mendekatkan diri kepada negara-negara asing. Pembukaan keran budaya asing membuat anak-anak muda di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya lebih leluasa memainkan musik rock.

Di waktu persamaan, Orde Baru menunjukkan watak tiran ketika sedikit keran kebebasan itu ternyata mulai dimanfaatkan anak muda terdidik menolak proyek pemerintah. Aparat getol melakukan usaha penertiban di kalangan masyarakat. Anak-anak muda yang gondrong dan terlalu hidup “bebas” tak luput dari sasaran aparat, termasuk memburu mereka yang berambut gondrong.

Mahasiswa yang kritis pada pemerintah, dianggap menyulut insiden Malari 1974 saat menggelar demonstrasi menolak investasi Jepang, turut jadi buruan. Harry Roesli dan kawan-kawannya masuk 'daftar buruan' tersebut bersama musisi serta tokoh mahasiswa Bandung lainnya. Bandung, hingga pertengahan dekade 1970-an dihuni banyak anak muda kritis terhadap Orde Baru. Mereka terlibat aktif dalam gerakan menolak proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972, hingga kemudian terjadi demonstrasi massal mahasiswa ITB yang berujung pada keputusan pemerintah menjalankan Normalisasi Kehidupan Kampus, istilah lain penjinakkan universitas secara paksa oleh Kemendikbud agar mahasiswa tidak lagi berpolitik.

Iklan

"Kami pernah sempat bersembunyi di bagasi mobil waktu pulang dari Lembang supaya enggak ketangkap aparat," terang Pochang seraya tertawa. "Temen-temen di [band] The Rollies pun juga sampai muter gunung untuk turun ke Bandung agar enggak ketahuan aparat."

Sejak watak rezim semakin represif, Harry dan Pochang membunyikan gendang perlawanan. Bersama anak-anak muda Bandung lainnya sepanjang dekade 70'an, mereka tak ingin diatur dalam norma-norma penundukan Orde Baru yang militeristik.

"Jadilah pada masa itu Bandung yang dipenuhi revolusi dan euforia, sebagaimana San Fransisco di dengan Generasi Bunga atau gerakan hippie-nya,” tegas Pochang. "Harry [lewat karya-karyanya] menangkap kegelisahan itu dengan baik."

Bukan cuma Orde Baru yang dikritik Harry. Narasi besar sejarah nusantara turut dia sikat. "Dengan [pementasan] Ken Arok, Harry ingin menggugat [Kitab] Pararaton," ungkap Herry Dim, pelukis serta sahabat Harry, saat dijumpai VICE di kediamannya di bilangan Kopo, Bandung. "Pararaton itu, kan, setengah mistis dan seperti disakralkan. Bagi Harry, padahal, [kitab] itu banyak kisah tipunya."

Dua tahun usai Philosophy Gang dirilis dan tiga tahun sebelum berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi S2 bidang musik, Harry membikin pementasan rock opera berjudul Ken Arok. Pementasan ini banyak disebut-sebut terinspirasi oleh Jesus Christ Superstar-nya Andrew Llyod Webber (1970) dan kiprah Orexas (Organisasi Sex Bebas) pimpinan Remy Sylado.

Iklan

"Harry sangat menghormati Remy dan dia cukup kagum dengan Orexas," ungkap Dim. "Orexas itu, kan, pada intinya membawa semangat pemberontakan anak-anak muda [terhadap generasi tua]. Nah, Harry ingin bikin karya seperti itu."

Pertunjukkan Ken Arok pertama kali dilangsungkan pada April 1975, di Gedung Merdeka, Bandung, sebelum berlanjut ke Jakarta beberapa bulan setelahnya. Akademisi Adam D. Tyson, dalam makalahnya berjudul Titik Api: Harry Roesli, Music, and Politics in Bandung yang dipublikasikan Cornell University Southeast Asia Program (2011) menulis bahwa Ken Arok berhasil menjadi pemberitaan utama media-media serta menarik audiensi besar. Alasannya cukup sederhana: apa yang dilakukan Harry Roesli dengan Ken Arok pada waktu itu tergolong baru.

Pementasan Ken Arok memang bukan sembarang pementasan. Tyson menerangkan bahwa acara dibuka dengan keberadaan badut gila yang memberikan instruksi bagaimana opera tersebut akan dimainkan. Setelahnya, masuk para musisi, penari, dan Harry selaku konduktor. Tak lama berselang, dengan panggung yang gelap gulita, keluarlah bebunyian koin yang saling berdenting dan bersilangan bersama lonceng Tiongkok━menandakan pengalaman musikal telah dimulai.

"Tiba-tiba saja kain raksasa dilepaskan dari langit-langit dan digantung tepat di atas kepala penonton, sengaja menyerbu ruang personal mereka," kenang Tyson. Yang terjadi kemudian, bisa dibilang, cukup brutal. Gema sampai distorsi dari sistem suara berukuran 4.000 watt mengempaskan seisi ruangan━sehingga menimbulkan rasa frustasi maupun kebingungan di antara penonton.

Iklan

Kendati terdapat beberapa elemen yang terlihat begitu gahar, pementasan Ken Arok dikemas Harry secara lucu dan━tak jarang━cabul. Temanya tak jauh-jauh dari keculasan pemerintah Orde Baru yang korup dan manipulatif. Lewat Ken Arok, Harry ingin menggugat rezim; bahwa kuasa mudah berubah menjadi ambisi memperkaya diri sendiri.

Hal menarik lain dari Ken Arok terletak pada departemen musiknya. Harry meminta seluruh awak panggung, yang terdiri dari puluhan orang, untuk konsisten "menggabungkan" instrumen tradisional Sunda dengan warna musik Barat seperti rock atau blues. Dengan demikian, Harry hendak mendorong musisi-musisi muda untuk berinovasi dan berusaha melampaui zaman.

Pertentangan bukannya tidak ada. Pendekatan Harry dikritik oleh beberapa mantan gurunya di Konservatori Karawitan Bandung, seperti Machjar Angga Kusumadinata yang bilang bahwa penggabungan dua unsur itu tidaklah tepat dan harmonis. Akan tetapi, Harry tak ambil pusing. Ia tetap berkukuh: usaha memadukan suara tradisional dan modern, sebagaimana dilakukannya lewat proyek Ken Arok, dapat memperluas cakupan pendengar gamelan Sunda, terutama di kalangan anak muda.

Terlepas dari pro dan kontra, bagaimanapun, Ken Arok merupakan salah satu magnum opus seorang Harry Roesli, yang kemudian diakui menjadi warisan budaya kontemporer yang pernah dilahirkan seniman Indonesia. Usai pementasan Ken Arok, eksplorasi kreatif Harry semakin tak dapat dibendung. Dalam dua tahun berturut, 1976 dan 1977, ia merilis sepasang album bertajuk Titik Api dan Opera Ken Arok, yang kelak tergabung sebagai trilogi bersama Philosophy Gang.

Iklan

Dari aspek musikalitas, Harry mempertahankan pendekatan yang dipakai sewaktu membuat Ken Arok, dengan menyelipkan bunyi-bunyi tradisional Sunda. Ini bisa dijumpai, misalnya, di album Titik Api yang, menurut banyak pengamat, sangat kental sekali nuansa penggabungan antara elemen Timur dan Barat.

Dieter Mack, kawan karib sekaligus profesor teori musik di Universitas Musik Freiburg, Jerman, kurang setuju dengan argumen "penggabungan" tersebut. Menurut Dieter, lewat Titik Api, Harry membuat karya musik dengan unsur-unsur yang sumbernya dapat dideteksi.

"Setiap saya mendengar kata 'menggabungkan' tafsir saya selalu negatif. Hasil dari penggabungan [musik] itu adalah dua hal yang berbeda dan seperti hanya ditempel saja," kata Dieter, yang mulai kenal Harry sejak 1988. "Sementara karya-karya Harry ini punya banyak aspek musikalitas; dari jazz sampai rock. […] Karya-karya Harry adalah bukti bahwa musik punya identitas kuat tanpa perlu diketahui latar belakangnya seperti apa. Seperti istilah [sains] di Barat, ‘the whole is greater than sum of its part.’ Karya Harry menggambarkan hal tersebut dengan baik."

1587983673130-c370f824-06cb-4833-8b1c-23b1d90d2644

Foto dari arsip La Yala Khrisna Patria Roesli

Sedangkan dari sisi muatan karya, Harry tetap mempertahankan idealismenya sejak Philosophy Gang: melawan tiran dan rezim yang lalim. Suaranya, sesudah fase Ken Arok, bertambah lantang, begitu pula dengan sikapnya yang kian berani. Kalian dapat menyimak kritik itu, misalnya, lewat tembang "Bharatayudha: (di album Gadis Plastik, 1977), di mana Harry menyoroti kelakuan pejabat Indonesia yang gemar kelahi dan korupsi.

Iklan

"Sebetulnya kecenderungan politik Harry itu tidak kuat. Tapi, dia konsisten ingin mengkritik hipokrisi yang muncul [selama Orde Baru]," kata Dim. "Dia seniman dan komposer yang berpikir; untuk apa musik itu dibikin? Karena ada banyak lintasan di kepalanya, entah itu sosial sampai politik."

Meski begitu, ada konsekuensi yang mesti dibayar Harry atas kritik yang dilayangkannya kepada rezim. Berkali-kali ia harus kena sensor dan ciduk aparat Orde Baru sebab muatan karyanya yang dinilai kelewat kritis, vulgar, serta menyalahi aturan. Pada Desember 1976, ambil contoh, pementasan Harry di Semarang didatangi aparat dan dirinya pun ditangkap. Tapi, tak lama setelahnya, Harry dibebaskan berkat bantuan ayahnya, Roeshan Roesli, yang punya jabatan mayor jenderal di TNI Angkatan Darat.

Ketika Soeharto dan Orde Baru tumbang, Harry masih berdiri di atas sikap yang kritis. Gambaran terbaiknya terjadi saat dia memplesetkan "Garuda Pancasila" di acara perayaan 17 Agustus di kediaman Gus Dur. Oleh Harry, lirik “Garuda Pancasila” diganti menjadi: “Pancasila dasarnya apa. Rakyat adil makmurnya kapan.” Tak perlu waktu lama bagi aparat menangkap Harry━sebelum akhirnya dibebaskan juga.

Bagi Dieter, kepedulian terhadap kondisi sosial dan politik itulah yang membuat Harry berbeda dari musisi satu angkatannya. Bahkan, Harry mengingatkannya pada sosok Frank Zappa, musisi serba bisa yang besar dengan kelompok Mothers of Invention, karena kemampuan olah musik dan kritik yang sama-sama mumpuni.

Iklan

"Harry selalu mengemas kritik sosial dan politik di setiap teksnya dengan cara penuh ironi dan humor. Pada waktu itu, apa yang dilakukan Harry sulit diketahui pemerintah [Orde Baru] yang sejatinya anti kritik"" kata Dieter, yang juga menulis buku Musik aus Bali und Westjava (2002). "Ini kemudian menjadi alat [protes] yang cukup kuat."

Di luar urusan musik dan karya-karya seni yang lain, buah pemikiran Harry juga mewujud pada Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB), sebuah komunitas kreatif yang didirikannya setelah pulang dari Belanda pada 1981. Seturut penjelasan Herry Dim, berdirinya DKSB tak lepas dari niatan Harry untuk memberikan ruang bagi mereka yang hendak menyalurkan hasrat berkeseniannya.

Kendati membawa embel-embel "seni", DKSB terbuka bagi siapa saja, tak peduli latar belakangnya━entah seniman atau tidak━seperti apa. Contoh jelasnya adalah saat DKSB menjadi tempat bagi para aktivis mahasiswa sampai pengamen di sekitar Bandung yang termotivasi untuk membangun penghidupan yang lebih baik. Walau terbuka, Harry tetap memberi aturan tegas: pencuri, pemadat, dan pemabuk dilarang masuk.

Kondisi itulah yang membuat DKSB tak sekadar jadi bengkel seni, melainkan juga berfungsi sebagai forum sosial yang menaruh kepedulian terhadap isu-isu yang tengah berkembang, dari tata perkotaan hingga politik nasional.

Kiprah penting DKSB terjadi pada awal 1980-an tatkala mereka membikin pementasan berjudul Sikat Gigi yang diselenggarakan di Gelora Saparua. Dalam menyiapkan pementasan, Harry bekerjasama dengan penyair Putu Wijaya dan Yudhistira Andi Noegraha Mulyana Massardi, serta melibatkan sekitar lebih dari 200 kru, yang terdiri atas musisi, penari, dan pemain. Pertunjukkan Sikat Gigi mengkombinasikan musik, teater, tari, dan visual, sehingga menjadikannya sebagai suguhan seni yang kompleks. Sejak saat itu, reputasi DKSB moncer di jagat seni Tanah Air.

Iklan

Tidak ada orang yang bisa memastikan berapa jumlah anggota DKSB. Menurut penjelasan La Yala Khrisna Patria Roesli, anak pertama Harry dan istrinya Kania Perdani Handiman, keanggotaan di DKSB tidak mengikat. "Orang bisa kapan aja datang dan pergi. Jumlahnya pun juga bisa berubah dari minggu ke minggu," tuturnya kepada VICE.

Keadaan tersebut, La Yala bilang, tak membikin Harry pusing. Bahkan, Harry cukup senang melihat fakta bahwa mereka yang pernah menempa diri di DKSB kemudian membentuk komunitas seni lain. Satu yang cukup populer ialah kelompok parodi Padhayangan (P-Project). Sementara di luar P-Project, ada juga yang berkarier solo seperti Budi Dalton, Aat Soeratin, sampai Sasongko Widjanarko (Mang Saswi). Penyanyi Iwan Fals dikabarkan menjalin pertemanan cukup dekat dengan komunitas ini. Vokalis Seringai, Arian Arifin, juga sempat bersingggungan dengan punggawa DKSB sebelum mati suri.



Banyaknya alumni DKSB yang melebarkan sayap keseniannya tak urung menempatkan DKSB sebagai "tempat lahir komunitas kreatif maupun seniman" yang ada di Bandung dan sekitarnya. "Makanya, banyak yang bilang kalau DKSB itu embrio orang-orang seni di Bandung," kata La Yala saat ditemui VICE di Rumah Musik Harry Roesli (RMRH) yang terletak di Jalan Supratman, Bandung.

Akan tetapi, jalan DKSB tak selamanya mulus. Usai Harry meninggal pada 2004, DKSB seperti kehilangan taji. La Yala, yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kelanjutan komunitas ini setelah Harry pergi, membenarkannya.

Iklan

"DKSB sempat jadi event organizer, yang orientasinya ke bisnis, usai bapak meninggal. Kami sempat menggarap beberapa project berskala besar. Tapi, itu enggak berlangsung lama," terangnya.

Nasib serupa tak hanya menyasar DKSB. Rumah Musik Harry Roesli (RMRH), yang sengaja dibikin untuk pendidikan non-formal bagi para pengamen, bernasib setali tiga uang. Kiprah mereka tersendat karena kesulitan pendanaan akibat, salah satunya, stigma negatif terhadap pengamen, selain tuduhan tak berdasar yang menyebut bahwa DKSB mengeksploitasi anak-anak pengamen demi keuntungan mereka.

"Kami sebetulnya ingin berkampanye untuk menghapus citra buruk yang ditujukan kepada pengamen karena mereka ini sudah hidup dalam lingkungan keras. Mereka itu 'yatim piatu batin' yang hidup tanpa kebutuhan batin yang tercukupi," tegas La Yala. "Namun, stigma buruk masyarakat terhadap pengamen masih kuat."

La Yala mengatakan situasinya akan tak jadi seperti ini jika Harry masih hidup, mengingat Harry adalah sosok besar yang punya pengaruh maupun koneksi yang membentang luas. Di Bandung, Harry begitu dihormati banyak orang.

"Contohnya ketika ada pengamen yang ditangkap, bapak tinggal telepon [pejabat] dan enggak lama setelahnya mereka langsung dibebaskan,” kenang La Yala seraya tersenyum. "Ketika bapak udah enggak ada, semua kembali normal, bahkan seringkali dipersulit."

Memikul tanggung jawab sebagai penerus Harry Roesli, sudah tentu, bikin La Yala tak jarang terbebani. Sosok ayahnya ibarat legenda, dan melanjutkan perjalanannya bukanlah pekerjaan yang main-main. Ada ketakutan bila ekspektasi gagal terpenuhi, sedangkan di lain sisi La Yala ingin mengukir kisahnya sendiri. Tapi, ia sudah bertekad bahwa fase "terbebani" itu telah usai.

Iklan

"Nama bapak itu besar banget," katanya. "Tapi, saya enggak ingin terus-terusan kebebani. Saya ingin menjaga [peninggalan bapak] sebagai seorang La Yala, bukan sebagai ‘penerus’ atau embel-embel lainnya."

Rendi Pratama mulanya sekadar mengetahui sosok Harry Roesli sebagai juri Akademi Fantasi Indosiar, kompetisi menyanyi yang sempat populer medio awal 2000-an. Setelah mendengarkan album kompilasi Those Shocking Shaking Days yang dirilis label Now-Again asal California sembilan tahun silam, terutama nomor "Don’t Talk About Freedom", pandangan Rendi akan sosok Harry seketika berubah.

"Gue langsung ngebatin, ‘Gila, bisa kayak gini dia mainin musik pada waktu itu’," ujarnya ketika dihubungi VICE. "Gue yang langsung diem terpana gitu."

Sebuah keinginan besar pun lantas dicanangkan Rendi: merilis ulang karya-karya Harry Roesli, terlebih yang masuk ke dalam triloginya: Philosophy Gang, Titik Api, dan Opera Ken Arok. Bersama label yang dia kelola secara mandiri, Lamunai, usaha Rendi dalam mengangkat kembali warisan Harry Roesli dirintis sejak 2014.

"Proses dengan keluarga [Harry] itu sendiri memakan waktu dua tahun. Mereka sempet bilang kalau sebelumnya ada usaha yang sama seperti niatan gue. Tapi, enggak ada kabar lanjutnya," paparnya. "Akhirnya, mereka kasih izin ke gue dan Lamunai buat ngerilis ulang album Harry Roesli."

1587983906247-1deadad7-f1fb-4720-a521-bae297c2f583

Foto dari arsip La Yala Khrisna Patria Roesli.

Dalam rentang waktu tiga tahun, 2017 sampai 2020, mimpi Rendi terealisasi. Semua bagian dari trilogi album Harry Roesli sudah dirilis ulang, dengan daftar terakhir adalah Titik Api, yang dilepas pada akhir Maret 2020.

Walaupun bergelimang karya dan sederet pencapaian seni memukau lainnya, sosok Harry nyatanya tidak seterkenal, katakanlah, Chrisye, Gito Rollies, Guruh Soekarnoputra, maupun Yockie Suryoprayogo. Tidak banyak yang tahu bahwa Harry adalah musisi dan seniman jempolan. Orang-orang hanya mengenalnya sebagai, misalnya, juri kompetisi nyanyi di stasiun televisi.

Alvin Yunata, personel Teenage Death Star sekaligus pegiat di kolektif pengarsipan musik Irama Nusantara, menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan nama Harry tidak banyak dikenal publik.

"Pertama, itu akses. Kedua, Harry Roesli sendiri memang bukan musisi yang mengejar popularitas seperti Chrisye atau yang lain. Dia main musik, ya, karena emang senang tanpa peduli apakah karyanya bakal meledak di pasar atau enggak. Fokusnya cuma bikin karya sebagus-bagusnya," jelas Alvin, yang juga tengah mempersiapkan film dokumenter tentang Harry Roesli, kepada VICE.

Ihwal popularitas ini juga diakui Pochang. Menurut Pochang, Harry bukan tipikal musisi yang mencari ketenaran. “Yang ada di kepala Harry itu bagaimana dia bisa melakukan eksplorasi dari satu titik ke titik lainnya,” terangnya.

Upaya yang dilakukan anak-anak muda seperti Rendi maupun Alvin dalam mengenalkan kembali sosok dan karya Harry Roesli diakui Dim sebagai langkah yang patut diapresiasi. “Saya bersyukur ketika mereka berniat merilis ulang album-album Harry Roesli. Ini artinya ada usaha untuk menjaga warisan Harry,” katanya, tersenyum.

Sebelum meninggal, Harry sempat berpesan kepada keluarga dan sahabat terdekatnya: "Jangan matikan lampu kerja saya." Sebuah pesan yang punya maksud agar karya-karyanya tetap senantiasa terjaga di waktu-waktu mendatang.

Sejauh ini, rasanya, pesan itu masih dipegang teguh oleh banyak pihak.


Faisal Irfani adalah jurnalis lepas yang rutin mengulas budaya pop Indonesia. Follow dia di Instagram