Kerangkeng Manusia

Penyidikan Lambat, Bupati Langkat Akhirnya Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia

LPSK menuding aparat lamban, karena ada tersangka dari unsur polisi dan TNI. Ada 7 tersangka perbudakan dan penyiksaan selain Bupati Terbit, jumlahnya masih bisa bertambah.
Bupati Langkat Akhirnya Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia LPSK nilai penyidikan polisi lambat
Penampakan kerangkeng manusia di belakang rumah mantan Bupati Langkat. Foto oleh Kiki Cahyadi/Anadolu Agency via Getty Images

Terbit Rencana Perangin Angin awalnya ditangkap karena kasus suap. Namun, nama mantan Bupati Langkat itu akan lebih diingat buku sejarah sebagai aktor di balik kasus kerangkeng manusia di Desa Raja Tengah, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut). Pada Selasa (5/4) kemarin, tiga bulan setelah kerangkeng pertama kali ditemukan aparat, Terbit akhirnya resmi menjadi tersangka. Penyidik menganggap sudah cukup bukti yang menyatakan Terbit terlibat pada praktek penyiksaan dan perbudakan yang ia jalankan di kediamannya.

Iklan

Anak Terbit, Dewa Perangin Angin, sebelumnya sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka bersama tujuh orang lain. Polisi memutuskan tidak dilakukan penahanan kepada kedelapan tersangka karena mereka dianggap kooperatif

Kapolda Sumatera Utara Panca Putra Simanjuntak mengumumkan penetapan ini setelah menerima hasil investigasi tim penyidik, “Setelah menetapkan delapan tersangka, tim kemudian koordinasi dengan Komnas HAM termasuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Rabu, 5 April 2022, tim penyidik telah melakukan gelar perkara dan menetapkan TRP sebagai orang atau pihak yang memiliki tempat dan bertanggungjawab terhadap tempat itu, dan ditetapkan sebagai tersangka,” kata Panca kepada awak media, dilansir dari Tempo.

Penyidikan kasus ini berjalan hingga nyaris tiga bulan sampai akhirnya polisi mengumumkan daftar tersangka. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, menilai proses pengusutan kasus ini terlalu lamban, sebab pihaknya sudah menyetor bukti penyiksaan di kerangkeng itu dalam jumlah berlimpah kepada aparat.

Seperti dilansir Tempo.co, Edwin menuding kasus Terbit Rencana Perangin Angin terkesan lama ditangani aparat penegak hukum, karena adanya keterlibatan oknum TNI ataupun Polri. Keterlibatan ini menurut Edwin, menggambarkan dugaan praktik kolusi yang berlangsung lama dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat.

Iklan

“[Ada aparat] yang melakukan pembiaran hingga berlangsung satu dekade dan membuat para pelaku terkesan tak tersentuh hukum," kata Edwin.

Selain beleid seputar korupsi, polisi turut menjerat Terbit dengan pasal 2, 7, dan 10 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pasal 55 dan 170 KUHP tentang Pemufakatan Kejahatan, pasal 333 KUHP tentang Perampasan Kemerdekaan Orang, serta pasal 253 tentang Pemalsuan Tanda Tangan. 

Kabid Humas Polda Sumut Hadi Wahyudi mengumumkan masih ada nama lain yang kemungkinan akan menjadi tersangka baru. “Dari hasil pengembangan penyidikan itu masih ada potensi [tersangka baru], makanya yang seperti di awal-awal saya sampaikan bahwa kami tidak ingin terburu-buru,” ujar Hadi dilansir Suara, Rabu (6/4) ini.

Cara tidak terburu-buru ini dikritisi Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution. menurutnya, nama besar Terbit sebagai pejabat terlihat mempengaruhi penyelesaian kasus yang dinilai cukup lambat. “Bahwa ada oknum-oknum yang selama ini terlibat, baik TNI-Polri, ormas, dan kekuatan lokal itu sedikit banyak mempengaruhi proses jalannya hukum dalam kasus ini,” kata Maneger kepada BBC Indonesia.

Seperti yang sudah diberitakan, praktek kerangkeng manusia di kediaman Terbit terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan rumah atas kasus suap yang menjerat Terbit. Ia empat membela diri dengan mengatakan bahwa manusia yang berada di penjara adalah pecandu narkoba yang sedang mendapatkan rehabilitasi, makan gratis, perawatan kesehatan, dan pembinaan keagamaan dan sosial.

Iklan

Namun, hasil penelusuran Komnas HAM dan LPSK, didapat fakta adanya penyiksaan hingga perbudakan di panti rehab narkoba tersebut. Saat digeledah, ada 57 orang sedang menghuni dua kerangkeng berukuran 6 x 6 meter itu. Mereka adalah pekerja di kebun kelapa sawit milik Terbit yang dipaksa bekerja 10 jam sehari, dengan hanya diberi upah makan dua kali sehari.

Sejak mulai beroperasi pada 2012, penghuni kerangkeng manusia disebut sudah mencapai 656 orang, di mana setidaknya 6 penghuni meninggal dunia akibat dugaan kekerasan. Penyidik turut menemukan makam di rumah Terbit yang diduga kuburan penghuni kerangkeng. 

Maret lalu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam sudah menyerahkan nama 19 terduga pelaku kekerasan terhadap penghuni kerangkeng kepada penyidik. Beberapa nama adalah keluarga Terbit, anggota ormas, serta anggota TNI dan Polri.

“Terdapat minimal 18 alat yang digunakan dalam tindak kekerasan ini, antara lain selang, cabai, ulat gatal, daun jelatang, besi pana, lilin, jeruk nipis,” kata Choirul, dilansir CNN Indonesia. “Lalu, garam, plastik yang dilelehkan, palu atau martil, rokok, korek, tang, batako, dan alat setrum. Lalu ada kerangkeng dan juga kolam.”