Kabar Buruk: Tak Ada Solusi Menghambat Kiprah Makelar Tanah di Calon Ibu Kota Baru

Kabar Buruk: Tak Ada Solusi Menghambat Kiprah Makelar Tanah di Calon Ibu Kota Baru Kutai Kartanegara Penajam Paser Utara​

Pengumuman lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur oleh Presiden Joko Widodo awal pekan ini justru memicu permasalahan baru. Harga tanah di dua lokasi calon ibu kota, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, melonjak naik. Ini belum termasuk praktik makelar tanah yang bakal merajalela.

Pasca pengumuman tersebut, para spekulan tanah mulai bermunculan untuk mencari lokasi yang strategis. Harga tanah yang diprediksi menjadi lokasi ibu kota pun melonjak sampai berlipat-lipat.

Videos by VICE

Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara misalnya, adalah suatu lokasi terpencil yang tak pernah dilirik sebelumnya, namun beberapa saat setelah pengumuman, daerah itu diserbu makelar tanah. Sebab, kecamatan itu berbatasan dengan Kutai Kartanegara.

“Banyak sudah yang datang ke sini untuk cari-cari lahan,” ujar Mauladin, Kepala Desa Tengin Baru, Sepaku. “Mereka baru sekadar tanya-tanya saja mengenai lahan. Mereka katanya mau membeli lahan.”

Warga, kata Mauladin, juga mulai berinisiatif menaikkan harga tanah. Tak tanggung-tanggung, jika sebelumnya harga tanah per hektare mencapai Rp150 juta, kini naik jadi Rp250 juta.

“Pokoknya sekarang harga naik berlipat-lipat,” tambah Mauladin. “Di sini jarang warga mau jual lahan per kapling tapi langsung satu hamparan.”

Padahal Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’id mengklaim telah merahasiakan lokasi demi mencegah praktik mafia tanah. Gafur bilang bakal menyiapkan empat kecamatan buat lokasi ibu kota meliputi Sepaku, Babulu, Waru, dan Penajam. Tanpa merinci mana yang bakal dipakai. Toh, mafia tanah tetap saja menyerbu.

Tak cuma di daerah pelosok, para pengembang di sekitaran Kalimantan Timur juga memanfaatkan momentum perpindahan ibu kota dengan mempromosikan properti mereka secara jor-joran. Sehari setelah pengumuman, pengembang raksasa Agung Podomoro langsung bikin iklan di berbagai media buat produk Borneo Bay City di Balikpapan. Iklan itu ditambah embel-embel “Investasi Terbaik di Ibu Kota Negara”.

Soal makelar tanah memang sudah menjadi persoalan setiap kali pemerintah membuka proyek strategis nasional. Sebelum dan sesaat setelah proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati berjalan, mafia tanah beraksi dengan memborong tanah warga dan membangun ‘rumah-rumah hantu’. Tujuannya agar tanah bisa dijual berlipat-lipat ke pemerintah, sementara warga terpaksa menjual tanah mereka secara murah karena tak punya pilihan lain.

Hal sama juga terjadi saat isu pembangunan Bandara Internasional New Yogyakarta (NYIA), Kulon Progo pada 2001, atau jauh sebelum pembangunan proyek bandara. Orang dari luar Yogyakarta pun berbondong-bondong membeli tanah di sekitaran Kulon Progo buat berinvestasi. Jauh sebelum isu proyek NYIA menggema, Kulon Progo adalah daerah ‘gersang’. Upah minimum regional Kabupaten Kulon Progo ‘cuma’ Rp1.4 juta pada 2014.

Namun kini, harga tanah tentu sudah menggila, dikutip dari Tirto.id, dalam radius 5 km dari bandara, harga tanah sudah berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp2 juta. Alhasil, kebanyakan warga sekitar dengan gaji UMR hanya bisa gigit jari.

Sayangnya, menurut Agus Heruanto Hadna selaku dosen Magister Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), punya pendapat lain. Munculnya makelar tanah di proyek pemerintah merupakan hal yang lumrah. Sebab, dia mengikuti hukum ekonomi karena ada permintaan dan keterbatasan suplai.

“Tidak ada cara untuk menghilangkan praktik makelar,” kata Agus kepada VICE. “Paling hanya meminimalisir saja. Contohnya, seperti dikeluarkan regulasi-regulasi pemerintah. Lagian juga ada NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang sudah dijadikan patokan dalam menentukan harga tanah di pasar, ketika regulasinya sudah diresmikan pemerintah, tentunya masyarakat juga harus konsisten untuk mengikuti regulasi ini.”

Fenomena makelar tanah ini juga membuat kesal notaris/pejabat pembuat akta tanah. Bonar Sihombing, seorang notaris dari Jakarta Timur, mengaku kesal dengan praktik mafia tanah lantaran kerap tak sesuai koridor hukum. Sebab, rata-rata mafia tanah tak punya dokumen lengkap, yang ujung-ujungnya memicu sengketa.

“Ini karena kurangnya edukasi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat,” kata Bonar. “Seharusnya calon pembeli tanah sudah mengerti bahwa ada camat atau lurah yang sudah mengkoordinir tanah-tanah yang kelengkapan dokumennya valid, serta harga yang sudah ditentukan pemerintah, sehingga tidak akan terjadi penggelembungan harga tanah.”