Kabar Gembira, Suka Mendengar Musik Metal Bagus Buat Kesehatan Mentalmu

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Capek enggak sih kalau sekarang sudah Abad 21 tapi kalian masih mendengar ada media dan orang-orang yang menyerang genre musik metal? Media-media konservatif dan manusia dengan pola pikir tradisional tuh terus saja mengulang tuduhan kayak kaset rusak kalau metal musik setan lah, gaya hidupnya merusak lah, dan sebagainya. Anak punk, sebagai sepupu jauh kultur metal, terus saja ditangkapin sama polisi di berbagai kota Indonesia. Konser metal sering enggak dapat izin.

Videos by VICE

Masih agak mending, Presiden Indonesia sekarang cukup keren mempromosikan metal, jadinya persepsi jelek publik menurun. Setidaknya metal dianggap sama seperti genre musik lainnya. Tapi cari aja, pasti masih ada yang bilang anak muda suka mendengar metal suram masa depannya. Makanya diajak #hijrah.

Sekarang, muncul bantahan terbaik buat berbagai tuduhan keliru dari kalangan konservatif terhadap musik metal. Datangnya dari sebuah penelitian yang diterbitkan beberapa pekan lalu di Journal of Community Psychology. Judul makalahnya, “Mengkontekstualisasi Kesehatan Mental Anak Muda Pegiat Kancah Metal: Munculnya Perlindungan Sosial, Identitas, dan Pemberdayaan.” Dua psikolog yang berjasa melahirkan kajian menarik ini adalah Paula Rowe dan Bernard Guerin, keduanya akademisi asal Australia. Merek menyimpulkan bila musik metal bisa melahirkan empati, katarsis, dan dorongan positif bagi anak muda yang bergiat di kancah tersebut. Artinya, bagus untuk kesehatan mental mereka.

Berikut papapran singkat hasil penelitian sebagaimana ditulis Rowe and Guerin:

Identitas penggemar musik metal seringkali digambarkan sebagai penderita gangguan mental, kami menyimpulkan asumsi semacam itu tidak didukung bukti memadai. Kami mendokumentasikan kegiatan anak-anak muda pegiat skena metal dengan metode wawancara langsung. Subyek penelitian ini adalah 28 orang yang mengaku sangat menggemari metal, berusia 18 hingga 24 tahun (5 perempuan dan 23 lelaki). Dari wawancara mendalam dan FGD yang dijalankan berulang-ulang, dapat disimpulkan bila identitas mereka sebagai penggemar maupun anggota komunitas metal justru melindungi subyek penelitian dari bermacam gangguan mental.

Ada empat faktor, menurut Rowe dan Guerin, yang menjadi karakteristik positif metal dari sudut pandang anak muda tersebut. Faktor pertama, sebagian penggemar metal justru di-bully, atau merasa tidak difasilitasi media dan lingkungan untuk menekuni hobinya selama masa remaja; kedua, penggemar metal merasa punya komunitas yang melindungi mereka dari berbagai perundungan tadi; tiga, lirik musik metal yang kerap membahas masalah gangguan jiwa membuat mereka bisa lebih memahami emosi diri; keempat, identitas metal justru menghentikan bullying yang mereka terima, sehingga mereka lebih percaya diri bermasyarakat.

Intinya, efek positif ini akan sangat berdampak ketika penggemar musik metal itu karena berkomunitas dan dapat teman-teman baru. Makanya, Rowe dan Guerin menyimpulkan, kalau tak ada komunitas dan musik metal yang menjadi katarsis, para subyek yang diteliti sangat mungkin mengalami problem kesehatan mental. Tentu saja kesimpulan penelitian seperti perlu diapresiasi penggemar musik metal. Mereka, yang rutin ditekan oleh budaya arus utama, pasti sadar hobinya berdampak positif tapi barangkali sulit mengartikulasikannya. Lebih-lebih kesimpulan kali ini datang dari komunitas ilmiah.

Makanya, kalau ada orang konservatif menuduh anak muda suka metal itu “kelainan” atau apalah yang ngehe gitu, tanya aja, “dasarmu ngemeng dari penelitian mana coy?”