Kasus dihukumnya seorang anak perempuan 15 tahun yang mengaborsi janin hasil perkosaan abang kandungnya sendiri menunjukkan bagaimana relasi kuasa dalam kaitannya dengan gender masih abai diperhatikan dalam proses pembuatan putusan pidana yang melibatkan perempuan terlebih anak. Bukannya mendapat perlindungan, anak 15 tahun korban perkosaan itu malah divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi, 19 Juli lalu.
Perempuan 15 tahun itu diketahui berulang kali jadi korban perkosaan abangnya. Korban juga kerap diancam secara verbal maupun fisik. Ia sering dipukuli. Ibu kedua anak ini awalnya tidak tahu bahwa si anak perempuan dihamili oleh abang kandungnya sendiri, Setelah tahu si ibu kemudian membantu menggugurkan kandungan anaknya.
Videos by VICE
Hasil keputusan hakim yang menghukum anak perempuan 15 tahun yang juga korban perkosaan menimbulkan kontroversi. Anak 15 tahun yang juga masih di bawah umur harus dihukum lewat Undang-Undang Perlindungan Anak karena dianggap mengancam kehidupan seorang anak dalam kandungan. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi? Ada cacat apa dalam sistem hukum dan peradilan Indonesia terkait penanganan kasus yang menimpa anak dan perempuan?
APAKAH ABORSI BOLEH DILAKUKAN DI INDONESIA?
Sayangnya aborsi belum dipandang sebagai pilihan bagi perempuan dewasa di Indonesia. Sistem hukum Tanah Air condong menyamakan aborsi sebagai penghilangan nyawa, alih-alih dipandang sebagai hak dasar reproduksi perempuan—bahwa tubuh adalah otoritas perempuan dan jika perempuan tidak siap dan menginginkannya maka mereka punya pilihan mengaborsi janinnya.
Sekalipun begitu, undang-undang membolehkan aborsi atas beberapa syarat. Pertama, jika keberadaan janin mengancam nyawa ibu dan anak. Kedua, jika ibu yang hamil adalah korban pemerkosaan dan berada dalam kondisi trauma secara psikologis.
Hanya saja aborsi legal versi Indonesia harus dilakukan sebelum kehamilan berusia 40 hari dihitung sejak hari terakhir kali menstruasi, kecuali untuk kasus darurat medis. Prasyarat tadi akhirnya memicu masalah, sebab kebanyakan perempuan baru sadar sudah hamil lewat sebulan atau dua bulan setelah rahimnya dibuahi. Korban pemerkosaan yang telat sadar bisa dibikin bingung berhadapan dengan aturan ini.
Dalam kasus yang terjadi di Jambi, korban perkosaan malah terlanjur memasuki usia kehamilan enam bulan. Alasannya apa kok korban enggak lapor polisi? Takut dan malu, kata ibunya. Apakah perasaan yang menghinggapi si korban teralalu sulit untuk dipahami? Pertanyaannya, di Indonesia ini, adakah tempat yang aman dan nyaman bagi korban mengadukan pemerkosaan terlebih dia sudah hamil tua? Jika jawabannya tidak, patutlah kita semua berefleksi diri.
MENGAPA KORBAN PEMERKOSAAN DI JAMBI MALAH IKUT DIHUKUM?
Ada hal yang bikin banyak orang geram terkait kasus yang menimpa korban perkosaan berusia 15 tahun ini. Si korban, yang notabene adalah seorang anak, justru terjerat Undang-undang Perlindungan Anak -yang bermaksud melindungi si anak yang belum lahir. Aturan itu secara filosofis memang melindungi “anak” yang masih di dalam kandungan. Peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan Undang-Undang tersebut gagal memberikan pertimbangan kemanusiaan memadai bagi kasus yang melibatkan anak perempuan di bawah umur.
Tonton dokumenter VICE saat menelusuri penjualan alat bantu euthanasia yang kontroversial di Australia:
“Kemarin saya ngobrol dengan jaksa penuntut umum kasus itu. Anak itu kan harusnya dijauhkan dari persidangan yang formal sifatnya, tidak ditahan, dan dapat pendampingan,” kata Maidina kepada VICE. “Kalaupun ada penahanan itu disebutnya ditempatkan di penempatan anak sementara. Terus kita tanya sama jaksa, ‘Kok dia ditahan?’, jawabannya karena ancaman pidananya di atas 7 tahun (yang membuat anak dapat sistem formal). Karena tidak bisa diterapkan akhirnya anak ditahan, karena ditahan akhirnya prosesnya kayak orang dewasa.”
KENAPA UU PERLINDUNGAN ANAK GAGAL MENGHINDARKAN ANAK DI JAMBI DARI ANCAMAN PIDANA?
Pernyataan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI, Rita Pranawati mengatakan bahwa Ia memahami putusan pengadilan yang diberikan pada korban perkosaan. Menurutnya merujuk pada UU Kesehatan, bahwa aborsi hanya diperbolehkan bagi kandungan yang belum menginjak 40 hari.
“Dalam UU Kesehatan, anak hasil perkosaan dapat diaborsi dalam usia 40 hari. Tetapi ini sudah lebih. Dalam kasus di Jambi aborsi dilakukan ketika kandungannya sudah menginjak enam bulan,” kata Rita. “Aborsi ini pun diketahui orang tuanya, dan ini memang menjadi masalah. Belum lagi jika melihat peran orang tua. Ketika menjatuhkan putusan, hakim mungkin melihat hal ini sebagai perkosaan umum karena usia kandungan yang digugurkan sudah lebih dari 40 hari.”
Mengapa malah Rita dianggap seolah membiarkan anak korban pemerkosaan dijatuhi hukuman? Maidina berpendapat tidak semestinya KPAI berpendapat normatif seperti itu. Memang betul hukumnya berbunyi seperti itu dan terdengar tidak sempurna. Namun semestinya ada upaya lain yang dilakukan.
“KPAI kok komentaranya ‘ya memang hukum aborsinya begitu’. Lah kok apa gunanya berpikir? Apa gunanya teori yang mengatakan dasar pembenar dan dasar pemaaf? Kalau enggak diterapkan dan cuma melihatnya normatif saja. Kan ini korban perkosaan, bisa juga melihatnya dari berbagai teori yang akhirnya melindungi dan membebaskan anak itu yang juga korban,” tuding Maidina.
BISAKAH HAKIM MEMBEBASKAN KORBAN DARI HUKUMAN PIDANA? APA SAJA YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN HAKIM?
Menurut Maidina, ada banyak landasan yang bisa digunakan untuk melindungi anak perempuan yang menjadi perkosaan ini. Salah satunya dengan tidak menahan yang bersangkutan. Ia menjabarkan semestinya hakim melihat bahwa dalam KUHP diatur juga soal dasar pemaaf dan dasar pembenar yang bisa membebaskan seseorang dari sanksi pidana karena alasan-alasan tertentu. Maidina pun mengkritik, untuk kasus-kasus yang melibatkan anak, perempuan, dan kasus kekerasan seksual atau perkosaan hakim peradilan tidak boleh abai sama perspektif gender.
Secara spesifik, hakim yang berperkara dalam kasus ini harus melakukan analisis berlapis menimpa perempuan yang tengah berhadapan dengan hukum. Di antaranya, ia harus melakukan analisis gender dengan menilik ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam lingkup kehidupan si korban.
Hal lainnya, hakim juga mesti peka akan relasi kuasa yang berlangsung dalam hubungan korban dengan pelaku, yang adalah abangnya sendiri. Menilik apakah ada hubungan yang sifatnya hierarkis sehingga merugikan pihak yang berada di posisi lebih rendah.
Semua pedoman itu sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung, namun berhubung aturan itu baru belum tentu pada prakteknya semua hakim paham soal urusan ini.
“Kalau hakim itu mematuhi Peraturan MA [pemidanaan korban] enggak kejadian. Kan harusnya kita bisa melihat runut kejadiannya dia aborsi karena diperkosa, ada ketimpangan gender. Toh perkosaannya ini juga dilakukan sama kakaknya yang mana persetubuhan sama anak itu, enggak ada persetujuan dari anaknya,” ungkap Maidina. “Hakimnya harusnya bisa menggali itu sampai dia bisa membebaskan anak ini. Makanya kemarin rekomendasinya ICJR bahwa MA harus turun periksa apa saja pelanggaran di dalamnya.”
BAGAIMANA JIKA ADA KORBAN PEMERKOSAAN YANG INGIN MENGABORSI JANIN TANPA DIJERAT HUKUM?
Maidina memberikan saran, jika ada korban perkosaan harus segera melapor sehingga haknya dilindung. Ia menyarankan untuk melapor ke Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga akan diusut dan diatur hak-hanya untuk bisa melakukan aborsi dan terhindar dari hukuman.
Kalau dibawa ke jalur hukum, urusannya bisa repot. Undang-undang masih diskriminatif terhadap perempuan. Korban pemerkosaan yang mengaborsi janinnya saja malah dijerat KUHP.
Padahal kalau mau ditilik lebih jauh, yang menyebabkan kehamilan bukan cuma perempuan kan?