Orang bisa bertahan menjalani hubungan percintaan yang kurang bahagia karena beberapa alasan: takut hidup sendiri, perasaan bahwa hidup bakal lebih enggak beres kalau putus atau keengganan meninggalkan pasangan yang sudah lama kamu pacari (dalam ilmu ekonomi, cara berpikir seperti ini bisa dipadankan dengan konsep sunk cost fallacy).
Sejatinya, cara berpikir demikian menunjukkan bahwa kita mau menang sendiri—terutama dari sisi orang yang mengambil keputusan putus atau lanjut. Namun, sebuah penelitian baru memperlihatkan bahwa kadang orang bertahan dalam hubungan percintaan yang tak membahagiakan bukan karena kepentingannya sendiri. Sebaliknya, keputusan untuk bertahan diambil karena mereka emoh menyakiti perasaan pasangannya.
Videos by VICE
Temuan ini mungkin agak mengejutkan. Tapi, jika kamu sering dicurhati teman yang mau putus tapi takut konsekuensi keputusannya pada pasangannya, altruisme macam ini mah sering kamu jumpai.
Untuk menegaskan temuan ini, sejumlah peneliti mensurvei 500 orang yang sudah mempertimbangkan mengakhiri hubungan asmara dengan pasangannya dan mengamati apa yang mereka kerjakan dalam dua bulan kemudian. Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa partisipan yang percaya bahwa pasangannya ingin hubungan asmara mereka tetap berjalan cenderung tak mau minta putus.
Dengan kata lain, keinginan mereka melihat ketergantungan pasangan akan hubungan asmara mereka berkorelasi positif dengan keengganan mereka menyudahi hubungan. Kecenderungan seperti ini juga didapati para orang-orang yang sebenarnya sudah tak punya alasan untuk melanjutkan sebuah hubungan, entah karena tak merasa puas, tak begitu serius atau merasa punya opsi lain.
“Bahkan mereka yang sudah mempertimbangkan untuk putus ternyata masih sayang pada pasangannya dan mengkhawatirkan perasaan mereka,” kata Samantha Joel, salah satu periset dalam penelitian tersebut dan asisten dosen di Western University di Ontario, Kanada. “Orang bisa saja bertahan dalam sebuah hubungan asmara yang kurang memuaskan demi menjaga perasaan pasangan.” Kalian mungkin bertanya-tanya apa kecenderungan seperti ini dimiliki oleh salah satu gender saja. Ternyata, menurut Joel, hasil penyelidikan membuktikan pola pikir seperti dimiliki oleh tiap gender.
Sekali lagi, temuan ini sepertinya sudah sering kita dengar. Akan tetapi, menurut para peneliti, riset sebelumnya hanya memusatkan diri pada alasan-alasan mengakhiri hubungan percintaan yang hanya menguntungkan satu pihak. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat alasan yang sifatnya altruis untuk melanggengkan sebuah hubungan—para peneliti menyebutnya sebagai alasan “prososial.” Dalam prakteknya, dalih-dalih altruis untuk tidak menyudahi sebuah hubungan juga melibatkan perasaan dan sudut pandangan pasangan.
Jelas, temuan ini tak menyarankan kita untuk sabar terus menjalani hubungan yang sudah tak sehat demi menjaga perasaan pasangan. Pertama, kita toh tak akan pernah sepenuhnya paham perasaan pasangan kita. Bahkan jikapun sudah pacaran dalam waktu yang lama, kita bisa saja kecele memahami perasaan pasangan. Ini yang menyebabkan anggapan bahwa pacaran akan tersakiti jika hubungan disudahi. Sedangkan, dalam kenyataannya, bisa saja keputusan untuk berpisah disambut dengan rasa lega.
Bahkan jikapun kita pun tak salah membaca perasaan pasangan, anggapan bahwa hubungan akan membaik bisa membuat kita bertahan, saat kita mungkin seharusnya mengakhiri hubungan tersebut. Joel memaparkan bahwa hal itu bisa saja terjadi.
Dalihnya, adalah setelah hal-hal yang menjemukan atau tak mengenakan dilewati, hubungan akan otomatis lebih menyenangkan. Padahal, keputusan untuk bertahan ini justru bisa memperpanjang suasana yang kurang mengenakkan antara sepasang sejoli. Dan ini jelas merugikan keduanya sebab kata Joel, “Siapa sih yang mau pacaran dengan orang yang udah ogah-ogahan”
This article originally appeared on VICE US.