Plot film horror bertema boneka pertama yang saya tonton adalah satu episode Twilight Zone ketika ada karakter “Talky Tina,” sebuah boneka perempuan berambut kuncir kuda meneror serta membunuh ayah angkat pemiliknya. Saya ingat langsung menatap mainan-mainan saya penuh rasa curiga setelah itu. Saya bersyukur kebanyakan mainan yang saya miliki cuma boneka beruang dan bukan bentuk imitasi porselen anak-anak kecil.
Banyak sekali film dan acara TV yang akhirnya menggunakan tema serupa: bahwa boneka itu serem banget. Semakin mirip manusia penampilannya—mata kaca yang bisa bergerak, rambut realistis, atau sedikit rona merah di pipi—semakin mereka mengerikan.
Videos by VICE
Tapi kenapa sih boneka bikin beberapa orang ketakutan? Menurut Thalia Wheatley, ilmuwan neurologi kognitif dari Dartmouth University, fobia tersebut berhubungan sama cara otak mendeteksi dan memperhatikan wajah. Wheatley meneliti respons manusia terhadap boneka untuk menyelidiki sebuah kemampuan sederhana yang kita semua miliki, tapi tetap menjadi misteri dalam dunia neurologi: Apakah kita bisa membedakan wajah manusia dengan wajah boneka? Lantas, apa yang bisa kita petik dari kengerian terhadap boneka soal proses ini tadi?
Semuanya dimulai dengan proses kita melihat wajah, ujarnya. Sejak bayi, manusia selalu menaruh perhatian khusus terhadap wajah. Sebuah penelitian menyimpulkan bayi yang baru lahir akan menaruh perhatian lebih banyak ke wajah dibanding wajah yang fiturnya sudah diacak-acak. Telah terbukti juga bahwa otak manusia menunjukkan aktivitas dalam area spesifik dalam waktu 170 milidetik terhadap wajah apapun, jadi kita memang selalu menyadari kehadiran wajah dengan cepat. Sayangnya, otak kita tidak terlalu pilih-pilih. Dua lingkaran dan sebuah garis melengkung akan menghasilkan reaksi otak yang sama dengan ketika kita melihat sebuah wajah, dan inilah alasan kita kadang melihat bentuk wajah dalam benda-benda mati seperti colokan, atau titik dua dan tanda kurung :) .
Tapi kalau kemampuan kita mengenali wajah segitu doang, kita pasti bingung terus dong? “Kita harus bisa membedakan wajah yang layak mendapatkan perhatian, pemikiran dan perasaan kita dari sinyal keliru yang sebetulnya bukan wajah sungguhan,” tulis Wheatley di salah satu jurnal ilmiah. “Kalau tidak, kita mungkin saja menganggap awan, mobil, rumah sebagai obyek bernyawa.” Cara otak kita membedakan manusia dan benda terletak pada kemampuan kita yang bukan hanya bisa mengenali wajah, tapi mengenali wajah yang memiliki nyawa dan yang tidak.
Pada 2010, Wheatley mengajak mahasiswanya di Darthmouth melihat sederetan gambar yang perlahan-lahan berubah. Dari awalnya sebuah boneka menjadi bayi manusia. “Kami sadar foto yang paling kiri adalah sebuah boneka, dan foto yang paling kanan adalah manusia,” ujarnya. “Pertanyaannya adalah apakah setiap orang bisa membedakan foto-foto yang di tengah?”
Wheatley lantas menyimpulkan para peserta uji coba sederhana itu memiliki jawaban yang spesifik tentang titik persinggungan gambar mana yang manusia dan mana yang bukan. Ternyata jawabannya bukan foto paling tengah. Manusia cenderung memiliki standar yang lebih tinggi dalam mengenali kemanusiaan. Orang berpendapat bahwa fotonya mulai terasa hidup ketika berada di titik 65 hingga 67 persen manusia. “Titik yang sama muncul ketika orang ditanya apabila mereka merasa wajahnya ‘memiliki nyawa’, ‘bisa membuat rencana,’ atau ‘bisa merasakan sakit,’ mengindikasikan bahwa mengenali wajah sangat krusial dalam proses kita mengakui kapasitas mental,” jelas Wheatley. Ketika Wheatley bertanya ke beberapa peserta kenapa mereka merasa seperti itu, satu orang menjawab ini terjadi ketika si boneka “mulai menatap balik saya.”
Dalam penelitian berikutnya, Wheatley menggunakan metode EEG mengukur respon otak manusia ketika melihat wajah boneka, wajah manusia, dan wajah sebuah jam. Dia menemukan bahwa proses otak mengenali wajah memiliki dua tahap. Tahap pertama kita semua sudah paham: bahwa sebuah wajah dikenali otak dengan cepat. Tapi ada proses lain yang memakan waktu lebih lama ketika otak kita berusaha mengenali apakah wajah tersebut bernyawa. Apabila otak kita memutuskan bahwa wajah tersebut bernyawa, kita akan menaruh lebih banyak perhatian ke wajah tersebut. Kalau kita memutuskan wajah tersebut tidak bernyawa, perhatian kita memudar.
Wheatley mengatakan proses pengenalan wajah yang pertama sangatlah primitif, dan ini alasan kenapa bahkan bayi yang baru lahir sanggup melakukannya. “Proses ini harus berlangsung cepat sebagai cara bertahap hidup dan mengenali wajah dengan cepat,” ujarnya. Tapi tahap kedua berbeda ceritanya. “Intinya kamu berusaha memahami apabila wajah ini memiliki otak di belakangnya.”
Dari sinilah muncul alasan kenapa boneka itu menyeramkan. Boneka, dan obyek berwajah manusia lainnya membuat otakmu mencoba mengenali apakah ada pikiran di belakangnya. Tentu saja jawabannya tidak. Tapi tanda-tandanya lumayan mirip (mata, mulut, ekspresi) dengan wajah yang bernyawa. “Ada semacam sinyal yang mengatakan ke otak bahwa wajah ini bernyawa,” ujarnya. “Tapi kita sebetulnya tahu dia tidak bernyawa. Dan jukstaposisi inilah yang mengerikan.”
Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai uncanny valley atau, “fluktuasi respon emosional yang terjadi ketika kita berhadapan dengan entitas yang hampir, tapi bukan juga manusia,” tulis Stephanie Lay, seorang psikolog yang mempelajari fenomena uncanny valley, dimuat di media ilmiah populer The Conversation. Teori terkait uncanny valley muncul sejak 1970 berkat ahli robot Jepang, Masahiro Mori. Teori tersebut dianggap sebagai tantangan besar dalam pengintegrasian robot mirip manusia atau android ke dalam masyarakat.
Penelitian Lay menunjukkan kalau kebanyakan manusia merasa tidak nyaman ketika melihat ekspresi boneka, avatar, atau robot yang tidak mungkin kita temukan di alam bebas. “Wajah yang menimbulkan rasa tidak nyaman ini adalah wajah-wajah yang memiliki ekspresi mulut dan mata yang tidak sesuai. Rasanya tidak cocok,” ujarnya. “Yang paling mengerikan adalah yang memiliki muka tersenyum senang tapi dengan mata yang marah atau ketakutan.”
Angela Tinwell, seorang dosen senior di School of Games di University of Boston, mulai mempelajari uncanny valley setelah menyaksikan murid-muridnya kesulitan menciptakan karakter virtual tiga dimensi dalam video game. Mirip penemuan Lay dan Wheatley, dia menemukan ketidaksesuaian mata, ekspresi wajah, atau gestur tubuh bisa membuat avatar terlihat menakutkan bagi manusia yang menyaksikannya.
Wheatley mengatakan bahwa kapan proses ini mulai terbentuk masih menjadi sebuah pertanyaan terbuka. Anak kecil nampaknya tidak terlalu takut terhadap boneka seperti manusia dewasa, dan mungkin ini disebabkan karena anak kecil belum sadar akan konsep nyawa di belakang wajah. Hasil penelitian efek uncanny valley terhadap anak kecil mungkin bisa mengungkap di umur berapa proses ini dimulai. Sebuah penelitian tahun lalu menemukan proses ini rata-rata bermula saat seseorang berumur sembilan tahun.
Tentu saja tujuan akhirnya bukanlah menciptakan avatar atau robot yang tidak membuat kita merinding. Memahami lebih jauh proses deteksi wajah dan pikiran bisa mengunkap beberapa nuansa dalam cara kita memandang satu sama lain juga. Setelah penemuan Wheatley dirilis, Jay Van Bavel, seorang ahli neurolog sosial di New York University menggunakan teknik wajah boneka-berubah-menjadi-manusia yang serupa Wheatley, untuk memahami bagaimana faktor sosial bisa mempengaruhi pola deteksi pikiran.
Dia menyimpulkan aliansi sosial bisa mempengaruhi kecenderungan seseorang mendeteksi pikiran. Orang akan lebih cepat mendeteksi pikiran di wajah seseorang dalam sebuah kelompok, apapun itu.
Baca juga ulasan VICE mengenai fobia unik yang ternyata dialami banyak manusia:
Labnya saat ini sedang mendalami bagaimana efek ini mempengaruhi cara orang memperlakukan orang lain di kehidupan sehari-hari. Dalam dunia medis, misalnya, mereka menginvestigasi bagaimana praktisi mungkin lebih kesulitan mendeteksi rasa sakit di wajah lelaki Afrika-Amerika dan mencoba menjelaskan faktor terkait dalam perbedaan rasa sakit menurut ras.
“Ini mungkin memiliki implikasi bahwa ada proses dehumanisasi terhadap anggota kelompok luar,” ujar Van Bavel. “Sepanjang sejarah, manusia memperlakukan beberapa kelompok secara lebih tidak manusiawi. Dalam kasus genosida misalnya, mulai dari Nazi Jerman hingga Rwanda, kelompok minoritas sering dibandingkan dengan serangga (tikus hingga kecoa). Dengan cara memandang kelompok-kelompok ini lebih rendah daripada manusia, ini membuat orang-orang melakukan hal-hal yang buruk terhadap mereka.”
Saya bertanya ke Tinwell apabila efek uncanny valley akan menghilang seiring boneka, video game dan robot akan bertambah realistik. Dan apakah ini akan mempengaruhi cara kita mendeteksi pikiran di belakang wajah manusia juga? Dia merasa biarpun representasi wajah dan pikiran akan bertambah canggih, otak manusia akan semakin bertambah cerdas. “Kita akan selalu berada satu langkah lebih depan dibanding teknologi virtual, boneka dan animasi,” ujarnya.
Lay setuju, tapi mengatakan biarpun otak manusia tidak akan pernah berevolusi hingga mendeteksi robot memiliki pikiran, kita mungkin akan berkembang dan tidak terlalu takut terhadap wajah-wajah ini lagi. Seiring seorang peneliti mempelajari efek uncanny, dia menemukan tolerasi rasa takutnya berubah. “Kita akan semakin terbiasa,” ujarnya.
Lantas bagaimana dengan boneka? Apabila di masa depan kita akan ditemani robot asisten, apakah tidak akan ada lagi film horor bertema boneka? Belum tentu, ujar Lay, karena mereka berada di ranah abu-abu antara manusia dan non-manusia.
“Terhadap android, kita akan semakin toleran,” ujarnya. “Kualitas yang dimiliki boneka sedikit berbeda karena mereka adalah representasi statis dari bayi manusia. Ada sesuatu yang mengerikan tentang kestatisan mereka.”
Dan, mungkin saja kita menikmati ini—sedikit saja. Wheatley berpendapat bahwa karena sifat boneka yang nanggung-nanggung inilah, mereka menjadi menyeramkan, tapi juga menyenangkan. Mereka adalah alasan kenapa film horor itu seru tapi tidak menyebabkan stres berkepanjangan. “Kita suka menahan penilaian kita sendiri kadang-kadang,” ujarnya. “Ketika aman untuk melakukan ini. Seru menonton boneka badut Chuckin, membiarkan otak kita bermain dengan ambiguitas itu. Tapi kalau benar-benar ada boneka badut berjalan masuk ke rumah, kita pasti akan ketakukan setengah mati.”