Kami Menemui Dokter Bedah yang Berbagi Siaran Langsung Operasi Melalui Snapchat

Sekarang kita hidup di era teknologi Virtual Reality dan Augmented Reality dapat menawarkan penonton perjalanan seorang diri ke bagian terjauh di solar sistem kita atau ke dunia fiktif Game of Thrones. Di sisi lain, sekolah kedokteran di banyak negara masih mewajibkan mahasiswa mengamati operasi secara langsung, seringnya dengan melongok dari belakang pundak ahli bedah senior di ruang operasi.

Ahli bedah Shafi Ahmed dari Inggris percaya ada cara yang lebih baik. Dia menekankan observasi “langsung” bukan cara belajar “yang efektif.” Keharusan seorang dokter berdiri di sebelah dokter bedah senior menurutnya adalah tradisi yang “perlu diubah”. Dua pertiga populasi dunia—sekitar lima miliar orang—tak punya akses pada operasi yang aman dan terjangkau, menurut survei terkini. Banyak negara berkembang tidak punya fasilitas memungkinkan para mahasiswa kedokteran melihat proses operasi secara langsung.

Videos by VICE

Apalagi mereka yang sering harus mengajar mahasiswa kedokteran untuk mengatasi kegugupan berada di ruang operasi. Teknologi, menurut Ahmed, dapat menjembatani jurang ini, mengizinkan mahasiswa kedokteran untuk melihat prosedur secara daring, dan membantu ahli bedah baru menyesuaikan diri terhadap tekanan pekerjaan.

“Virtual Reality itu sendiri lumayan seru,” ujar Ahmed. “Teknologi ini inovatif dan saya sangat tertarik pada demokratisasi pendidikan kesehatan dengan menggunakan teknologi pintar dengan gaya murah. Saya punya pendapat bahwa kamu bisa mengajari orang-orang di seluruh dunia untuk membuat pendidikan kesehatan lebih kredibel [dengan teknologi].”


Solusi murah itu menurut Ahmed adalah teknologi yang diproduksi massal. Dia pertama-tama menggunakan Google Glass untuk menyiarkan langsung prosedur bedah kepada lebih dari 15,000 mahasiswa di 180 negara. Tapi teknologi itu mahal, dan interaksinya sangat terbatas.

“Yang bisa mereka lakukan adalah mengirim pesan ke aplikasi di ponsel,” katanya. “Mereka mengakses operasi melalui mata saya dan akan ada teks yang muncul di kacamata saya. Saya memeriksanya, membacanya, dan menjawabnya di waktu bersamaan.”

“[Tapi] itu sangat terbatas dan kurang dapat diandalkan. Harganya mahal pula, US$1,500 (setara Rp20.163.000).”

Kini dia menggunakan Snapchat Spectacles, sepasang kacamata berbentuk unik yang dilengkapi kamera kecil melingkar. Alat itu membantu Ahmed menyiarkan langsung prosedur bedah yang dia lakoni. Awal bulan ini, Ahmed telah menyiarkan operasi hernia melalui Snapchat, menerbitkan viceo-video sirkular ke Snapchat story-nya.

Dia langsung mendapat respon yang menghebohkan.

“Add, add, add,” ujarnya sambil memandangi ponselnya. “Ini semua adalah orang-orang yang ingin menonton video saya di Snapchat.”

Cara Ahmed merekam operasi dengan aplikasi terbaru sekilas seperti gimmick belaka. Tapi bagi Ahmed, yang lebih penting adalah kesempatan membagi ilmunya melampaui dinding-dinding The Royal London Hospital.

“Operasi Snapchat adalah bentuk lebih giat dan efektif untuk mengajar dan belajar di seluruh dunia,” ujarnya.

Dia mencoba menjangkau para doktor muda dari bagian dunia yang dia tinggalkan. Ahmed tumbuh besar tanpa air yang mengalir atau listrik di sebuah desa di Bangladesh. Setiap pagi, dia masih ingat, para penduduk desa akan berjalan ke danau terdekat hanya untuk mandi. Pada 1973, ayahnya mengajak seluruh keluarga pindah ke Britania Raya, tepatnya ke Essex.


Perpindahan itu menawarkan Ahmed muda kesempatan menjelajahi hobinya. Ketika masih di Bangladesh, dia sangat menggandrungi sepak bola. Tapi di Britania Raya, dia justru lebih fokus pada ilmu alam dan matematika. Ketika sudah dewasa, Ahmed menjadi mahasiswa di Kings College di London—kota tempatnya tinggal dan bekerja sejak itu.

Kunjungannya ke Afrika, Palestina, Cina dan Bangladesh, menunjukkan si dokter muda pada keterbatasan layanan kesehatan di seluruh dunia. Dia lalu berikrar membagi pengetahuannya terntang prosedur bedah sederhana kepada sebanyak mungkin dokter. “Itu hal-hal yang sebetulnya cukup sederhana di Barat tapi bisa mengubah dan menyelamatkan nyawa orang.”

“Saya datang dari latar belakang itu,” ujarnya. “Itu adalah hal yang sangat penting bagi saya sebagai seorang manusia. Ingat-ingatlah asal kita. Sangat penting untuk menggunakan ilmu pengetahuan untuk menolong orang-orang di seluruh dunia.”

Teknologi, ujar Ahmed, menghubungkan orang-orang dan betul-betul membuat perubahan besar bagi sejumlah orang yang mendapatkan manfaat dari pendidikan kesehatan. Kini, dia telah menjadi semacam utusan teknologi, berbicara di seminar-seminar, secara langsung ataupun lewat siarang langsung, mengenai pentingnya demokratisasi akses ke pendidikan dan pelatihan layanan kesehatan. Di tahun mendatang dia berencana untuk mengunjungi sepuluh negara lagi, termasuk Romania, Malaysia, Sri Lanka, dan Oman.

Ini adalah perubahan nasib yang terkadang sulit dipercaya Ahmed.

“Saya lahir di sebuah desa tertinggal dalam hal teknologi dan sekarang saya malah keliling dunia membicarakan teknologi dan bagaimana teknologi dapat mengubah dunia,” ujarnya. “Ironis, kan?”