Setiap Rabu, perancang busana Brasil, Gustavo Silvestre mengunjungi penjara khusus narapidana laki-laki, Lapas Adriano Marrey, di Kota Guarulhos, Brasil. Silvestre mengajari para narapidana cara merenda serta menjahit. Kunjungannya adalah bagian dari Projeto Ponto Firme (“Firm Point Project,” jika diterjemahkan ke bahasa Inggris), sebuah inisiatif pendidikan vokasi untuk narapidana yang melibatkan Silvestre mulai 2015. Pelatihan keterampilan baru bagi napi sangat dihargai dari kehidupan sehari-hari di penjara, baik oleh sipir maupun para pesakitan. Tetapi, kunjungan pada 4 April lalu, ada yang berbeda. Hari itu, secara khusus lapas penuh kegembiraan, kejutan, sampai air mata—setelah para tahanan menyaksikan pakaian rancangan mereka dipamerkan di runway dalam acara peragaan busana dalam penjara.
Peragaan busana di Adriano Marrey itu adalah pembuka untuk edisi ke-45 São Paulo Fashion Week (SPFW), yang dimulai pada 21 April kemarin. Untuk pertama kalinya, peragaan busana paling elit di Negeri Samba menampilkan pakaian yang dibuat oleh narapidana Lapas Adriano Marrey di bawah bimbingan Silvestre.
Videos by VICE
Pelajaran merenda itu dimulai pada 2015, atas persetujuan Igor Rocha, direktur program pendidikan di Lapas Adriano Marrey. Rocha sudah bekerja di berbagai penjara Brasil selama lebih dari 20 tahun. Dia suka dengan ide pelatihan tak biasa untuk tahanan.
Mulai dari memperkenalkan kelas teater dan berbagai lokakarya unik lainnya untuk tahanan. Karena merajut dan menjahit adalah kegiatan-kegiatan khas di banyak rutan di Brasil, wajar saja jika penjara mengadakan sebuah lokakarya bagi para narapidana yang menikmati kegiatan tersebut.
Silvestre menerima tantangan untuk mengajarkan kursus lanjutan kepada empat narapidana yang sudah tahu cara menjahit, sekaligus mengajar tujuh tahanan lain yang belum pernah menyentuh jarum jahit. Dalam tiga tahun terakhir, menurut sang perancang, lebih dari 100 narapidana telah mengikuti lokakaryanya.
Sedikit demi sedikit, murid-muridnya dalam penjara sukses membuat topi, kimono, mantel, dan boneka beruang. Napi lainnya membuat potongan-potongan besar, tas, dan gaun pantai. Rancangan-rancangan ini menggabungkan tren mode masa kini dan kesukaan pribadi para napi.
Felipe Lopes, 26 tahun, baru meletakkan benang dan jarumnya ketika peragaan busana dimulai. Dia sudah luwes menjahit, tetapi dia menurutnya kelas Silvestre membantu meningkatkan keterampilan merajutnya.
Dia mengatakan karpet, handuk mandi, dan handuk dapur adalah barang-barang favoritnya untuk dijahit. Kelak, Felipe ingin menciptakan merek busananya sendiri, dan menjadikan saudara dan teman-temannya sebagai model untuk produk-produknya. Lopes, yang menjalani hukuman penjara mulai 2014, mencatat bahwa keluarganya sangat bangga padanya, meskipun ia ingat omelan ibunya ketika tahu anaknya sekarang bisa merancang busana. “Kamu tuh masak harus dipenjara dulu baru mau merajut.”
Rodrigo Domingues, napi lain yang juga anggota kolektif hip-hop Brasil, Original Rap, mengklaim masyarakat Brasil masih melihat penjara sebagai tempat yang “rendah dan [jalan buntu].” Pria berusia 33 tahun itu bermaksud mengubah persepsi ini dengan menggunakan kerajinan, mengembangkan desainnya lebih lanjut, dan terus menjahit ketika nanti hidup di luar penjara.
Simak video rekan-rekan VICE Brasil yang merekam jalannya peragaan busana di lapas khusus lelaki tersebut:
Rocha ingin mematahkan stereotipe kalau laki-laki tidak bisa menjahit ataupun merajut. Setelah menyadari bahwa banyak narapidana laki-laki yang terampil menjahit, dia dan Silvestre menemukan ide untuk lokakarya yang dipimpin Silvestre. Seiring para napi yang ikut kursus percaya diri dengan hasil busana rancangan mereka, Rocha bertanya kepada Silvestre apakah mereka sebaiknya mengadakan peragaan busana.
“Yuk, kita bikin peragaan busana para napi.” – Igor Rocha.
Rocha percaya busana adalah contoh yang baik dari potensi kreatif yang ada di balik tembok-tembok penjara. Dia pun yakin para napi merasa lokakarya ini memberdayakan mereka. Dia mengatakan peragaan busana adalah cara baik memberi harapan untuk tahanan, menginspirasi mereka untuk percaya bahwa—meskipun mereka pernah melakukan kejahatan—mereka akan kembali ke masyarakat dengan keterampilan baru dan harga diri.
Ketika Lopes melihat gaun panjang dengan punggung terbuka yang dirancangnya diperagakan di panggung, dia mengaku tidak bisa berkata-kata. “[Itu] tak terlukiskan,” kenangnya.
Silvestre memastikan semua muridnya hadir untuk menerima tepuk tangan dari penonton mereka. “Ketika peragaan busana ini benar-benar terwujud, saya sudah benar-benar emosional. Saya harus menahan diri untuk tidak menangis,” katanya. “Kemudian, kekuatan tak terduga ini datang. Saya menghapus air mata sehingga saya bisa tetap kuat dan mendukung orang-orang ini, karena mereka semua juga sangat emosional. Itu semua sangat menyentuh. Saya tidak benar-benar tahu bagaimana menggambarkannya.”
“Apa yang kami lakukan di sini adalah seni padat karya, dan itu berharga,” kata sang perancang. Dia merasa Projeto Ponto Firme sebagai sarana untuk membawa perspektif baru dan cakrawala yang lebih luas kepada murid-muridnya. “Ini membuka pintu untuk kemungkinan-kemungkinan baru dan harapan bagi mereka.”
Bagi Silvestre, Projecto Ponto Firme dapat berkembang karena lembaga pemasyarakatan dan Balai Kota Guarulhos bersedia berkolaborasi, membuka kemungkinan pelatihan yang tak biasa. Dia ingin kegiatan macam ini direplikasi, karena terbukti dapat membantu mempromosikan dan membuka lapangan kerja bagi para tahanan. Tak hanya itu, menjahit dan merancang busana terbukti memberi mereka kesempatan kedua untuk kembali ke masyarakat.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Brasil