Temanku habis putus beberapa minggu lalu. Pacarnya enggak bisa berhenti memikirkan hubungan mereka selama lockdown, dan akhirnya memutuskan untuk sendirian dulu. Dia meneleponku sambil nangis kejer. Katanya mau dugem untuk melupakan mantan. Tapi lockdown memaksanya mengurung diri di kamar. Dia cuma bisa bengong memandangi tembok. Enggak ada yang menenangkannya secara langsung.
Kasus perceraian meningkat secara signifikan selama pandemi COVID-19. Terlalu lama sendirian atau menghabiskan waktu bersama di rumah dapat menciptakan ketegangan, yang kemudian diperparah oleh stres dan kecemasan terkait pandemi.
Videos by VICE
Pertanyaannya, bagaimana kalian bisa mengobati patah hati jika terjebak di dalam rumah? Seperti apa rasanya menghadapi ini sendirian tanpa ada teman yang memelukmu?
Empat anak muda bercerita kepada VICE pengalaman putus cinta di tengah pandemi corona.
MUUS, 19 TAHUN
Ini pertama kalinya aku patah hati, dan rasanya enggak enak banget. Kami putus setelah tiga tahun pacaran. Waktu diputusin, aku masih bisa ketemu teman-teman karena kasus corona belum terlalu parah di sini. Aku baru merasakan betapa enggak enaknya diputusin setelah lockdown. Aku cuma mau minum-minum sama teman, atau makan es krim sambil nangis. Tapi kenyataannya, aku sudah berminggu-minggu menyendiri di kamar. Semuanya terasa sangat sulit, karena kami sering menghabiskan waktu bersama di tempat ini. Aku selalu keingatan mantan.
Kami sempat ngobrol di telepon setelah putus. Katanya dia juga kesulitan mengakhiri hubungan di situasi seperti ini. Aku merasa lebih baik mendengarnya. Itu berarti dia enggak bisa langsung cari cewek lain. Tapi masalahnya, hal itu juga berlaku padaku. Aku sering merasa sedih karena enggak bisa keluar rumah. Aku bakalan senang banget kalau bisa melewati masa karantina bersamanya. Aku kepengin cepat-cepat move on, tapi waktu seakan berhenti. Aku khawatir sakit hatiku baru bisa diobati setelah dunia kembali normal.
MATTY, 27 TAHUN
Aku tetap menjenguk ayah akhir Maret lalu, meski sudah dilarang sama pacar. Dia bekerja di rumah sakit dan khawatir aku menularkan virus kepadanya, atau dia menularkannya ke orang lain. Kami seharusnya menghabiskan akhir pekan bersama setelah aku menjenguk ayah. Tapi dia minta untuk menunggu lima hari dan memastikan enggak menunjukkan gejala sama sekali.
Beberapa hari kemudian, dia bilang enggak bisa meneruskan hubungan kami lewat telepon. Ini bukan waktu yang tepat buat pacaran, karena dia sangat tertekan memikirkan COVID-19. Aku sangat hancur mendengarnya. Aku enggak bisa berhenti berpikir bagaimana jadinya kalau aku enggak menjenguk ayah waktu itu. Mungkin kami masih pacaran sekarang.
Aku enggak mau menghabiskan waktu sendirian, makanya aku minta teman-temanku untuk tinggal serumah selama karantina. Ini sangat membantuku. Kalau kondisinya normal, aku mungkin sibuk ngepoin Instagram-nya. Aku untungnya bisa menyibukkan diri main skateboard, gitaran dan baca buku bareng teman-teman. Tapi tetap saja, sedih rasanya enggak bisa keluar rumah buat nge-gym atau nongkrong di bar. Kami berhenti ngobrol sejak putus. Aku penasaran bagaimana kabar dia dan keluarganya sekarang.
HENRIETTE, 21 TAHUN
Aku merasa beruntung punya pacar saat social distancing mulai dipraktikkan. Aku kira enggak akan kesepian. Eh, cowokku malah minta putus. Aku mengajak teman ketemuan. Kami minum wine bareng, dan dia menenangkanku yang lagi sedih. Ibuku bilang mantan minta putus karena dia sedang tertekan. Corona sangat memukul industri tempatnya bekerja. Tapi aku rasa kami akan tetap putus, tak peduli apa alasannya. Dia memang sudah meragukan hubungan kami, jadi corona bukan penyebabnya. Aku yakin dia cepat minta putus karena punya lebih banyak waktu buat memikirkan ini.
Aku awalnya marah besar. Kenapa minta putusnya enggak setelah pandemi berakhir saja? Tapi aku langsung menyadari dia akan berpura-pura jika hubungan kami diteruskan. Aku menghabiskan akhir pekan pertama tiduran di hammock. Kerjaanku cuma nangis sambil baca puisi. Di satu sisi, putus di tengah pandemi itu menyebalkan. Aku merasa sangat kesepian. Tapi di sisi lain, aku punya banyak waktu untuk mengatasi kesedihanku. Aku enggak bisa keluar rumah dan mengalihkan pikiran. Aku terpaksa belajar melewati patah hatiku.
BJARNE, 22 TAHUN
Pacarku minta putus belum lama ini. Aku tinggal di Belgia utara, sedangkan dia tinggal di selatan. Sebelum putus, kami sudah dua bulan enggak ketemu karena lockdown. Rasanya sulit banget. Suatu hari, dia tiba-tiba mutusin aku saat FaceTime-an. Aku kaget mendengarnya. Dia bilang ini enggak ada hubungannya dengan corona, tapi aku enggak percaya sama omongannya.
Kami sudah 1,5 tahun pacaran. Hubungan kami baik-baik saja ketika terakhir kali bertemu. Aku pikir kelamaan LDR bikin perasaannya memudar, dan menurutnya sekarang waktu yang tepat untuk putus. Situasi saat ini sudah cukup buruk. Kita cuma bisa di rumah saja setiap hari. Aku harus mengalami patah hati di rumah. Rasanya sakit banget karena enggak bisa berpisah dengan benar.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands