Percaya deh, aku paham gimana enggak enaknya kecewa karena gagal mewujudkan resolusi tahun baru. Sudah berulang kali terjadi padaku sendiri.
Awal 2017, aku tergerak bikin resolusi yang intinya mendeklarasikan tekadku melakukan salah satutarget paling populer dalam daftar resolusi tahun baru: olahraga lebih sering dan menurunkan berat badan. Saat itu, aku terkena “hasutan” salah satu temanku yang gym rat banget. Meski aku bukan orang yang gampang merasa minder soal bentuk tubuh, aku paham berat badanku emang tak benar-benar bisa dibilang ideal.
Videos by VICE
Itu bukan percobaan pertamaku buat olahraga rutin dan menurunkan berat badan. Sebelumnya aku pernah membuat resolusi serupa, namun semua berujung kegagalan. Aku kembali mencanangkan target itu pada 2017, di tahun keduaku kuliah. Aku sempat berkomitmen agar serius menepati resolusi. Aku bahkan sampai bela-belain beli dua setel tracksuit baru, serta mengunduh berbagai aplikasi kebugaran di ponsel untuk semakin memantapkan niat.
Setiap pagi, aku jogging di sekitar tempat tinggalku selama satu jam, lalu dilanjut setengah jam latihan cardio sederhana. Optimisme yang masih berkobar di awal membuatku bisa menghiraukan semua rasa nyeri dan pegal yang muncul selepas olahraga.
Konsistensi amblas setelah jalan sebulan. Aku kecewa setelah mengetahui ternyata berat badanku berhasil lenyap tak sampai setengah kilogram setelah semua kerja keras tersebut.
Sesudah kelar liburan kuliah, aku mulai menjadikan “kelas pagi” dan “lembur mengerjakan tugas kuliah” sebagai alasan untuk mangkir olahraga. Perlahan, frekuensi olahragaku mulai berkurang hingga kemudian berhenti total. Juni menandai berakhirnya resolusi tahun 2017-ku yang tak sampai berumur enam bulan.
Pada akhirnya, persoalan klise kehilangan motivasi membuatku menjadi bagian dari80 persen orang yang gagal menepati resolusi tahun barunya. Menurut psikolog klinis Joseph Luciani, sebagian besar dari orang-orang itu bahkan sudah menyerah dengan resolusi mereka pada minggu kedua Februari.
Melihat tingginya angka kegagalan umat manusia mencapai resolusi tahun baru membuatku penasaran dengan alasan kenapa resolusi jadi sesuatu yang susah untuk diwujudkan. Dari perspektif psikologi, gagalnya resolusi tahun baru ternyata berkaitan erat dengan false hope syndrome atau keadaan ketika kita memiliki ekspektasi yang enggak realistis mengenai kemampuan kita dalam melakukan perubahan pada diri sendiri.
Menurut psikoterapis Jonathan Alpert, sebagian besar goals yang kita tulis dalam daftar resolusi seringkali muncul cuma karena kita pengen memenuhi ekspektasi sosial. Resolusi menjadi sesuatu yang terasa membebani karena enggak merefleksikan siapa diri kita dan apa yang benar-benar kita inginkan.
Berkaca dari pengalaman sendiri, aku menyadari bahwa resolusi enggak selalu efektif untuk membawa perubahan positif dalam hidup. Sejak saat itu, aku enggak pernah lagi berusaha membuat resolusi.
Aku justru menemukan alternatif lain dari resolusi. Terinspirasi dari gabungan antara konsep to-do list dan bucket list, aku mulai menuliskan daftar anual berisi hal-hal menarik yang ingin dan akan kulakukan di setiap bulan pada tahun itu.
Meski secara teknis esensinya sama dengan resolusi, tapi daftar semacam itu enggak membuat aku merasa tertekan. Enggak ada goals dan target spesifik yang menuntutku untuk mewujudkannya. Aku juga enggak pernah menuliskan kata “harus” di dalam daftarku. Aku sekadar menulis semua bayangan positif tentang berbagai hal menyenangkan yang akan segera aku alami.
Pada 2019, tahun terakhirku kuliah, daftar yang kutulis berisi sejumlah poin yang lumayan beragam. Mulai dari hal-hal kecil seperti jadwal rilis film yang ingin aku tonton, sampai berbagai momen penting yang akan aku jalani di tahun itu.
Daftar semacam ini membantuku lebih fokus pada sisi yang menyenangkan dari suatu hal. Misalnya, tanpa tulisanku itu, aku mungkin cuma bisa mengasosiasikan kata “skripsi” dengan bayangan horor yang selama ini sering kudengar, dan mengabaikan fakta kalau aku sebenarnya bisa berkesempatan lebih banyak nonton film selama proses riset.
Enggak cuma itu. Daftar hal menyenangkan juga membuat aku merasa lebih antusias buat menyambut setiap pengalaman baru. Aku lebih bisa mensyukuri tiap momen asyik yang terjadi dalam hidup, meski itu karena sekadar bisa nonton film yang sudah lama kutunggu atau pergi jalan-jalan bareng teman. Semua bayangan positif itu bikin aku optimis bahwa tahun itu akan berjalan dengan baik, sekaligus membuatku enggak sabar untuk segera menjalaninya.
Diakui atau enggak, slogan klise “YOLO” yang sering bikin kita meringis ngeri itu, sebenarnya menyimpan solusi buat kita para makhluk yang ditakdirkan selalu payah dalam urusan perencanaan masa depan. Jika maknanya direnungi lagi, kita bisa menyadari bahwa hidup yang cuma sekali ini memang terlalu singkat untuk enggak menikmati berbagai pengalaman yang menanti kita.
Daftar yang kubuat itu tak lain adalah caraku di awal tahun untuk mengingat bahwa setiap momen bahagia layak untuk disambut dan dirayakan. Semoga cara yang sama bisa kalian lakukan juga untuk menjalani hidup lebih bahagia, dibanding meratapi target-target yang hanya indah di bayangan, namun realitasnya sulit diwujudkan.