Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.
Ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump merilis proposal anggaran negara awal 2017, para ilmuwan hanya bisa geleng-geleng. Tinggal sedikit saja dana disediakan untuk misi NASA meletakkan pesawat tanpa awak (lander) ke Europa, salah satu dari 67 bulan di orbit Planet Jupiter. Europa merupakan entitas luar angkasa unik, karena diduga memiliki lautan air di bawah kerak es berwarna merah yang menutupi permukaannya. Oleh karena inilah, Europa didapuk sebagai kandidat terbaik yang memiliki alien di tata surya.
Videos by VICE
Untungnya pemotongan anggaran oleh Trump bukan berarti hilangnya seluruh harapan bagi tim eksplorasi Europa. Pekan lalu, NASA dan Badan Luar Angkasa Uni Eropa mengumumkan proposal misi kerjasama untuk meletakkan lander baru di Europa.
Ini adalah kabar gembira bagi mereka-mereka yang bekerja di Stone Aerospace. Lembaga tersebut telah menghabiskan beberapa tahun terakhir mengembangkan ARTEMIS, sebuah kapal selam otonom yang diharapkan menjadi pelopor teknologi guna mengeksplor lautan Europa kelak. Di 2015, ARTEMIS menjalankan uji coba lapangan pertamanya di lautan Antartika dan hasilnya dipresentasikan di pertemuan astrobiologi NASA minggu lalu. Uji coba tersebut dianggap sukses besar.
Kapal selam yang dikembangkan oleh Stone dan menghabiskan jutaan dollar dana NASA tersebut panjangnya hampir 4.2 meter, dengat berat melebihi 1.270 kilo dan mampu menempuh jarak 4.8 kilometer sebelum harus kembali ke titik pengisian. Jelas kapal sebesar ini terlalu berat untuk digunakan dalam misi ke Europa. ARTEMIS diciptakan dari bahan-bahan seadanya dan dimaksudkan untuk menguji sistem navigasi otonom dan sistem pengambilan sampel. Nantinya, kapal yang akan digunakan dalam misi ke Europa akan dibuat secara custom dari bahan dasar yang lebih enteng.
Sistem ARTEMIS didesain berdasarkan lingkungan Europa yang menantang. Berhubung bulan tidak memiliki atmosfir, parasut tidak bisa digunakan untuk mendaratkan sebuah kapal di permukaan. Temperatur di permukaan Europa tidak pernah di atas -162 derajat celcius dan selalu ditutupi oleh kerak es yang tidak jelas kadar ketebalannya (NASA memperkirakan kerak tersebut tebalnya antara 16 hingga 24 kilometer). Sayangnya, kita tidak akan tahu kandungan laut dibawah kerak es tersebut hingga misi Europa Clipper diluncurkan akhir 2020 nanti.
Masalah teknis pertama yang akan dihadapi tim adalah bagaimana caranya menembus lapisan es tebal yang menutupi permukaan bulan. Saat ini Stone tengah mengembangkan cryobot otonom yang dinamakan SPINDLE. Cryobot ini adalah solder besi raksasa bertenaga nuklir yang akan membawa kapal selam dan membuat lubang dalam es menggunakan laser.
Sejauh ini, kecepatan penetrasi maksimum yang dicapai oleh cryobot Stone adalah 21 meter es per jam, namun mencari tahu bagaimana mempenetrasi lapisan es Europa hanyalah setengah dari permasalahan. Mengingat temperatur ultra-dingin di permukaan bulan, lubang hasil bor akan terus membeku kembali selagi SPINDLE berusaha menggali masuk ke dalam kerak. Gelombang elektromagnetik tidak bisa memancar dengan baik di dalam es, dan ini akan menyulitkan pengiriman data yang berharga oleh kapal selam tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, Kristof Richmond, manajer proyek ARTEMIS mengatakan cryobot di Europa akan kemungkinan besar menempatkan beberapa pelampung penerima radio di ekor kapal selagi pengeboran terjadi. Biarpun penerima sinyal radio akan membeku, jarak yang relatif dekat antar penerima akan membiarkan sinyal radio memancar dari satu penerima ke penerima lainnya hingga akhirnya mencapai permukaan bulan, dan dipancarkan ke sebuah satelit dan dikirim ke planet Bumi.
Begitu cryobot mencapai lautan di bawah kerak, sebuah kapal selam otonom akan dikerahkan. Kapal selam tersebut harus bersifat otonom karena adanya waktu jeda antara planet Jupiter dan Bumi (antara 30 menit hingga satu jam) dan sulitnya berkomunikasi dengan kapal yang berada di dalam air. Oleh karena itu, Richmond dan rekan-rekan di Stone tengah mengembangkan sebuah sistem panduan otonom canggih yang akan membuat kapal selam dapat bernavigasi dengan aman di lautan bawah kerak selagi mengambil sampel dari es dan air di sekitarnya.
Karena gelombang radio tidak bisa memancar dengan baik di bawah air, kapal selam otonom di Europa tidak bisa menggunakan komunikasi radio standar atau satelit GPS. Untuk mengatasi masalah ini, tim Stone menggunakan sistem navigasi berbasis giroskop untuk menentukan arah kapal selam dan log kecepatan Doppler untuk mengukur kecepatan relatif kapal terhadap lapisan es. Biarpun sistem navigasi ini bisa digunakan, resiko kesalahan komputer akan semakin bertambah semakin jauh perjalanan dan kemungkinan titik awal perjalanan bisa bergeser sejauh 1 kilometer.
Di titik ini, sistem navigasi kedua ARTEMIS akan dijalankan: sebuah menara akustik di stasiun docking ARTEMIS akan membiarkan kapal bernavigasi sejauh 6-9 meter dari stasiun docking. Kapal selam akan mampu melihat cahaya putih yang tersambung dengan docking station, bahkan dalam situasi gelap gulita laut di bawah es dan menggunakan mesin visi algoritma untuk bernavigasi.
Di titik ini, tim ARTEMIS masih meneliti data dari misi Antartik yang berakhir di Desember 2015. Masih banyak PR yang harus dikerjakan sebelum kapal selam luar angkasa siap digunakan, untungnya masih banyak waktu yang tersedia. Misi pendaratan Europa terakhir berakhir setelah fase awal, jadi biarpun NASA dan European Space Agency melanjutkan misi kerjasama menuju permukaan Europa, kemungkinan besar misi ini tidak akan dilangsungkan sebelum 2020. Richmond berharap teknologi kapal selam akan siap ketika waktunya tiba.
“Kami mencoba mendorong semua perkembangan dan teknologi di level dasar,” kata Richmond. “Setelah mendapatkan semua informasi yang kurang dari misi Europa sebelumnya, kami akan siap.”