Kapolri Masa Depan dalam Cerpen ‘Softie’ Karya Cyntha Hariadi

Cerpen ini tayang sebagai bagian dari ‘Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038‘. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga nasib bahasa di masa mendatang.

Selamat membaca!


“Softie”

Sulit dipercaya. Kutatap serius Kenalan di hadapanku. Kami sudah mengobrol selama hampir tiga jam. Kenalan sangat sopan (pendengar yang baik), selalu tersenyum pada lelucon-leluconku yang janggal (penuh pengertian), ingin tahu tentang pekerjaan dan kehidupan pribadiku (penuh perhatian/tidak egois), memiliki perusahaan perabot yang ia rancang sendiri (artistik & mandiri), dan di waktu senggangnya mengajar taekwondo (atletis & berjiwa guru). Ia belum menikah, tidak merokok, tanpa parfum, memelihara binatang, vegetarian (seksi!). Kami benci Lives You Could’ve Had dan, sama-sama ingin ke Machu Picchu! Terlalu ideal/kebetulan lebih dari satu menimbulkan skeptisisme.

“Apakah kamu pernah ngebunuh orang?”

Matanya yang besar gantian melotot menatapku.

“Pasti, pasti ada sesuatu yang gak bener di kamu.”
“Maksudmu?” Matanya menyipit tanda kesal.

Aku tertawa, meraih tangannya dan mengajaknya pulang karena hari sudah sangat malam. Ia memaklumi selera humorku dengan mengeratkan genggamannya (pemaaf pula).

Videos by VICE

Kami berada di lantai atap sebuah restoran yang berbentuk mercusuar, rekomendasi arsitektur pembangunan karena praktis dan indah di salah satu kota terpadat di dunia. Kotaraja pada tahun 2038 adalah juga salah satu kota teraman sekaligus terpolarisasi yang pernah ada. Aku bukan lagi warga kelas dua di sini. Semua setara namun berlawanan walaupun maunya bergandengan. Kami semua memiliki Kotaraja. Yang nyinyir menyebutnya Kotaratu. Aku bebas melenggang menikmati hidup karena kota ini menyayangiku. Di antara lampu-lampu putih dan kuning yang menerangi jalan, yang paling benderang adalah tiang-tiang bantuan yang bertebaran seperti taburan bintang di bumi memancarkan warna hijau terang, sinar yang memberikan rasa aman. Tiang berkamera yang dirancang khusus untuk menerima laporan tanda bahaya yang tersambung otomatis kepada kantor polisi terdekat. Pada tiang itu terdapat sebuah tombol yang bertuliskan: Kami Mendengar. Ketika tombol ditekan, jutaan lampu tiang di seluruh kota yang berwarna hijau akan berubah menjadi merah, mengerjap, terus mengerjap sampai terjawab. Ada yang iseng memencet, polisi tetap datang dan memidana orang itu. Malam ini, detik ini, tak ada merah yang mengerjap. Malam yang indah.

Sebelum pulang, wajah kami mendekat. Sudah lama aku tidak merasa aku harus mencium lelaki ini karena dia layak dicium dengan segala kesempurnaannya yang hanya berlaku buatku. Aku mulai senyum-senyum tolol sendiri tepat ketika ia membuka mulutnya bukan untuk mencium tapi bertanya.

“Kamu pakai ICU?”

Ujung hidung kami hampir bersentuhan. Matanya tajam mencari sesuatu di mataku. Suaranya yang sebelumnya penuh perhatian dan kehangatan, kini penuh kecurigaan. Gelembung ajaib yang baru saja menyelimutiku betus tiba-tiba. Gantinya rasa takut menjalar pelan.

“Kamu ngomong apaan sih?”
“Aku mau tahu apakah kamu pakai ICU atau tidak.”
“Apa bedanya pakai atau tidak?”
“Kamu percaya atau tidak padaku.”
“Kalau kamu tidak bermaksud buruk, seharusnya aku pakai ICU atau tidak, bukan masalah.”
“Tapi aku tidak ingin memulai hubungan dengan seseorang yang tidak percaya padaku.”
“Hei, ini kencan pertama kita! Bagaimana aku tahu kamu bisa dipercaya atau tidak?”

Tanpa kusadari suaraku meninggi; kusadari, tangannya masih menggenggam tanganku. Pada saat ini, ia mudah saja mendorongku terpental melewati pagar lantai paling puncak restoran mercusuar yang tingginya cuma sepinggang. Tiang-tiang penyelamat di bawah sana tak akan berguna ketika aku mati tergeletak jatuh di bawah. Peringatan: Jangan lagi membuat candaan ‘membunuh’ kepada seseorang yang baru kita kenal, apalagi ketika ia nampak sempurna. Aku harus lebih berhati-hati. Jaga mulut.

Kami aman di luar rumah. Di dalam? ICU adalah lensa kontak yang menyimpan data apa yang disaksikan mata. Sebelum tahun 2038, yang memakan hampir setengah abad ke-21 (2001-2035) Kotaraja menyaksikan pesta kekerasan terhadap perempuan yang menghapus keberadaan mereka. Tentu saja mereka masih bisa berdiri, berlari, bekerja, dan bahkan tersenyum. Namun kami tahu, tubuh ini dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah milik negara, terutama para pembuat kebijakan yang tidak bertubuh perempuan. Kami sebut pesta karena kekerasan apa pun yang kami alami kami penanggungnya. Kamu datang sendiri ke pesta ini, tanggung jawab sendiri dong kalau terjadi sesuatu padamu! Kami semua dilahirkan sudah berada di pesta, yang tuan rumahnya adalah tuan semua. Pesta ini berlanjut puluhan tahun, didukung oleh Kapolri yang mengatakan bahwa perkosaan adalah bukan perkosaan jika yang perempuan menikmatinya. Para pemerkosa dan mereka yang terinsipirasi pun bersorak. Sejak itu kekerasan merajalela karena ada ijinnya. Kami muak pesta. Kami ingin hidup.

Pada awal tahun 2035, aku masih kuliah ketika pindah ke apartemen yang disewakan murah sekali karena tetanggaku adalah seorang vokalis/pemimpin grup musik lintas aliran. Vokalis andal nge-rock, nge-rap, nge-blues dan nyinden. Vokalis adalah pemilik apartemenku. Ketika mengetahui aku mendesain poster untuk mencari tambahan uang, ia memberiku pekerjaan. Begitu tahu bahwa grup musiknya adalah Kudarung (Kucing Dalam Karung) aku terkejut dan bangga. Grup musik kucing-kucingan paling sensasional! Mereka memutuskan untuk tampil kapan dan di mana seenaknya, unggah pengumuman sehari sebelum bahkan beberapa jam sebelumnya, yang datang ribuan, sebagian besar perempuan yang sudah kebal pada kekerasan dan membutuhkan hiburan. Di poster, lagu yang diumumkan adalah lagu populer karangan orang lain, yang dimainkan adalah lagi ciptaan Vokalis sendiri yang hampir selalu bertema distopia. Personil Kadarung pun ganti-ganti kecuali Vokalis. Pada dasarnya aku bebas saja mengarang-ngarang judul lagu di poster namun Vokalis betah nongkrong di apartemenku sambil menulis lagu.

ilustrasi oleh DJali

Suatu malam, Vokalis mengetuk pintuku. Mulutnya berlumuran darah, yang ia tangkup sia-sia dengan kedua tangannya. Tubuhnya berguncang dan kuyup seperti kucing got. Ia mengeluarkan suara aneh. Ia buka mulutnya, tidak ada lagi lidah. Aku tahu ia punya pacar. Mereka sering ribut. Suara Vokalis menggelegar berisi sumpah serapah dalam berbagai bahasa cuma ia sendiri yang tahu. Ia memang lantang. Suara pacarnya kalah keras. Dua gulung tisu dan dua handuk tak cukup untuk menyerap darah yang mengucur. Ketika hendak menarik seprei dari ranjang, mataku tertambat pada dua kotak Softie isi 24 di kolong ranjang. Aku sumpal mulut Vokalis dengan Softie satu per satu. Tanganku yang lain memencet nomer telpon taksi. Menyaksikan Softie menyerap darah dari mulut jauh lebih mengerikan daripada darah dari vagina. Softie rakus akan darah. Seperti kerasukan.

Vokalis dan aku tentu tidak melapor ke kantor polisi karena tahu apa yang akan mereka katakan.

“Lidahmu dipotong pacarmu? Memang kamu ngomong apa ke dia?”

Siapa pun yang mendampingi Vokalis, aku atau ibunya, akan langsung tersudut dan pulang menggobloki diri sendiri mengapa kami masih berharap. Namun ibu Vokalis tetap pergi ke kantor polisi setiap hari, mengangkat dan membanting telpon, berteriak, menangis, meraung dan menyerang anggota polisi sampai tak sanggup lagi datang ke kantor karena hatinya hancur. Ia adalah seorang Kapolres. Ia ingin membunuh Kapolri yang merendahkan pilihan gaya hidup anaknya.

Di apartemen Vokalis, kami berembuk bersama para personil Kudarung yang lama dan baru. Kadarung akan bubar walaupun Vokalis memohon -di atas kertas- mereka untuk mencari vokalis baru. Tak ada Kadarung tanpa Vokalis. Semua sedih. Sebelum semua beranjak pulang, Vokalis menahan mereka, lari ke kamar mandi dan keluar mengacung-ngacungkan Softie yang jelas baru ia ambil dari tong sampah. Kami semua mundur. Matanya menyala seperti kalau ia baru mendapatkan ide sebuah lagu. Ia mulai menulis kilat di buku lagunya: Jadikan ibuku Kapolri. Hanya perempuan yang memegang kekuasaan tertinggi yang bisa menghentikan pesta kekerasan ini. Revolusi Softie adalah konsekuensi dari keputusasaan, jalan buntu, yang bermutasi menjadi kegilaan tak terelakkan dalam bentuk perlawanan. Kami tak lagi keberatan dengan keberadaan Softie merah amis di atas meja. Kami tersulut. Saatnya membubarkan pesta.

Satu perempuan membuang Softie bekas ke kantor polisi terdekat setelah jam tutup. Kemudian dua, tiga, sepuluh, seratus, tiga ratus, seribu, sepuluh ribu, sampai jutaan kotoran perempuan memenuhi kantor polisi di seluruh kota, setiap malam sampai subuh. Awal bulan, tengah atau akhir bulan, bahkan setiap hari perempuan yang berbeda-beda bermenstruasi sesuai siklusnya masing-masing. Digerakkan oleh jutaan penggemar Kudarung, tak ada perempuan yang takut atau menolak melakukan ini. Mereka dengan senang hati, tangis bahagia membuang sampah di kantor polisi. Sewaspada-waspadanya polisi menjaga 24 jam, selalu ada jam rokok, ngopi, kencing yang membuat mereka lengah. Polisi-polisi perempuan pun memanfaatkan kesempatan ini untuk membuang sampah sekaligus dendam. Kotoran siapa ini? Lusi? Nurul? Debbie? Pingkan? Polisi tidak bisa menangkap sembarang perempuan atau mereka harus menangkap semua perempuan. Tukang sampah pun emoh mengangkat Softie yang menggunung. Dari bulan September sampai Desember, musim hujan mulai mengguyur dan tumpukan Softie di seluruh kota melembek, hancur, dan bau. Kapolri pun mengeluarkan sebuah pernyataan dalam pertanyaan kepada semua perempuan. “ APA MAUMU, LONTE?”

Kapolres dilantik menjadi Kapolri pertama perempuan pada tahun 2036 melalui jalan berdarah. Tanpa jalan itu, sebelumnya dibutuhkan waktu lebih dari 60 tahun untuk perempuan pertama menjadi Kapolda di tahun 2008. Tubuh-tubuh perempuan hanya menjadi fantasi kalau yang paling berkuasa untuk melindunginya tidak pernah merasakan berada dalam tubuh tersebut.

Softie 2035. Stiker, kaos, poster, kancing semat, gelas bertuliskan itu laku keras. Aku perancangnya. Vokalis meninggal dua tahun setelah revolusi karena infeksi tenggorokan. Kini Kotaraja di tahun 2038, tiga tahun setelah revolusi, menjadi kota teraman sejagat raya. Kapolri mengabdikan seluruh hidupnya untuk melindungi perempuan dan menegakkan pidana bagi semua. ICU adalah investasi terbesar kepolisian dalam ilmu dan teknologi bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan lokal dan luar negeri. Harum nama Kapolri ke segala penjuru negeri. Dijunjung dan dituding karena mempolarisasi gender dan menimbulkan kecurigaan antara keduanya, ia anggap sebagai risiko dari pekerjaannya.

Kenalan tidak jadi Pacar. Kemungkinan dia agresif/posesif/berkepribadian ganda bermunculan. Sebetulnya sudah lama aku tidak memakai ICU. Kini para pelaku kekerasan sudah gentar, mereka juga tidak ada bisa membedakan mata yang memakai ICU atau tidak. Dan tidak ada yang cukup tolol untuk mencoba menyolok dan mencoba mengeluarkannya dari mataku, bukan?