Niyem dan Ronasih punya banyak kesamaan, kendati mereka terpisah ratusan kilometer dan tidak pernah saling mengenal ataupun bertemu. Mereka sama-sama dijemput militer ketika masih 13 tahun, keduanya dianggap cantik pada masanya, dan akhirnya diperkosa tentara pendudukan Jepang di Indonesia.
Ronasih tinggal di Serang, Banten, sementara Niyem di Jawa Tengah. Pengalaman pahit diperkosa menjelang berakhirnya Perang Dunia II dalam kedok ‘perempuan penghibur’—biasa dijuluki Jugun Ianfu—terus menorehkan luka di hati keduanya. “Ibu sudah menganggap saya mati,” kata Niyem dalam film dokumenter Omdat wij mooi waren karya jurnalis Belanda Hilde Janssen dan fotografer Jan Banning yang amat lengkap mengulas bukti perbudakan seksual keji militer Jepang di Indonesia. Keduanya juga menggelar pameran foto korban jugun ianfu asal Indonesia pada 2010.
Videos by VICE
Tentara Jepang menjemput ratusan perempuan muda di Tanah Air, termasuk Ronasih dan Niyem, naik truk menuju bangunan besar di kota tempat tinggal masing-masing—biasanya bekas rumah sakit ataupun barak militer—yang diubah menjadi lokasi pelacuran. Dalam bangunan yang disebut warga sekitaran Serang sebagai Rumah Panjang, Ronasih diperkosa berulang kali. Hanya ada waktu istirahat sejenak, sebelum rutinitas pemerkosaan berulang. “Setiap pagi dibagi, satu perempuan [diperkosa] empat laki-laki. Gitu aja terus tiap hari.”
Jugun Ianfu mengalami depresi akibat kekerasan seksual tersebut. Tapi mereka tidak bisa melawan. “Tutup mata saja lah. Kalau sudah ingat masa itu, saya tidak bisa tidur satu malam. Dulu juga saya cuma duduk, merokok. Mau ke mana,” kata Ronasih. “Kalau ditanya pekerjaannya apa [di tangsi Jepang] bilang masak, cuci. Jadi orang tua pun tidak terlalu sedih, biarlah kesedihan itu sama kita saja.”
Tonton dokumenter VICE menyorot kisah heroik para mama dari Timor NTT yang bertato demi melawan perbudakan seksual militer Jepang:
Otoritas pendudukan Jepang menuntut setiap kepala desa di berbagai wilayah Pulau Jawa menyetor ratusan orang demi kepentingan bela negara. Lelaki dewasa dan manula akan diminta menjadi budak pembangunan atau romusha. Anak muda dipaksa masuk paramiliter Heiho, sementara perempuan muda, seingat Niyem, diminta jadi penghibur walau istilahnya tak disebut ianfu, melainkan “perjuangan nasib anak-anak yang tidak sekolah.”
Ketika akhirnya pendudukan Jepang berakhir pada 1945, penderitaan mereka tidak sepenuhnya selesai. Penduduk lain menuding mereka perempuan pelacur yang ingin hidup senang sebagai antek Jepang. “Ketemu kita saja orang ngeludah, ‘cuih. Biar cantik bekasnya Jepang,’” kata Niyem mengenang masa-masa itu.
Perempuan yang bernasib seperti Niyem dan Ronasih tak sedikit. Mereka tersebar di berbagai negara Asia. Salah satu lembaga yang telaten mencatat tragedi ini adalah Asian Women Fund, bentukan Pemerintah Jepang dalam rangka menangani kasus para penyintas “ianfu” di beberapa negara. Tidak ada angka pasti jumlah korban dan penyintasnya. Akademisi Yoshiaki Yoshimi meneliti sedikitnya 50 ribu hingga 200 ribu perempuan ditempatkan paksa di bordil militer. Data lain dimuat Asian Women’s Fund menyatakan korbannya kurang dari 20 ribu orang. Sementara sejarawan Cina, Hua Lun, menyebut jumlah korban berkisar antara 360 ribu hingga 410 ribu perempuan.
Sebutan “ianfu” sendiri ditujukan pada mereka yang dipaksa melayani nafsu seks tentara di masa penjajahan Jepang pada Perang Dunia Kedua. Para perempuan tersebut berasal dari berbagai negara di Asia. Sebagian lainnya adalah perempuan berdarah Eropa di berbagai koloni yang ganti dikuasai Jepang.
Jepang memberi beberapa dalih pendirian pangkalan “ianfu”. Salah satunya, Kekaisaran Jepang kala itu berharap bisa mencegah kekejaman yang amat kasat mata seperti yang terjadi dalam Perkosaan Nanking, atau jika kekejaman tersebut masih terjadi, setidaknya bisa tak tercium oleh pers internasional. Hal itu diharap mampu meredam sentimen anti-Jepang di wilayah yang pernah menjadi diduduki paksa tentara kekaisaran matahari terbit ini.
Ratusan perempuan di Korea Selatan dan Cina lantas menuntut pemerintah Jepang melayangkan permintaan maaf formal. Selain itu, penyintas menuntut ganti atas kondisi kesehatan fisik dan mental yang ditimbulkan dari perbudakan seksual di wilayah-wilayah koloni Jepang selama Perang Dunia II, termasuk Indonesia. Sayangnya, di Tanah Air, kasus ini justru hendak dikubur dari ingatan sejarah.
VICE menghubungi Winarta, Direktur Independent Legal Aid Institute (ILAI), yang pada 1995 pernah melakukan advokasi bagi penyintas ianfu di Yogyakarta. Winarta, saat itu masih bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, mendampingi, memverifikasi data dan mengumpulkan keterangan para penyintas. Ia bilang penyintas Ianfu punya keinginan pada saat itu menggugat pemerintah Jepang agar membayar kompensasi Rp9 miliar. Gugatan itu urung dilakukan akibat kurangnya dukungan dari pemerintah pusat.
Winarta menyebut penyintas bersama aktivis perempuan di Korea Selatan, Tiongkok, maupun Korea Utara punya posisi tawar lebih, lantaran pemerintah masing-masing tegas memposisikan Ianfu sebagai korban pelanggaran HAM berat. Alhasil negosiasi dan daya tawar yang dimiliki negara-negara tersebut relatif lebih kuat daripada Indonesia yang malah tidak mengakui kasus jugun ianfu terjadi pada warga negaranya sendiri.
“Pemerintah Indonesia yang sejak awal menutup sejarah jugun ianfu itu, ‘indonesia tidak mengakui keberadaan jugun ianfu’ ini. Kita buktikan memang ada survivor ianfu. Kedua, kita buktikan situasi ekonomi politik saat Orde Baru itu, kita memang sangat tergantung hubungan ekonominya dengan Jepang,” ujar Winarta kepada VICE. “Nampaknya Indonesia tidak bisa selalu memposisikan diri ‘menjaga martabatnya’. Menjaga hubungan dengan Jepang itu jauh lebih utama daripada menyelesaikan kasus jugun ianfu yang ditakutkan akan merusak hubungan bilateral.”
Sebelum mencuat pada awal dekade 90’an, tidak banyak pihak mengetahui kalau ada korban perbudakan seksual militer Jepang berasal dari Asia Tenggara, meskipun memang korban terbanyak berasal dari Korea Selatan dan Tiongkok. Penyintas Ianfu tercatat ada di Myanmar, Thailand, Singapura, Taiwan, Timor Leste, Filipina, dan Indonesia. Beberapa di antaranya adalah orang Belanda yang saat itu tinggal di kawasan Hindia Belanda.
Peipei Qiu, Guru Besar Chinese and Japanese Studies dari Vassar College, New York, Amerika Serikat, mengatakan pada VICE Indonesia bahwa selama puluhan tahun Jepang berupaya meredam isu perbudakan seksual selama Perang Dunia II. Tokyo berkukuh yang dilakukan para “ianfu” adalah prostitusi murni kehendak mereka sendiri. Qiu mengatakan, sejak 1991 total ada 10 gugatan hukum terhadap pemerintah Jepang terkait dengan kasus “ianfu”. Tuntutan tersebut berasal dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Filipina, dan Belanda.
“Setelah isu ini dibawa ke permukaan dan menarik perhatian internasional pada awal 1990-an, banyak pihak mengira bahwa isu ini adalah persoalan diplomatik antara Korea Selatan dan Jepang, banyak yang masih berpikir penyintas “ianfu” hanya berasal dari Korea Selatan,” kata Qiu kepada VICE.
Situasi diplomatik antara Korea Selatan dan Jepang sempat memanas akibat isu Ianfu awal 2017 lalu. Jepang menarik duta besarnya untuk Korea Selatan, lantaran para aktivis Negeri Ginseng meletakkan patung emas yang menjadi simbol ketidakadilan yang diterima perempuan Korea Selatan dalam persoalan ianfu. Secara tegas Korea Selatan menuntut permintaan maaf resmi dan kompensasi dari pemerintah Jepang.
Pada 2015, pemerintah Jepang dan Korea Selatan membuat kesepakatan kontroversial terkait dengan kasus “ianfu”. Pada saat itu Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyampaikan permintaan maafnya dan kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jepang sepakat mengeluarkan USD9 juta sebagai kompensasi pada penyintas perbudakan seksual militer mereka di masa Perang Dunia II. Kesepakatan tersebut mendapat kritik keras dari berbagai pihak lantaran tidak merefleksikan aspirasi para penyintas. Pada November 2018 lalu, Korea Selatan berencan membubarkan yayasan yang dibentuk Jepang dalam menangani kasus “ianfu”. Rencana pembubaran yayasan tersebut diramal kembali memperkeruh hubungan bilateral Jepang dan Korea Selatan.
Qiu menjabarkan beberapa kritik seputar kesepakatan tersebut, seperti Jepang masih menolak tanggung jawab legalnya dan tidak mengakui para perempuan tersebut direkrut secara paksa; kesepakatan yang dicapai tanpa ada konsultasi yang melibatkan korban; pemerintah Jepang yang tidak melibatkan negara lain yang juga warga negaranya menjadi korban; dan alasan di balik kesepatan tersebut sesungguhnya agar Korea Selatan tak lagi memasang patung simbol perbudakan seksual Jepang. Hal inilah yang membuat korban dan aktivis gender di Korea Selatan geram. Peipei Qiu menyebut sangat sulit bagi Jepang membuat permintaan maaf secara tulus.
“Ultranasionalisme hingga kini bertahan kuat di Jepang. Pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe saat ini berupaya untuk mengembalikan ‘kehormatan dan martabat’ Jepang dengan mengglorifikasi generasi pada zaman Perang Dunia,” ujar Peipei Qiu. “Kebijakan itu mengindikasikan penolakan permintaan maaf sekaligus upaya untuk menutupi kejahatan kemanusiaan serius di masa lalu.”
Jurnalis sekaligus penulis buku Silenced No More: Voices of Comfort Women, Sylvia Yu Friedman menyebut ganti rugi materiil sekaligus permintaan maaf Jepang bagi para korban perbudakan seksual setidaknya dapat membantu mengurangi beban korban. Aktivis di beberapa negara seperti Korea Selatan, China, dan Korea Utara sejak lama menyuarakan tuntuntan serupa.
Kesamaan sikap ini membuat gerakan di tingkat akar rumput lebih kokoh. Yu menambahkan, Tiongkok dan Taiwan membangun museum untuk mengingatkan generasi muda akan salah satu tragedi perbudakan seksual Jepang terhadap warga mereka, sejarah soal perbudakan seksual tersebut dipelajari secara serius. Adapun di Korea Selatan aktivis berani memasang patung simbol perlawanan perbudakan seksual, sementara generasi mudanya menaruh perhatian pada kasus ini setelah penggemar boyband BTS yang mendonasikan kepeduliannya bagi para penyintas perbudakan seksual di masa Perang Dunia II.
“Sangat wajar jika para korban tidak menuntut dalam mendorong permintaan maaf, mendapatkan permintaan maaf yang tulus adalah hak mereka yang setidaknya bisa meringankan mereka dan yang pada akhirnya akan memulihkan hubungan Jepang dengan Asia Timur lainnya ,” kata Yu. “Saya percaya sikap rasis pemerintah Jepang terhadap orang Asia punya andil besar dalam proses permintaan maaf secara formal ini. Ditambah lagi sikap chauvinistik dan tidak sensitif Jepang terhadap korban perbudakan seks dan perkosaan.”
Di Indonesia, belum ada tanda-tanda luka sejarah perbudakan seksual ini akan terobati. Penyintas Ianfu tak memperoleh dukungan negara—minimal dengan mengakui dan mengajarkan secara massif di sekolah soal Jufun Ianfu. Rata-rata penyintas mengubur penderitaan itu dalam diam hingga ke alam kubur. Mereka hanya bisa menyesal, kenapa Tuhan menganugerahi wajah yang cantik di masa muda dulu.
Emah, penyintas Ianfu asal Cimahi, Jawa Barat, salah satunya. Dulu ia harus rela tiga tahun lamanya dipaksa hidup dalam rumah bordil dan diperkosa bergiliran oleh militer Jepang.
“Seandainya saya dulu jelek,” ujarnya. “Gadis-gadis jelek dipulangkan setelah beberapa hari atau minggu.”