Hanya ada sedikit musisi yang bisa merendah seanggun dan semenyenangkan Pete Shelley. Sudah begitu, mantan frontman Buzzcocks ini dianugrahi kemampuan untuk menulis melodi yang sukar ditandingi, menulis lirik yang cerdas—yang sering kaya akan innuendo tentang seksualitasnya. Pendeknya, Shelley kelewat berbakat secara musikalitas jadi anak punk.
Lantaran punya sensibilitas pop di atas rata-rata, agak pemalu dan pngakuan umum bahwa dirinya adalah anak baik-baik, Shelley seakan jarang disebut dalam satu tarikan nafas bersama dewa-dewa punk macam Johnny Rotten, Iggy Pop dan Joe Ramones (Brengseknya lagi, Buzzcocks sampai saat ini belum juga masuk Rock and Roll Hall of Fame).
Videos by VICE
Hal ini tampaknya dipahami betul oleh mereka yang menulis Obituary bagi kepergian Shelley pada Kamis 6 Desember. Buktinya, mayoritas dari mereka dengan niat menyusuri karir luar biasa Shelley—hingga ke karya solonya di luar Buzzcocks.
“Spiral Scratch” album pendek sekaligus debut Buzzcocks dianggap sebagai tahun nol dalam sejarah musik indie global. Dan, sebagai seorang gitaris dan penulis lagu utama utama pasca hengkangnya Howard Devoto, Shelley menjadi motor di balik keluarnya serangkaian single Buzzcocks yang beredar antara 1977 hingga 1979 (kelak semua single ini dirangkum dalam kompilasi legendaris Singles Going Steady).
Jasa Shelley dalam perkembangan musuk (post) punk juga tak bisa dipandang sebelah mata. Bersama Devoto, Shelly mengorganisasi konser bersejarah di Manchester Free Trade Hall dan memberikan Joy Division salah satu panggung pertama mereka. Kendati begitu, alasan kenapa Shelley harus tercatat dalam sejarah punk global sesungguhnya sangat ironis: dia seorang musisi jenius yang tak disadari banyak orang.
Bagi banyak orang, karir bermusik Shelley bermula sekaligus berakhir di Buzzcocks. Memang proyek solonya agak ditengok penggemar musik tak lama sebelum Buzzcocks bangkit pada 1989 ketika semua personilnya tiba-tiba akur kembali dan sepakat menjalani tur selamanya dengan penuh bahagia. Akan tetapi, menganggap karya-karya terbaik Shelley hanya ada di Buzzzcocks adalah sebuah penyepelean pada kejeniusannya. Saya malah berani bilang karya-karya solo—terutama yang diciptakan pada dekade ‘80an—sama kerennya dengan single-single terbaik Buzzcocks sekalipun. Hanya saja, memang nasib baik emoh dekat-dekat Shelly saat mengarap album-album elektroniknya.
Makanya, menurut saya, semua yang pernah menggemari Buzzcocks dan memuja-muja Pete Shelley patut menyimak solo-solo lelaki bernama lengkap Peter Campbell McNeis sepanjang tahun ‘80an.
Single solo pertama Pete “Homosapien”, langsung melesat menjadi track favorit klub-klub di Inggris saat dilepas pada 1981. Dengan komposisi yang catchy dan terdengar tetap nendang bahkan jika diukur dengan kriteria track elektronik bagus zaman sekarang (patokan lainnya: lagi ini kadang masih nyempil di playlist DJ-DJ klub di Inggris), lagu ini harusnya nongkrong di puncak tangga lagu pop saat itu. Malang, seorang pegawai BBC menyadari lirik nyeleneh lagu itu “homo superior / in my interior.” Imbasnya, lagu itu dilarang diputar di BBC karena muatan liriknya yang sangat vulgar.
Tonton dokumenter VICE menyorot tragedi komunitas punk menyuntik diri sendiri dengan HIV agar bebas dari represi rezim Kuba:
Ukuran lirik vulgar 40 tahun lalu sudah jelas berbeda dengan standar ekplisit saat ini. Yang jelas, Shelley lumayan terang-terangan melela soal orientasi seksualnya lewat lagu ini (barangkali kalian ketinggalan info: Shelley adalah seorang homoseksual) setelah sebelumnya ragu melakukannya lewat single-single Buzzcocks pada akhir tahun ‘70an. ‘Homosapien’ adalah perhormatan Shelley terhadap Bowie dan Gary Numan. Namun, bagian paling penting dari single ini adalah permainan gitar dua belas senar Shelley yang terdengar sayup-sayup di track ini, menjembatani arah baru musik Shelley dan apa yang membesarkan namanya sebelumnya.
Perubahan gaya bermusik ini jelas disambut kekagetan fan-fan Shelley—sebuah reaksi lebay mengingat Shelley sebenarnya sudah bermain-main musik elektronik jauh sebelum itu. Pada 1974, Shelley merekam Sky Yen, album noise eksperimental menarik yang penuh komposisi drone bertenaga. Album sendiri baru diedarkan tujuh tahun kemudian oleh label milik Shelley, Groovy Records.
Dengan demikian, Sky Yen direkam setahun lebih dulu dari album drone Lou Reed, Metal Machine Music. Album drone pertama Shelley sangat berutang pada Tangerine Dream. Memang, Shelley dikenal sebagai penggemar Krautrock dan cinta pertamanya adalah Can. Makanya, tak aneh jika dia menulis liner note album Can yang keluar pada 1978, Cannibalism.
Plot twist-nya, Homosapien tak sekalipun diniatkan sebagai album elektronik.
Sebelum melepas album solo pertamanya tersebut, Shelley mengerjakan sejumlah demo dengan Produser Martin Rushent. Awalnya, demo-demo ini ditujukan sebagai materi album keempat The Buzzcocks. Semua track tersebut direkam dengan perangkat terbaru, Roland MC-8 Microcomposer; cikal bakal sequencer.
Di saat yang sama, Rushent sedang ingin mencoba keluar dari ranah punk. Dia memilih untuk bekerja sama dengan band-band elektronik. Rushent lantas mendirikan Genetic Studios, sebuah lumbung berpendingin ruangan yang dilengkapi dengan sebuah Fairlight, Synclavier, sejumlah synthesizer Roland serta Roland MC-8. Perjudian Rushent membuahkan hasil. Demo-demo yang direkam Shelley sudah cukup matang dirilis, tanpa harus dipoles terlebih dahulu.
Malah, rekaman demo itu menarik perhatian kolektif avant garde asal Sheffield The Human League, yang nantinya akan akan melahirkan album ketiga mereka yang bernuansa pop Dare dengan Rushent sebagai produser. Album tersebut menduduki posisi puncak tangga lagu Inggris dan nomor 3 di tangga Amerika, melahirkan lima hit single termasuk “Don’t You Want Me” yang merajai tangga lagu di AS dan Inggris. Rushent sendiri menggondol penghargaan produser terbaik dalam ajang BRIT award 1982.
Malangnya, album solo Shelley tak bernasib sekeren ini.
Peluncuran album Homosapien tertunda sampai Januari 1982 karena masalah kontrak. Di sisi lain, larangan BBC untuk memutar single Homosapien berarti lagu-lagu keren di album ini hanya akan jadi hits di lantai klub-klub malam namun melempem di tangga laku Inggris. Padahal, album itu penuh dengan inovasi dan hook-hook yang bikin nagih.
“Qu’est-ce Que C’est Que Ça” berisi energi kikuk yang berhamburan ke segala arah; “Guess I Must Have Been In Love With Myself” adalah karya vintage Shelley. Lagu ini nyaris berakhir menjadi lagu standar dengan sentuhan gaya produksi album-album psikedelia. Chorusnya sendiri hampir mirip dengan lagu “You Keep Me Hangin’ On” dan bikin pengacara-pengacara tim penulis lagu Holland–Dozier–Holland gatal mengajukan gugatan. “Yesterday’s Not Here” terdengar seperti duet the Kinks dan Girgio Moroder (liriknya sendiri terasa makin menyesakkan setelah Shelley tak lagi bersama kita). Sementara album ini ditutup waltz elektronik yang elegan “It’s Hard Enough Knowing”.
Album solo Shelley berikutnya, XL1, juga dikerjakan bersama Rushent, punya nasib yang sedikit lebih baik. Single pertamany “Telephone Operator” (yang mirip “Hash Pipe”-nya Weezer) berakhir di bawah top 40. Sekali lagi, album ini adalah testamen bahwa Shelley bisa menulis segala macam jenis lagu, mulai dari “What Was Heaven?” dengan bass berjalan dan ryhthm yang sepintas dicolong oleh Kanye West dalam lagu “Black Skinhead” atau lagu rock standar macam yang langsung digeber macam “(Millions of People) No One Like You”.
Pada 1986, Shelley kembali masuk Studio. Kali di bawah arahan Stephen Hague, yang pernah sukses memproduseri album New Order dan Pet Shop Boys. Kolaborasi keduanya menghasilkan The Heaven dan The Sea, album cemerlang yang dilewatkan pecinta musik begitu saja. Padahal, album ini menjajarkan lagu-lagu keren dari awal sampai akhir: mulai track gagah“Waiting For Love”, lagu empatis “On Your Own”, nomor bagus yang susah dicari tandingannya “They’re Coming For You”, hingga yang lamban dan nyerempet disko “I Surrender”…
Sekalipun Shelley sadar kesuksesan enggan menghampiri proyek-proyek solonya, dia tak lantas gegabah menurunkan kualitasnya. Sayangnya, kendati The Heaven and The Sea adalah album yang paripurna, ini adalah album terakhir Shelley di bawah naungan label besar dan ujung dari karir solo mantan frontman Buzzcocks itu.
Akan tetapi, masih ada satu album eksperimental yang dikerjakan Shelley pada 2002. Kali ini, Shelley merekamnya bersama kawan lamanya Howard Devoto dan merilisnya di bawah moniker ShelleyDevoto. Kerjasama dua pendiri Buzzcocks menghasilkan track keran macam “Can You See Me Shining?”.
Namun permata sesungguhnya album itu adalah track But “Give It To Me,” lagu pemanas lantai dansa sepanjang lima setengah menit yang dikubur oleh Shelley sebagai b-side track “Never Again”. Lagu itu dimulai seperti “Blue Monday” dan berakhir seperti track-track the Rapture di puncak euoforianya.
Pada dekade 1980an, bagian bridge lagu ini diambil menjadi lagi tema Tour de France yang pada waktu itu disiarkan di Channel 4. Bagian itu adalah bagian paling nendang dari lagu itu dengan beat four-to-the-floor, perkusi yang menghentak dan serangkaian delay pedal. Lagi-lagi, orang-orang saat itu tak menyadari bahwa lagu sekeren itu digubah oleh Pete Shelley.
Ah tapi kita bicara tentang Pete Shelley, jenius musik yang biasa merendah. Pasalnya, salah satu kerugian dari keengganan menonjolkan diri adalah kesuksesan—dan pengakuan—jarang mampir ke hidupmu.
Itulah yang terjadi pada Pete Shelley.
Jeremy bisa diajak ngobrol tentang Buzzcocks di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di Noisey UK