Indonesia lagi-lagi menunjukkan reaksi yang tidak tegas dalam merespons tindakan Cina yang memasuki wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna tanpa izin. Laut Natuna berjarak 200 mil laut atau setara 370 kilometer dari garis pantai, membuatnya menjadi bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Sejak 19 Desember 2019, kapal penangkap ikan milik Cina berulang kali melewati perairan di sekitar pulau Natuna. Sesuai dengan perjanjian hukum laut internasional yang disepakati pada 1982, tindakan Cina melanggar kedaulatan Indonesia.
Videos by VICE
Meskipun Indonesia sudah memperingatkan Cina untuk mundur dari perairannya dengan mengerahkan empat kapal perang dan memperkuat armada angkatan udaranya di wilayah sengketa, pemerintah tampaknya memandang remeh masalah ini.
Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, menganggap remeh masalah ini dengan mengatakan bahwa “Cina adalah negara yang bersahabat”. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan juga berucap senada. Ia menyatakan bahwa Indonesia dan Cina seharusnya tidak bertengkar untuk “sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah”.
Ini bukan kali pertama Cina memasuki di wilayah perairan Natuna. Pada 2016 silam, Indonesia juga harus memperkuat sistem pertahanan di sekitar kepulauan tersebut setelah mengetahui armada perikanan dan kapal penjaga pantai Cina memasuki perairan Indonesia. Bahkan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sampai mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang untuk menunjukkan sikap Indonesia.
Dalam rapat tersebut, Jokowi meminta Angkatan Laut Indonesia untuk meningkatkan patroli dan meningkatkan pertahanan militer Indonesia. Meskipun Cina akhirnya memutuskan untuk mundur pada 2016, sebenarnya masalah ini tidak benar-benar selesai.
Indonesia terus meningkatkan sistem pertahanannya, tapi hal tersebut tidak menghalangi Cina untuk terus membuat masalah. Untuk memahaminya, kita perlu melihat budaya strategis militer Indonesia.
Dalam penelitian terbaru yang saya tulis, saya menilai keputusan Indonesia tidak memperkuat kekuatannya secara signifikan atau membangun koalisi untuk melawan kekuatan Cina yang semakin besar meningkat di Laut Cina Selatan didorong oleh budaya militer Indonesia yang fokus pada ancaman domestik.
Sejak akhir tahun 1950-an, militer Indonesia lebih fokus pada yang mereka anggap ancaman asing yang hendak menghancurkan Indonesia dari dalam. Pada 1958, militer berurusan dengan gerakan pemberontak yang disponsori Amerika, bernama PRRI/Permesta, yaitu gerakan pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintah pusat. Lalu, antara tahun 1950 dan 1960 pemerintah menghadapi tantangan politik domestik lainnya, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Puncaknya terjadi pada 30 September 1965 malam hari, ketika enam jenderal panglima militer terbunuh dalam kudeta yang menurut pemerintah didalangi oleh PKI. Militer bereaksi keras dengan membunuh dan memenjarakan ratusan ribu simpatisan dan pendukung PKI.
Sejak saat itu, militer lebih percaya bahwa segala ancaman terhadap Indonesia datang dari dalam lewat kelompok-kelompok internal, bukan invasi militer yang datang dari luar. Buku putih pertahanan Indonesia tahun 2015 memperingatkan adanya konflik internal yang memanas karena adanya dinamika sosial, budaya, primordial, etnis, ras dan agama. Militer percaya hal ini dapat memicu gerakan separatis seperti yang terjadi di Arab dan perang saudara di Irak, Afghanistan, Libya dan Suriah.
Budaya militer inilah yang telah mengubah persepsi Indonesia tentang ancaman. Hal ini menyebabkan Indonesia mengeluarkan lebih banyak anggaran untuk tentara angkatan darat dibandingkan angkatan laut dan udara, meskipun keberadaan angkatan udara dan laut yang kuat akan jauh lebih efektif dalam mencegah ancaman dari negara-negara luar.
Indonesia juga hanya menghabiskan US$7,6 miliar atau sekitar Rp104 triliun untuk anggaran militer pada 2018. Sebaliknya, Cina menghabiskan $239 miliar.
Sejak Indonesia percaya bahwa ancaman terbesar datang dari dalam negeri, stabilitas internal menjadi penting bagi kalangan militer dan pembuat kebijakan. Untuk menjaga stabilitas internal, pemerintah Indonesia percaya bahwa mereka perlu fokus pada pertumbuhan ekonomi agar bisa menghadapi masalah domestik yang dipengaruhi asing.
Pada dekade 1960-an, di bawah pemerintahan Suharto, Indonesia memutuskan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena stabilitas politik dan perkembangan ekonomi dipercaya bisa berjalan beriringan. Meningkatkan ekonomi juga menjadi cara Suharto melegimitasi pemerintahannya yang otoriter. Penerus Suharto, termasuk Jokowi juga menekankan hal serupa.
Cina saat ini adalah salah satu sumber terbesar investasi bagi Indonesia. Pada 2017, nilai investasi Cina di Indonesia mencapai US$5,5 miliar, sedikit di atas Jepang yang berjumlah US$5 miliar. Tidak heran jika Jokowi khawatir jika reaksi Indonesia yang tidak tepat bisa memancing kemarahan Cina yang nantinya bisa menghalangi Indonesia mendapatkan investasi dan akses ke pasar Cina.
Investasi Cina sangat diperlukan untuk menghidupkan ekonomi Indonesia, yang diperkirakan akan tetap lesu tahun depan karena melemahnya ekspor, harga komoditas, dan ketidakpastian ekonomi dunia.
Kepentingan ekonomi Indonesia di Cina menjelaskan mengapa reaksi agresif Jokowi terhadap Cina dalam sengketa laut Natuna 2016 hanya bersifat sementara. Dengan begitu banyaknya masalah dalam negeri, kebijakan luar negeri yang menantang Cina bukan menjadi pilihan yang tepat bagi pemerintah Indonesia.
Indonesia harus tetap mendorong solusi diplomatik yang damai untuk perselisihannya dengan Cina di Laut Natuna ini. Salah satu caranya adalah dengan membawa negara lain masuk dalam konflik ini, seperti yang sedang dilakukan Jokowi dengan mengajak Jepang untuk berinvestasi di Laut Natuna. Hal tersebut akan memaksa Cina untuk memikirkan kembali strateginya.
Sebenarnya, ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk mulai memikirkan kembali doktrin militernya dan meningkatkan kekuatan angkatan laut dan udaranya, mengingat meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan.
Tentu saja, hal tersebut merupakan keputusan yang berisiko dan mahal secara politik. Ini juga dapat menyebabkan gangguan domestik karena perubahan struktur militer dan bisa saja mengundang reaksi dari kelompok oposisi.
Tapi mengingat ancaman internasional yang mungkin timbul pada masa depan, Indonesia dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara perlu memikirkan kembali sikap mereka terhadap Cina.
Yohanes Sulaiman adalah Dosen sekaligus pengamat politik di Universitas Jendral Achmad Yani
Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.