Prajurit Relawan dari Barat Terus Datang ke Suriah, Berperang Melawan ISIS

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Prajurit Relawan dari Barat Terus Datang ke Suriah, Berperang Melawan ISIS

Warga AS, Kanada, Inggris, atau negara Uni Eropa lain datang ke zona konflik membantu pasukan Kurdi. Ada dua golongan besar relawan. Mereka tak takut mati.

Artikel ini tayang di VICE News.

Belum lama ini, seorang warga negara Inggris dan satu warga negara Kanada tewas saat bertempur melawan militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Mereka adalah korban jiwa kesekian dari deretan sukarelawan asal Negara-Negara Barat yang membantu prajurit Kurdi dalam konflik paling rumit di Timur Tengah.

Prajurit sukarela yang terbunuh itu adalah Ryan Lock, koki 20 tahun asal Chichester, Inggris, serta Nazzareno Tassone, petugas parkir 24 tahun dari Edmonton, Kanada. Keduanya tewas saat tembak-menembak dengan militan ISIS pada 21 Desember lalu di utara Kota Raqqa, Suriah, yang menjadi markas para militan khilafah. Kematian keduanya sudah dikonfirmasi oleh keluarga dan Angkatan Bersenjata Bangsa Kurdi (YPG).

Iklan

Lock menjadi warga negara Inggris ketiga yang telah tewas dalam pertempuran melawan ISIS dalam dua tahun terakhir. Dia, bersama ratusan orang Inggris lainnya, sukarela datang ke Suriah membantu para warga etnis Kurdi menyerang balik ISIS.

Latar belakang para prajurit sukarelawan ini bermacam-macam. Seandainya harus ditarik benang merahnya, akan ada dua kategori utama. Keterangan ini kami dapat dari Macer Gifford (bukan nama asli), orang Inggris lain yang ikut berperang membantu warga Kurdi melawan ISIS. Kepada VICE News, Gifford menyatakan golongan sukarelawan terbanyak adalah orang-orang Barat idealis. Mereka tergerak hatinya ikut melawan ISIS, setelah melihat orang-orang Kurdi, Yazidi, serta Arab pemeluk Kristen disiksa, ditindas, bahkan dieksekusi mati oleh militan khilafah. Gifford, yang punya latar belakang pendidikan militer, mengaku masuk kategori pertama.

Sementara kategori kedua adalah mantan tentara yang pernah berperang di Timur Tengah atau Afghanistan. Mereka tidak bisa berdiam diri melihat ISIS bercokol di Irak dan Suriah, setelah pasukan internasional ditarik pelan-pelan 10 tahun terakhir. Mereka gerah menyaksikan pemerintahan Barat seperti AS, Inggris, atau Prancis tidak kunjung mengirim pasukan darat ke wilayah dikuasai ISIS.

Tentu saja tetap ada jenis manusia lain yang tiba-tiba ikut berperang di Suriah, meninggalkan rumah mereka yang nyaman di negara-negara Barat. Gifford menyatakan sebagian prajurit sukarelawan yang dia temui punya sifat eksentrik, ada yang gila perang.  Sebagian ingin meraih kejayaan pribadi. Ada juga yang sengaja datang ke wilayah konflik untuk lari dari masalah di negara asalnya.

Iklan

Tak Punya Latar Belakang Pendidikan Militer

Berdasarkan laporan media massa Inggris, Lock tidak punya latar belakang pendidikan militer sebelum berangkat ke Suriah. Dia pergi tahun lalu, pamit kepada keluarga hendak pelesir ke Turki. Tahu-tahu Lock sudah bergabung dengan pasukan YPG Kurdi. Lock telah mendapat nama baru Kurdi sebagai Berxwedan Givara. Ayah Lock menyatakan mendiang anaknya itu sangat lembut hatinya. "Dia penyayang dan selalu bersedia menolong siapapun," ujarnya.

Pernyataan tertulis dan akun Twiter YPG menyatakan warga Inggris serta Kanada yang tewas akhir tahun lalu menjadi martir bagi warga Kurdi. "Mereka adalah inspirasi bagi perjuangan kami. Semua orang Kurdi akan mengenang kepahlawanan mereka selamanya."

Gifford mengaku belum pernah bertemu langsung Lock selama berada di utara Suriah dua tahun terakhir. Tapi dia memang tahu ada orang Inggris dengan nama itu. Gifford sempat berupaya menghubungi Lock pada 24 November lalu, untuk menanyakan kondisinya. Saat itu pesawat tempur Turki menggempur markas pejuang Kurdi. Akibat serangan udara ini, dua prajurit relawan asing, Michael Israel (AS) dan Anton Leschek (Jerman) tewas.

Militer Turki tidak cuma menyerang ISIS, namun juga para pejuang Kurdi. Turki khawatir jika perang ini berakhir, dan etnis Kurdi di Suriah memperoleh wilayah setelah mengalahkan ISIS, maka keturunan Kurdi di negara mereka terkonsolidasi menuntut kemerdekaan. Banyak warga etnis Kurdi tinggal di selatan Turki dan dituding sebagai separatis.

Iklan

Terpanggil Usai Menyaksikan kekejaman ISIS

Seperti banyak relawan lainnya, Gifford termotivasi ikut berperang di Suriah, karena melihat berita mengenai upaya genosida ISIS terhadap kaum Yazidi, minoritas agama Kurdi yang dianiaya.

Gifford memiliki dua tugas di Suriah—yang pertama adalah ikut pertempuran darat bersama YPG selama enam bulan, disusul misi berikutnya selama delapan bulan—dan saat ini menggalang dana demi mendanai pengadaan peralatan medis. Dia memperkirakan ada 200 orang Barat lainnya bergabung dengan pasukan Kurdi—meski angka tepatnya sulit diperkirakan. Banyak relawan berupaya bergabung tanpa menarik perhatian aparat berwenang di negara masing-masing.

Relawan Barat biasanya langsung menghubungi YPG, yang secara aktif merekrut orang Barat, melalui media sosial seperti di laman Facebook Rojava. Setelah disaring berdasarkan motivasi masing-masing, yang terpilih akan segera bergabung YPG. Prajurit sukarelawan asing itu akan diarahkan terbang ke wilayah utara Irak, wilayah Pemerintah Semi-Otonom Kurdistan. Setelah melalui pelatihan dasar, mereka baru diselundupkan ke perbatasan menuju Suriah.

Relawan harus menjalani proses pelatihan di mana mereka dilatih menggunakan senjata buatan Rusia, diajari berbahasa Kurdis, dan mendapat materi latar belakang ideologis dan historis perlawanan Bangsa Kurdi di Timur Tengah. Setelah itu, mereka dibagi dalam beberapa unit, dengan tak lebih dari lima warga asing dalam tiap unitnya.

Iklan

Relawan Penuh Marabahaya

Meski banyak relawan tidak memiliki pengalaman militer, Gifford menyatakan pasukan asing ini langsung ditempatkan di garis depan pertempuran. "Semua orang, orang asli Kurdi maupun pasukan asing bertempur sama kerasnya," ungkapnya. Warga asing hanya sebagian kecil dari pasukan yang terdiri dari 50.000 orang yang memperkuat satuan YPG. Walau begitu, kehadiran orang asing membela perjuangan Bangsa Kurdi, melawan Turki maupun ISIS, sangat simbolis.

Gifford merasa telah menyadari adanya perubahan dari pasukan relawan mancanegara selama bertahan di Suriah. Dulu kebanyakan yang datang lebih menyerupai turis mencari pengalaman menjadi tentara asing. Mereka biasanya dari negara-negara berbahasa Inggris. Kini, yang lebih banyak datang adalah anak-anak muda sayap kiri yang sangat politis—terutama para relawan dari Jerman yang setahun terakhir banyak sekali masuk ke Suriah membantu Pasukan Kurdi.

Orang-orang dari Barat yang ikut bertempur ini sering menjadi sasaran khusus ISIS. Selain risiko standar mati di medan perang, pasukan relawan ini menghadapi konsekuensi berat ketika pulang ke negara masing-masing. Kemungkinan besar mereka akan ditahan oleh pihak imigrasi, atau malah dituntut pasal-pasal pidana berat jika mereka diduga melakukan tindak kriminal selama bertempur di luar negeri.

Bagi Gifford dan relawan lainnya, risiko itu tak seberapa, dibandingkan kepuasan yang mereka rasakan karena telah membuat perbedaan nyata di Timur Tengah.

"Bangsa Kurdi mengagumi warga asing, karena mereka berabad-abad merasa berada di antara musuh selama hidup di Timur Tengah," kata Gifford. "Warga asing yang rela datang dan ikut bertempur karena percaya pada cita-cita Bangsa Kurdi, diperlakukan seperti pahlawan."