Siap-siap, sepekan terakhir sebagian penduduk Indonesia harus mengalami sesak napas berat: musim kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan telah datang. Seperti biasa, tidak hanya warga negara ini yang sengsara, tetangga di Singapura dan Malaysia juga terancam.
Berdasarkan pantauan satelit milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 9 Agustus 2019, telah terpantau lebih dari 742 titik api (hotspot) dalam kategori rendah, waspada, maupun butuh penanggulangan segera. Api muncul di Sumatra maupun Kalimantan, namun kondisi terburuk ada di Provinsi Riau. Lahan yang terdampak jilatan api diperkirakan mencapai 200 hektare. Dampaknya sudah terasa hari ini, ketika perayaan hari jadi Provinsi Riau berlangsung di tengah terjangan kabut asap.
Videos by VICE
Titik panas yang dideteksi tahun ini terpantau sudah melampaui jumlah titik panas pada 2018 lalu. Saat ini, jumlah titik panas terbanyak di Kalimantan Barat. Hingga Juli lalu, Provinsi Kalimantan Tengah menjadi daerah yang paling banyak mengalami kebakaran hutan sepanjang 2019. Sisanya terdeteksi mulai mengganggu masyarakat di daerah langganan kabut asap seperti Pekanbaru. Di Dumai, kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan mulai mengganggu kondisi jarak pandang di Pelabuhan Internasional Pelindo menjadi hanya sekitar 2 kilometer dari angka normal sekitar 10 kilometer.
Akibat memburuknya kebakaran itu, muncul rumor bahwa kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Malaysia hari ini bertemu Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad bakal turut membahas isu kabut asap yang akan mempengaruhi kedua negara.
Asumsi tersebut ditepis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyatakan sesuai pantauan satelit Himawari-8 pada pukul 09.00 hingga 10.00 untuk 9 Agustus belum ada kabut asap yang melewati batas negara atau lazim disebut transboundary haze. Kendati demikian, potensi asap ‘terekspor’ ke Negeri Jiran amat terbuka.
Sejak 6 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo mengadakan rapat koordinasi pertama menanggulangi kebakaran hutan sejak Mahkamah Agung menyatakan pemerintah bersalah atas bencana asap. Gugatan yang dilayangkan sejumlah masyarakat yang menggugat negara atas kasus kebakaran hutan di Kalimantan yang sudah terjadi sejak 1997. Hasil gugatan tersebut mewajibkan Presiden Jokowi dan pihak tergugat lain merilis kebijakan konkret menjamin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup—khususnya di kawasan hutan.
Rapat tersebut turut dihadiri oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dalam rapat tersebut Jokowi mengancam akan mencopot petinggi TNI-Polri yang gagal menanggulangi kasus kebakaran hutan.
“Aturan main kita masih sama. Saya ingatkan kepada Pangdam, Danrem, Kapolda, Kapolres aturan main yang saya sampaikan [pada] 2015 masih berlaku,” kata Jokowi. “Saya telepon ke Panglima TNI. Saya minta dicopot, yang tidak bisa mengatasi [kebakaran hutan dan lahan]. Saya telepon lagi, mungkin tiga atau empat hari yang lalu, copot kalau enggak bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan.”
Ancaman Joko Widodo terkait kabut asap menurut organisasi nirlaba lingkungan tidak ada maknanya. Walhi, saat dihubungi CNN Indonesia, menilai pengerahan TNI Polri untuk menangani kasus kebakaran hutan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, kebakaran hutan nyaris selalu dipengaruhi aktivitas perusahaan yang mengolah lahan, entah itu perkebunan sawit ataupun kebun lainnya.
“Jujur dalam konteks nasionalisme itu kurang ajar menurut kami. Penjaga kedaulatan kita difungsikan sebagai pemadam kebakaran yang disebabkan oleh korporasi,” ujar Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Kelas Walhi Wahyu A Perdana kepada CNN Indonesia. “Masa setiap tahun mau membebani keuangan negara oleh kesalahan yang sebenarnya bisa ditangguhkan kepada korporasi. Tidak menyentuh akar masalah, padahal secara dasar hukumnya kuat.”
Indonesia mengalami kabut asap terparah sepanjang sejarah pada 2015. Lembaga swadaya masyarakat Greenpeace menyatakan ada 11 perusahaan yang digugat oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Semua perusahaan itu dianggap bertanggungjawab langsung atas pembakaran hutan dan pembalakan liar. Sembilan kasus diantaranya sudah divonis oleh pengadilan, memenangkan pemerintah dan mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi.