My First Time adalah kolom dan seri podcast yang memebdah masalah seksualitas dan gender dari sudut pandnag seorang perawan yang penasaran. Kami sadar “pengalaman pertamamu” tak cuma melulu tentang ngeseks perdana. Dari mulai bereksperimen dengan sesuatu yag kinky atau sekadar mencoba hal yang baru dan liar, tiap orang berkali-kali merasakan pengalaman pertama—begitu kan cara kita membuat seks tetap menyenangkan?
Minggu ini, Megan—seorang ibu dan sugar baby—bercerita tentang pengalamannya memasang tarif kencan. Kamu bisa mendengarkan My First Time di Google Podcasts , Apple Podcasts , Acast atau tempat kalian biasa memperoleh podcast lainnya.
Videos by VICE
Aku seorang single mother dari seorang anak autis. Bagiku, kencan sangat merepotkan kondisi keuanganku. Bahkan, untuk sekadar menata rambut dan berdandan agar terlihat memesona, aku sudah kewalahan menalangi biayanya. Lagipula, jika kamu punya anak, kamu harus membayar layanan penitipan anak saban kali keluar kencan. Aku rata-rata menghabiskan US$200 (setara Rp2,9 juta) per sekali kencan. Lima kali kencan dalam sebulan saja, $1000 (setara Rp14,6 juta) amblas ke kantung layanan penitipan anak. Yang bikin keki, kadang lelaki yang saya ajak kencan tak muncul sama sekali atau malah membatalkan rencana kencan di menit-menit akhir. Kentara sekali, aku tak bisa kencan dengan cara seperti ini dan tetap menyisihkan uang untuk keperluan anakku.
Di Los Angeles, ada semacam kesepatakan bahwa ongkos-ongkos kencan dibagi berdua. Masalahnya, bagi perempuan, itu belum mencakup biaya-biaya perawatan diri seperti: ongkos ngegym serta biaya perawatan rambut dan kuku. Intinya, aku harus kelihatan memesona agar fotoku kelihatan menarik dan dapat taman kencan—celakanya aku harus menguras isi kantungku untuk membayar ongkos-ongkos. Lalu, aku juga harus ikut patungan membayar ongkos-ongkos kencannya. Jelas belaka, kencan perlahan-lahan bikin aku bangkrut.
Sisi-sisi romantis dari kencan dan pacaran menguap ketika kita mulai mengirit-irit alokasi dana yang kita miliki. Tapi, ada jalan keluarnya kok. Namanya sugar dating atau gampangnya meminta semua biaya kencan ditanggung oleh para lelaki—praktek kencan konservatif yang kental dengan aroma zaman Victoria. Sejauh ini, saya sudah menjalani sugar dating selama delapan bulan. Ini terpaksa aku lakoni karena budget kencanku sudah cekak. Aku ingin mendapatkan perhatian laki-laki dan menikmati momen-momen romantis dalam hidup, tapi kewalahan menanggung biayanya. Belum lagi, anakku butuh keberadaanku karena memang dia punya kebutuhan khusus.
Aku harus membawa anakku terapi setiap beberapa hari sekali. Waktu luangku sangat terbatas. Sedikit saja ada waktu luang, aku biasanya pergi belanja atau tidur siang. Imbasnya, aku tak punya banyak waktu untuk menambah penghasilan dan aku terus-terusan bokek. Alhasil, agar bisa berkencan layaknya seorang dewasa, ada yang harus berkorban. Dalam kasusku pengorbanan harus dilakoni oleh para sugar daddy—atau mereka rela membayar dengan uang tunai atau hadiah agar bisa kencan denganku.
Isi profilku di situs sugar dating sebenarnya lumayan standar saja, agak minimal malah. Aku sengaja membuatnya menarik dan ringan-ringan saja. Aku dengan berani memasang tarif kencan, tergantung kegiatan yang kami kerjakan: US$50 (setara Rp734 ribu) untuk ngopi bareng dan US$100 (setara Rp1,4 juta) untuk makan malam bersama. Awalnya, aku menetapkan tarif $50 persekali kencan. Kini, aku ogah keluar rumah dengan bayaran di bawah $100. Tarifku sekarang berkisar $100-200 (setara Rp1,4-2,8 juta) untuk sekali kencan, dan itu termasuk hadiah—bentuknya bisa lilin, parfum atau anting. Harganya tak perlu mahal asal diberikan dengan penuh perhatian saja.
Saat bicara dengan lelaki di dunia maya, mereka biasa gampang sekali ngomong dengan kasar. Tak ayal, aku harus mengambil langkah-langkah tegas untuk menjaga kehormatanku. Pernah, seorang pria mengajak saya kencan dengan tarif satu dolar. Tak perlu berlama-lama, aku langsung meladeni lelaki ngehe ini dengan bilang “ Enggak usah kasar juga kali. Kalau kamu enggak merasa nyaman dengan ketentuannya, ya jangan aku kencan. Kamu toh enggak usah bilang kalau hargamu cuma $1.”
Aku pertama kali kencan sebagai sugar baby dengan lelaki muda yang besar di pos pengungsian. Aku sadar kalau dia merasa canggung, jadi aku berusaha sebisa mungkin untuk membuatnya nyaman. Dia lalu memberitahuku kalau enggak kepengin menjalani hubungan seperti ini. Dia maunya punya pacar sungguhan. Setelah beberapa kali kencan, aku memutuskan hubungannya dengan sopan. Aku hanya minta bayaran US$50 (setara dengan Rp733 ribu) sekali kencan, karena kayaknya dia benar-benar membutuhkan hubungan asli dengan seseorang.
Laki-laki lain yang pernah saya kencani bilang dia cuma berkencan dengan sugar baby, dan memutuskan hubungannya kalau mereka jadi serius. Dia tidak begitu memprioritaskan hubungan percintaan. Dia sangat murah hati. Dia kadang ngirim uang lewat PayPal dan bilang, “ini uangnya buat putramu.” Setiap kali kami ketemuan, dia kasih sejumlah uang dan membayar pengasuh anakku.
Setelah menentukan harganya, kamu akan berkencan dan mereka memberimu uang setelah selesai. Pernah ada yang lupa bayar waktu itu, jadi aku mengingatkannya. Dia sangat malu dan memberikanmu segulung uang. Di kencan kedua kami, dia memberiku amplop yang sudah dihias dengan gambar hati bahkan sebelum kami pesan sesuatu. Aku tersanjung melihatnya. Saat sedang bersamanya, aku menyadari kalau dia menungguku ketawa setelah dia bergurau. Dia pengin lihat apakah kami cocok. Saat itu terjadi, sisi sugar baby-ku langsung muncul. Kencannya jadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Dari lima sugar daddy yang aku kencani, aku berhubungan seks dengan tiga di antaranya. Itu sangat memuaskan, dan kami segera melupakannya. Aku enggak peduli kalau mereka ingin berhubungan seks denganku. Kalau aku enggak mau melakukannya, maka mereka enggak akan mendapatkannya. Sebaiknya mereka harus menggodamu dulu kalau pengin tidur bersamanya. Seksnya terasa lebih luar biasa. Kalau kalian akan berhubungan seks, pastikan sugar daddy-nya baik, menarik dan tampan. Kalian tetap saling berkaitan sebagai manusia. Bagian bayarannya tidak begitu membosankan seperti yang orang kira.
Uang dan percintaan berkaitan erat dalam masyarakat. Finansial perempuan belum setara dengan laki-laki di kebanyakan situasi. Akan tetapi, laki-laki masih saja merongrong kita untuk terlihat menarik atau mau dibayar setengah. Biasanya sugar daddy-ku memahami alasan kenapa aku butuh uang. Itu buat anakku. Tapi, menurutku, setiap perempuan punya alasan yang masuk akal untuk butuh uang. Mereka punya kewajiban yang harus dibayar.
Aku pernah punya sugar daddy yang bekerja di industri film. Dia sangat membantuku dalam pembuatan filmku sendiri. Dia membuat studio di rumahku, mengajarkanku cara menggunakan peralatannya. Dia mengajakku ke lokasi syuting dan menunjukkan cara mengatur angle yang tepat. Ini benar-benar membuatku terkesan. Aku merasa seperti ada seniman andal yang bersedia mengajarkan keahliannya kepadaku. Dengannya, kami berhubungan layaknya manusia biasa. Kami pernah berdebat dan memperbaiki hubungan. Kami merasa sangat terhubung dalam tingkatan artistik. Ini sangat indah, meskipun kami enggak akan menikah.
Menjadi sugar baby mengajariku bahwa ada lebih dari satu cara untuk melakukan segala hal. Hubunganku dengan suami sudah 11 tahun, sebelum akhirnya kami berpisah. Sugar dating mengajariku bahwa ada kehidupan setelah pernikahan. Laki-laki yang kutemui mengajakku masuk ke kehidupannya. Mereka mengerti bahwa aku tuh enggak punya banyak duit, tapi aku cerdas, punya waktu dan hal-hal lain yang bisa kubagikan.
Menjadi ibu anak autis membuatku sibuk. Semua perempuan yang aku kenal juga mempunyai anak autis, dan mereka enggak akan pernah menghakimiku karena mereka tahu betapa susahnya menjalankan kehidupan sehari-hari. Tapi kayaknya aku enggak membicarakan itu secara terbuka.
Nasihat untuk kalian yang lagi nyari sugar daddy: kenali dirimu sendiri dan apa yang membuatmu nyaman. Cintailah dirimu sendiri dulu. Jangan pura-pura kamu enggak pintar atau cerdas. Tampilkan dirimu sebagaimana kamu ingin dilihat orang lain dan sebagaimana kamu bisa mencintai dirimu sendiri. Uang yang kamu terima hanya titik akses. Bagaimana kamu mengenal orang enggak ada artinya. Pada akhirnya, ini semua tentang cara kamu berhubungan dengan orang lain.