Udah mulai panas nih di Malaysia. Memang sih, Malaysia adalah pulau tropis yang terletak di garis khatulistiwa, di mana penjajah Inggris pertama tiba dengan jas-jas dan celana-celana mereka dan mengaku iklimnya “fatal” dan “membakar,” tapi kita di sini udah lumayan paham sama istilah “panas.”
Atau setidaknya kami pikir, kami paham. Departemen Meteorologis mencatat kenaikan hampir satu derajat celcius pada suhu bumi sejak tahun 80-an. Mungkin satu derajat enggak gitu banyak, tapi itu cukup buat melumerkan es di bumi, menaikkan tinggi permukaan laut, dan menimbulkan gelombang panas ekstrem.
Videos by VICE
Sudah berlalu hari-hari ketika kita masih bisa nyantai pakai sarung dan tinggal di rumah kayu demi menghindari kepanasan. Aku masih ingat masa kecilku pada tahun 90-an, di rumah tanpa AC, dan kami berdamai dengan kepanasan dan kelembaban. Nah, minggu lalu aku menghitung tiga buah AC di rumah orang tuaku. Dam meskipun kita enggak kekurangan air di sini, gelombang panas pada 2016 menyurutkan beberapa bendungan hingga tingkat kritis, menjatuhkan ekspor durian, dan menutup 250 sekolah.
Pada waktu yang sama, banjir yang dulu jarang terjadi pada tahun 80-an di Malaysia, terjadi empat kali dari 2010 sampai 2017. Kelihatannya cuman pola iklim ini yang lebih ekstrem dibandingkan skandal-skandal korupsi kita dan desakan kita bahwa pernikahan anak itu enggak ada masalahnya.
Tonton dokumenter kami soal krisis sampah yang dipicu oleh larangan Tiongkok:
Apa sih yang terjadi? Aku curiga banget sama kapitalisme dan sesama orang Malaysia dengan stok ketidakpedulian tanpa akhir mengenai hal-hal penting kayak lingkungan hidup; entah bagaimana mereka semua pasti ikut bertanggung jawab.
Mungkin kami telah mengesahkan Persetujuan Paris dan berkomitmen pada Tujuan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tapi aku belum yakin kita bisa menghindari pemanasan global drastis pada tahun-tahun mendatang. Secara global, penggunaan karbon dioksida harus turun sebesar 45 persen pada 2030 agar kami dapat mencapai emisi nol dan menghindari efek-efek pemanasan global terburuk pada 2050. Kalau kita enggak mencapai itu, risiko kenaikan suhu extrem akan naik, begitu juga dengan terdamparnya ratusan juta orang, terutama masyarakat miskin.
Sebagai orang Malaysia, kita terlalu cinta pada plastik, terlalu benci pada daur ulang, dan kita enggak mau manfaatin transportasi umum. Mampus deh kita semua.
Aku memutuskan untuk mengikuti jejak sampah sisa makananku untuk membuktikannya (dan juga menghilangkan stres karena terlalu sering bahas perubahan iklim). Aku penasaran apakah hal sesimpel makan bisa berpengaruh buruk bagi lingkungan?
WARUNG NASI LEMAK, PUKUL 7:30 PAGI
Oke, aku harus mengaku sempat kepikiran buat batal nulis semalam sebelumnya. Aku kira sebaiknya enggak usah tahu sekalian supaya aku bisa melanjutkan kebiasaan merugikan ini tanpa merasa bersalah. Tapi, sebagai orang dewasa yang butuh uang dari tulisan, aku pun memberanikan diri untuk melakukan eksperimen ini. Keesokan paginya, aku bermacet-macetan cuma untuk beli nasi lemak yang jaraknya kurang dari 2 km dari apartemenku.
Aku segera melahap segunung nasi dan sambal sepulangnya dari warung. Setelah selesai makan, aku memasukkan bekasnya—kertas nasi yang dilapisi plastik, sisa nasi, dan sendok plastik—ke dalam kantong plastik merah untuk menenteng makanannya setelah beli. Aku lalu membuangnya ke tempat sampah di lantai bawah.
APARTEMEN, PUKUL 10 PAGI
Awalnya aku berniat pakai cara jahat. Aku ingin membuntuti truk sampah dan memata-matai apa yang terjadi pada sisa sarapanku tadi. Sayangnya aku enggak punya bakat mengintai. Rekan sejawatku juga khawatir rencanaku untuk menyakinkan petugas sampah dan bosnya enggak akan berhasil. Baiklah, aku nyerah. Aku akhirnya meminta izin langsung. Untung saja mereka memperbolehkanku ikut.
Aku menyaksikan tiga petugas asal Indonesia yang melemparkan isi tempat sampah berukuran 1,5 x 1,5 meter ke belakang truk. Sampah-sampah itu berbaur di antara plastik sampah warna-warni lainnya. Aku terciprat air limbah ketika mesin sedang mengeringkan air-air yang ada di dalam kantong sampah. Aku benar-benar menyesal nge- pitch artikel ini.
“Kita akan pergi ke TPA Tanjung Dua Belas di Sepang,” kata manajernya kepadaku. Menurutnya, perjalanan ini kira-kira menempuh sekitar satu jam kalau pakai mobil, tapi mereka harus isi bensin dulu.
Sang manajer menjelaskan kalau truk sampah butuh 131 liter solar per hari. Aku coba menghitungnya pakai kalkulator pemakaian bahan bakar EcoSore dan menemukan bahwa emisi karbon dioksidanya bisa mencapai 345.84 kg per hari dan 6.916,8 kg per bulan.
PERJALANAN MENUJU ‘NERAKA’ TPA, 11:30 SIANG
Aku kira ribuan kilogram CO2 itu sudah sangat buruk, tapi nyatanya masih ada yang lebih buruk dari itu.
TPA Tanjung Dua Belas berada di ujung barat daya Malaysia, dan tampak tidak mencolok sama sekali dari pintu masuknya,
“Kita harus mengendarai ini untuk naik ke atas,” kata engineer TPA kepadaku, menunjuk ke SUV di sebelahnya. Naik ke atas mana maksudnya? Yang kulihat cuma dataran tinggi yang tertutup tanah lumpur. Aku tanya kenapa enggak jalan saja, dan dia menjawab kalau kita enggak mungkin bisa jalan kaki.
Aku naik ke SUV yang mengitari dataran tinggi sebelum belok kanan. Setelah itu mobilnya terus menanjak.
“Kita sedang menuju level 21,” katanya. “Level 21 maksudnya tumpukan sampah setinggi 21 meter.”
Hah? Jadi “daratan” ini ternyata isinya sampah yang sudah tertutup tanah? Tingginya sampai 21 meter pula. Sang engineer memberitahuku kalau TPA-nya seluas 160 hektar, dan dia akan mengajakku ke bagian lainnya yang tidak tertutup.
“Sudah siap?” tanyanya.
Enggak. Sama sekali enggak siap.
MENDATANGI AREA TERBUKA TPA, PUKUL 1 SIANG
Aku sempat menghubungi Ng Sze Han, pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah sebelum pergi ke TPA. Dia menjelaskan kalau pengelolaan sampah di Selangor masih jauh dari kata ideal. Mayoritas sampahnya belum dipisah. Akibatnya, sampah organik dan anorganik dibuang berbarengan di TPA.
Namun, menurutnya ini “belum begitu parah”. Mereka lebih pilih TPA penuh sampah yang bisa didaur ulang daripada sampah-sampah itu berakhir di sungai dan lautan.
Ng menerangkan bahwa pemilahan sampah sangatlah penting sebelum kita membuangnya. Pengelolaan sampah akan menjadi lebih baik. Namun, jarang ada orang yang melakukannya.
“Ini tantangan terbesar buat kami,” kata Ng.
Dari 167 TPA yang beroperasi di Malaysia, hanya ada tujuh atau 4,2 persen yang masuk dalam kategori tempat pembuangan akhir sanitasi pada 2010. TPA-TPA ini menerima lebih dari 40.000 ton limbah rumah tangga, komersial, dan industri per harinya.
Aku memang sudah tahu soal ini, tapi tetap saja ngeri ketika melihat apa yang ada di depanku sekarang.
Terbentang selebar satu lapangan sepakbola, botol plastik, bekas furnitur, mainan anak, polystyrene, diaper dan jutaan bungkus plastik entah berisi apa menggunung di sekeliling saya. Sampah-sampah yang teronggok di sini sejak 2010 lalu ini barbobot total sekitar tiga juta ton. Itu belum ditambah sampah-sampah baru yang dibuang sejumlah truk selama aku di sana.
Di salah satu pojok, aku menemukan tumpukan setinggi 15 meter yang tersusun oleh kantong berisi botol plastik. Tak jauh dari situ, sekelompok pekerja dari Indonesia—disewa untuk menyelamatkan apa saja yang bisa didaur ulang—tengah beristirahat.
Jika ada satu pemandangan dengan jeli menggambarkan sikap kita yang mau menang sendiri hingga kita harus meminta orang lain membereskan kekacauan yang kita tinggalkan atau menambal sikap acuh tak acuh kita pada kondisi lingkungan, maka adegan barusan adalah yang kalian cari.
Lelaki dan perempuan—yang sudah tak bisa menemukan pekerjaan yang jauh lebih terhormat—menghabiskan hari-hari mereka di lokasi sebusuk dan sepanas ini. Tak bisa dipungkiri, ini adalah perbudakan modern karena mayoritas penduduk Malaysia terlampau malas memilah sampah harian mereka. Aku diberi tahu ada 50 pekerja di TPA ini. Dengan jumlah serendah itu, hanya 1 persen sampah yang bisa disisir tiap harinya.
Sisinya dibiarkan terkubur. Air lindinya diproses ulang menjadi air layak minum. Lalu, begitu tumpukan sampah ini mencapai daya tampung maksimal TPA, pemerintah negara bagian berencana akan menggunakan lahan di sebelah TPA guna memulai proses yang sama.
Insinerator pengubah sampah menjadi energi—yang mampu memproduksi panas atau energi listrik dari gas metana yang terkumpul di TPA, juga masuk dalam perencanaan pemerintah negara bagian. Tapi, menurut seorang engineer yang aku temui, rencana itu kemungkinan baru terwujud satu tahun dari sekarang. Alhasil, saat ini kita cuma bisa berdamai dengan satu kenyataan pahit: ada sekitar tiga juta ton sampah di sini yang terus mengeluarkan kira-kira 3,6 ton polusi karbon ke atmosfer.
“Semua TPA di Malaysia kondisinya kayak gini. Malah ada yang lebih parah,” kata yang engineer itu.
Ini semua adalah kekacauan yang kita tinggalkan. Mulai sekarang, kita harus mulai memerangi kebiasaan memakai sedotan plastik sekali pakai. Cuma, dari eksperimen ini aku belajar satu hal penting: penggunaan sedotan plastik ternyata cuma bagian kecil dari masalah sampah kita.
Yang semestinya kita perangi dan musnahkan adalah kebiasaan kita naik kendaraan demi beli nasi lemak sebelum kita membuang nasi lemaknya tanpa pikir panjang.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.