Kalian mungkin beberapa kali pernah merenung malam-malam, mengingat lagi hubungan di masa lalu yang kandas. Orang sering bingung, kenapa ya kok bisa sampai putus padahal awalnya kamu dan pacar kayaknya “nyambung” dengan kepribadian satu sama lain.
Hubungan romantis memang urusan pelik. Bahkan semakin bertambah usia tak menjamin percintaan tambah mulus. Yang ada, kalian mungkin pernah jadi korban atau pelaku yang bilang kalimat putus paling klise ini: “aku yang punya masalah bukan kamu. Karena kamu terlalu baik buatku.”
Videos by VICE
Belakangan, menurut komputer, kalimat klise itu tak bisa lagi dijustifikasi. Setidaknya, menurut kajian yang dirilis di jurnal Proceedings of the National Academy of Science pada 27 Juli 2020, kecerdasan buatan untuk pertama kalinya meninjau apa saja aspek yang membuat sebuah hubungan romantis gagal atau malah berhasil.
Program AI itu menganalisis 43 kajian psikologis yang pernah terbit di jurnal ilmiah, serta memprofilkan 11.196 pasangan dari berbagai negara, mencakup Amerika Serikat, Israel, Swiss, hingga Belanda, untuk memetakan apa saja karakteristik hubungan percintaan yang berkualitas. Kesimpulannya tegas: kecocokan karakter bukan penyebab utama suatu hubungan bisa awet. Sebaliknya, faktor paling menentukan adalah upaya dari seseorang dengan pasangannya untuk membangun hubungan yang dinamis dan sehat.
Kecerdasan buatan itu menyatakan bahwa hubungan akan terasa memuaskan bagi pasangan bila kedua belah pihak selalu berusaha mengatasi masalah yang muncul. Kemampuan kerja sama dan saling melengkapi kekurangan masing-masing itu mempengaruhi 45 persen keberhasilan suatu hubungan. Sebaliknya, sifat seseorang hanya berpengaruh sekitar 21 persen terhadap kepuasan terhadap percintaan yang sedang dijalani. Intinya sifat seseorang, entah itu baik ataupun buruk, tidak bisa jadi penentu apakah kisah cintanya akan kandas atau malah awet.
“Dapat disimpulkan, bahwa sosok yang kita pilih tidak terlalu penting dibanding upaya kita mempertahankan suatu hubungan,” kata Samantha Joel, salah satu anggota tim penelitian AI di Relationships Decision Lab dari Western University. Beberapa karakter individu yang turut dinilai oleh kecerdasan buatan adalah pendapatan, usia, kepuasan hidup, empati, dan banyak lagi.
Namun, seperti ditekankan oleh AI, dari kasus hubungan yang langgeng maupun kandas di tengah jalan, status dirimu dan berbagai unsur duniawi lainnya lagi-lagi tak berpengaruh banyak pada kualitas percintaan. Kemampuan kompromi serta kesiapan menghadapi dinamika tak disangka-sangka dari hubungan yang lebih banyak menentukan cerita dua insan.
“Contoh dari dinamika itu misalnya kemampuan menerima norma satu sama lai, atau berbagi lelucon, serta memiliki pengalaman yang mirip. Hal-hal itu mempersatukan orang yang berbeda latar belakang dalam suatu hubungan,” kata Joel.
Follow Satviki on Instagram.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE India