Keluarga Kesultanan Yogyakarta Tuntut Inggris Kembalikan 50 Ribu Ton Emas Rampasan

Keluarga Sultan Hamengkubuwono II Yogyakarta Tuntut Inggris Kembalikan 50 Ribu Ton Emas Rampasan dari Keraton

Tuntutan ini muncul dari inisiatif keturunan raja Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono II, yang sedang mengajukan nama sang sultan sebagai pahlawan nasional kepada pemerintah Indonesia. Menurut keluarga, perang atau geger Sepehi yang terjadi pada 1812 adalah bukti Sultan HB II merupakan pejuang antikolonial.

Sebagai salah satu bukti perlawanan tersebut, keluarga meminta kerajaan Inggris sebagai pemenang di geger tersebut meminta maaf atas dosa masa silam serta mengembalikan kekayaan keraton yang mereka rampas. Di antaranya berupa 50 ribu ton emas.

Videos by VICE

“Kami mengharapkan harta dan benda bersejarah yang dijarah tentara Inggris pada Perang Sepehi tahun 1812 untuk dikembalikan. Barang-barang tersebut merupakan salah satu bagian dari milik Keraton Yogyakarta di masa Raja Sri Sultan Hamengkubuwono II,” Sekretaris Pengusul Pahlawan Nasional Sri Sultan HB II Fajar Bagoes Poetranto mengatakan di Jakarta, Selasa (21/7), dikutip Pikiran Rakyat. “Bahkan perhiasan yang dipakai Sri Sultan HB II pada saat itu juga ikut dirampas,” kata Fajar lagi. 

Perang atau Geger Sepehi, kadang dieja Spei atau Sepoy, berawal dari bangkrutnya perusahaan dagang VOC pada 1799. Penguasaan Hindia-Belanda kemudian dialihkan ke Republik Batavia, bentuk negara Belanda selama dikuasai Prancis.

Di masa ini, Herman Willem Daendels dikirim ke Jawa untuk menjadi gubernur jenderal selama 1808-1811. Selain mengadakan proyek kerja paksa pembuatan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Daendels juga makin dalam mengurangi kekuasaan raja-raja Jawa. 

Hamengkubuwono II menjadi salah satu raja yang membangkang kepada sang Tuan Besar Guntur. Tambah lagi, semasa kecil ia menyaksikan bagaimana Kesultanan Mataram dibelah jadi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta lewat Perjanjian Giyanti 1755. Daendels kemudian mengudeta HB II pada 1810 dan menobatkan putranya yang lebih kalem, Pangeran Surojo, sebagai Sultan Hamengkubuwono III. 

Ketika Inggris mengalahkan Republik Batavia, HB II berupaya untuk kembali berkuasa, namun diredam oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (berkuasa 1811-1816). Pada 17-20 Juni 1811, pasukan penyerang yang terdiri dari seribu tentara Inggris, Sepoy (India), dan tentara Mangkunegaran (dari Kadipaten Mangkunegaran, Surakarta) menjebol benteng Keraton Yogyakarta dan menjarah kekayaannya. Inilah yang kemudian dinamai sebagai Perang atau Geger Sepehi.

Setelah Keraton Yogya takluk, konon sampai empat hari dihabiskan pasukan penakluk untuk memboyong ribuan naskah, keris, alat musik, dan bermacam perhiasan bernilai 120 juta dolar AS. Sebagian kemudian dibawa ke Inggris. Imbas lainnya adalah penggembosan Kesultanan Yogyakarta: HB II diasingkan ke Penang (sekarang bagian Malaysia), dilanjutkan dengan pemaksaan Keraton Yogya dan Surakarta untuk menandatangani perjanjian yang berisi (1) perintah mengurangi kekuatan militer, (2) pemangkasan wilayah kekuasaan, dan (3) penggantian hukum Jawa-Islam ke hukum kolonial.

Menurut situs web Keraton Yogyakarta, kekalahan di Geger Sepehi dan perjanjian setelahnya menjadi pemicu Perang Diponegoro. “Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pergolakan besar dalam masyarakat Jawa. Ketidakpuasan dan rasa kekecewaaan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu Perang Jawa (1825-1830),” demikian keterangan di web. Oleh para sejarawan, Perang Diponegoro telah disepakati banyak mengubah dunia Jawa dan efeknya terasa sampai sekarang.

 Dalam acara peringatan 30 tahun takhta Sultan Hamengkubuwono X pada Maret tahun lalu, topik Perang Geger menjadi fokus simposium internasional di acara tersebut. Belakangan sejumlah naskah telah dikembalikan kepada Kesultanan Yogyakarta, namun keluarga bersikeras menuntut barang asli diserahkan.

“Yang dikembalikan itu hanya berupa hasil digital untuk benda dan manuskripnya. Pengembalian aset-aset manuskrip pernah dilakukan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan 70 manuskrip dan diserahkan ke Keraton Yogya dalam bentuk digital,” kata jubir Pengusul Pahlawan Nasional Sri Sultan HB II Abdul Haris, 2 Juli lalu.

Namun, peneliti tak yakin ada harta sebanyak 50 ribu ton emas dalam rampasan tersebut. “Selama meneliti itu [Geger Sepehi] tidak ada [mendapati soal harta sebanyak itu]. Jadi yang dijarah adalah uang, manuskrip atau kekayaan intelektual, dan perhiasan milik Ratu Kencana Wulan, istri tercinta HB II,” ujar Lilik Suharmaji, penulis buku Geger Sepoy, kepada Kompas.

Tuntutan kepada Kerajaan Inggris untuk mengembalikan rampasan kolonial juga pernah mengemuka di India, terakhir pada 2016 lalu. Harta yang ditagih ini adalah berlian nomor satu di dunia: berlian Koh-i-Noor (‘Gunung Cahaya’).

Di tahun itu, LSM bernama All India Human Rights and Social Justice Front menuntut ke mahkamah agung setempat agar pemerintah India mengejar Inggris agar mengembalikan berlian 105 karat tersebut. Menurut mereka, masyarakat India merasa terikat secara emosional dengan berlian yang kini dipasang di mahkota Kerajaan Inggris.

Namun, Jaksa Agung Ranjit Kumar mengatakan, pemerintah meyakini berlian itu bukan dicuri atau diambil paksa dari India selama penjajahan, melainkan dihadiahkan kepada EIC (VOC-nya Inggris) oleh pemiliknya, yakni raja Kemaharajaan Sikh di Punjab. 

Pernyataan si jaksa agung memicu perdebatan di media sosial India. Netizen berpendapat, hadiah dari seorang raja berusia 10 tahun (Raja Dulip Singh, putra Raja Ranjit Singh, pendiri Kemaharajaan Sikh), tidak bisa dianggap “hadiah”. Apalagi saat itu Kemaharajaan Sikh dalam kondisi kalah di Perang Inggris-Sikh II.

“Kalau satu [tuntutan] dituruti,” kata Perdana Menteri Inggris David Cameron yang masih menjabat ketika tuntutan pengembalian Koh-i-Noor mencuat pada 2010, “British Museum bakal langsung kosong… Jadi barang [rampasan perang] itu harus tetap ada di tempatnya.”

Sayangnya, orang India tentu ga peduli kalau British Museum kosong.