Bulir peluh membasahi pelipis Porntip “Cha” Khamthongphanow kala ia melepaskan serangan tajam kepada lawan. Kalah dua putaran tak menciutkan semangatnya untuk menang pada ronde keempat.
Ketegangan semakin terasa menyelimuti seisi Stadion Rajadamnern, stadion kickboxing tertua di Thailand, saat ia menyikut dahi lawan hingga bersimbah darah. Wasit seketika menyerukan waktu istirahat, pertanda babak itu telah berakhir.
Videos by VICE
Pertandingan pun memasuki babak final, raut wajah Cha tambah percaya diri. Jurus mematikannya sukses membawa perempuan 19 tahun itu keluar sebagai pemenang.
“Kata teman dan tetangga saya, perempuan tak sepantasnya ikut Muay Thai. Perempuan seharusnya berbadan mulus dan enggak ada lecet di wajah,” tutur Cha saat berbincang dengan VICE World News di sasana tinju beberapa hari sebelum pertandingan.
Ia masa bodoh dan terus menguasai kekuatannya. Baginya, Muay Thai membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Cha lahir dan dibesarkan di Khlong Toei, permukiman kumuh terbesar di Bangkok yang menampung sekitar 100.000 penduduk. Tak sedikit warganya tinggal di bangunan liar. Rawan terjadi tindak kriminalitas di daerah itu akibat tingginya masalah pengangguran di sana.
Daerah ini sering menjadi sarang peredaran narkotika jenis metamfetamin tablet yang dikuasai preman. Terputusnya jalur ekspor ilegal selama berlakunya larangan perjalanan Covid-19 memaksa bandar narkoba menjual murah barang dagangannya untuk menarik peminat di dalam negeri. Kenaikan pemakaian sabu di Thailand mencapai 30 persen tahun lalu.
Pada 2016, tempat latihan Cha, Khlong Toei Youth Centre, masuk dalam program pemerintah untuk menekan angka kenakalan remaja di wilayah itu. Pusat olahraga direnovasi supaya anak muda dapat menyalurkan emosi secara lebih sehat. Sayangnya, banyak samsak yang tidak dapat digunakan lantaran dilakban menjadi satu.
Keluarga Cha sendiri berurusan dengan narkoba, sehingga ia memutuskan minggat dari rumah bersama adik laki-lakinya, Mek, sekitar 2017 silam. Dengan niat memperbaiki nasib, keduanya menumpang hidup di rumah Phichart “Lek” Phaophong, yang memberikan kursus Muay Thai kepada anak-anak muda.
Bersama murid-murid Lek yang lain, Cha dan adiknya menjalani pelatihan fisik yang intens supaya bisa menjadi petarung profesional. Di luar itu, mereka mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Menurut Lek, kemampuan otak harus tetap diasah.
Setiap hari, Cha bangun pukul 6 pagi untuk jogging sejauh 10 km. Ia kemudian lanjut berolahraga angkat beban sepulang sekolah di sore hari.
Bersama murid-murid Lek yang lain, Cha dan adiknya menjalani pelatihan fisik yang intens supaya bisa menjadi petarung profesional. Di luar itu, mereka mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Menurut Lek, kemampuan otak harus tetap diasah.
Setiap hari, Cha bangun pukul 6 pagi untuk jogging sejauh 10 km. Ia kemudian lanjut berolahraga angkat beban sepulang sekolah di sore hari.
“Cha jagoan,” ujar Lek kepada VICE World News, saat menonton pertarungan muridnya dari sisi ring. “Keunggulan Cha ada pada jurus tendangannya. Banyak yang K.O. [ditendang] Cha.”
Tak sedikit perempuan di Thailand, salah satu negara dengan kesenjangan ekonomi terbesar di dunia, hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka masih tertinggal dalam bidang pendidikan, yang dapat mengakibatkan sempitnya peluang perempuan memperoleh pekerjaan layak. Mayoritas narapidana perempuan di Thailand terseret kasus narkoba.
Cha tidak mau mengikuti jejak orang tuanya. Karena itulah ia tak kenal lelah menjadikan dirinya petarung profesional.
“Banyak anak-anak yang tinggal di Khlong Toei tidak bisa bersekolah,” ujarnya. “Saya mungkin akan putus sekolah jika tidak ada latihan ini. Saya akan kehilangan arah dan masa depan.”
Cha bukan satu-satunya perempuan Thailand yang menekuni bidang olahraga yang didominasi laki-laki. Namun, kesempatan mereka bertarung di arena besar seperti Rajadamnern belum lama terbuka. Olahraga nasional ini sebelumnya agak anti perempuan.
Selama ini, perempuan dilarang mendekati ring tinju jika mereka sedang menstruasi. Alasannya karena darah haid “mengotori” kesakralannya. Kalaupun diperbolehkan memasuki ring, perempuan mesti merangkak di celah tali paling bawah, tidak seperti petarung laki-laki yang bisa melangkah masuk dari atas penghalang. Larangan ini berhasil ditaklukkan pada Agustus tahun lalu.
Siapa sangka, pertarungan Muay Thai yang menampilkan petarung perempuan begitu diminati dunia internasional. Banyak arena tinju memanfaatkan momentum untuk meningkatkan pemasukan yang sempat terdampak pandemi.
“Perempuan Thailand bisa bertarung di Eropa dan negara lain,” terang promotor Muay Thai Sombat Thaosuwan. “Mereka mampu membawa pulang hadiah jutaan Baht. Makanya arena tinju di Thailand mulai menyesuaikan standar internasional.”
Akan tetapi, masih ada PR yang harus diselesaikan penyelenggara acara Muay Thai. Sombat mengungkapkan petarung perempuan hanya menerima sepertiga dari pendapatan lawan jenisnya. Menurutnya, gaji petarung perempuan lebih kecil karena penontonnya tidak sebanyak laki-laki. Hanya segelintir tukang judi yang tertarik bertaruh siapa pemenangnya. Gebrakan yang dilakukan arena-arena besar seperti Rajadamnern diharapkan dapat menggaet basis penggemar yang lebih gede.
“Tidak ada bedanya petarung perempuan dengan laki-laki. Latihan yang mereka jalani sama-sama berat. Kemampuan bertarungnya pun setara. Jadi pemberian gaji seharusnya juga adil,” tandas Cha.
Berkat prestasinya di dunia olahraga, Cha menerima beasiswa atlet di sebuah perguruan tinggi. Cha orang pertama di keluarganya yang bisa berkuliah.
“Saya ingin membuktikan saya mampu menjadi petarung hebat,” ia menegaskan. Kini Cha ingin mewujudkan cita-cita menjadi pelatih Muay Thai. Ia bertekad membuka peluang yang lebih besar bagi kaum perempuan di Thailand.