Widji Widodo lahir di Solo, Jawa Tengah pada 26 Agustus 1963. Ayahnya adalah seorang penarik becak. Sementara ibunya penjaja ayam goreng. Wiji tumbuh sebagai pria ceking yang lantang bicara dan selalu gelisah. Oleh banyak orang, pria ini dikenal berkat julukan Wiji Thukul. Sekilas, Wiji bukan sosok yang menarik dijadikan inspirasi sebuah biopik. Nyatanya, asumsi ini berlebihan. Januari lalu, orang berbondong-bondong datang ke Taman Ismail Marzuk, Jakarta Pusat untuk menonton film biopik Wiji Thukul. Ribuan lagi menyaksikan di kota-kota lainnya.
Antara kurun 1994-1998, Wiji melakoni hidup layaknya buronan atau setidaknya seorang yang berpikir layaknya buronan. Dia berpindah dari satu kota ke kota lainnya, numpang tidur di rumah kenalan. Setiap tiba di tempat baru, matanya akan awas, memandang sekeliling, mencari jalur kabur terdekat. Menjelang jatuhnya Suharto, Wiji jarang bersemuka dengan keluarganya dan terus waspada dari waktu ke waktu. Wiji adalah seorang penganut katolik dan dikenal agak cadel. Dalam kenangan Prijo Warsono, kawan satu seperjuangan di Partai Rakyat Demokratik, Wiji “gemar mengenakan baju putih yang warnanya sudah pudar.”
Videos by VICE
Hak-hak kaum buruh yang tertindas kerap jadi inti aktivitas dan topik puisi-puisi Wiji: mulai dari mendirikan kelompok kesenian Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) sampai ikut menjadi anggota PRD, partai politik yang tak bosan-bosannya berusaha menggulingkan pemerintahan Soeharto atau partai milik kaum pekerja, tergantung pada siapa anda bertanya. Hidup bagi Wiji adalah rangkaian pemberontakan tanpa henti. Meski begitu pemberontakannya tak pernah berwarna merah darah, semerah mata kanannya yang rusak disepak tentara saat Wiji ikut unjuk rasa 14.000 buruh PT Sri Rejeki yang menuntut kenaikan upah pada 1995.
Aktivisme juga berserakan dalam senjatanya yang paling sakti: Puisi. Wiji menganggap dirinya sebagai “mimpi buruk presiden.” Baginya, penindasan adalah “guru yang paling jujur” (“Pepatah Buron”) dan siapapun yang menantangnya bakal bikin “para jenderal marah-marah.” Banyak yang menyebut apa yang ditulis Wiji sebagai “puisi pamflet”, jenis puisi lugas yang mudah dinikmati siapapun. Berkat puisi-puisi inilah, Wiji bisa disejajarkan dengan raksasa-raksasa sastra Indonesia lainnya, seperti yang ditulis oleh Arman Dhani dalam salah satu artikelnya.
“Puisi itu abadi, puisi bisa terus diajarkan setiap saat. Membaca puisi membantu orang memahami situasi yang menjadi latar belakang penulisan sebuah puisi,” ujar Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, ketika saya tanya apakah puisi-puisi sang kakak harus diajarkan di bangku sekolah. Wahyu meneruskan perjuangan Wiji dalam membela hak-hak kaum buruh dengan bekerja di Migrant Care, sebuah LSM yang berkecimpung mengadvokasi buruh migran.
Pada tanggal 27 Juli 1996, kerusuhan meletus di markas besar PDI setelah Megawati terpilih menjadi ketua umum PDI dan digadang-gadang sebagai calon presiden baru Indoensia. Munculnya sosok Megawati dianggap mengancam stabilitas rezim Orde Baru. Seusai insiden penyerangan markas PDI yang dikenal dengan nama peristiwa kudatuli, PRD dituduh sebagai otak kerusuhan oleh militer. Tak beberapa lama kemudian, perburuan terhadap anggota PRD dimulai. Inilah awal pelarian Wiji. Pada Mei 1998, pengejaran anggota PRD akhirnya dihentikan, menyisakan kesimpangsiuran keberadaan 13 orang anggota PRD, Wiji adalah salah satunya. Sejak saat itu, Wiji merupakan lambang orang-orang yang diburu dan dibungkam. Jika saja demokrasi yang rusak butuh sebuah wajah, wajah tukul yang kusam tak terurus dari Wiji yang bakal kita pajang.
Saya mendapat sedikit pencerah tentang bulan-bulan terakhir dalam hidup Wiji sebelum menghilang tanpa jejak. Istirahatlah Kata-Kata, film karya sutradara Yosep Anggi Noen, merangkum kisah pelarian Wiji di Pontianak, Kalimantan Barat, selama tujuh bulan di akhir 1997. Di kota ini, Wiji dikenal dengan tiga nama samaran berbeda : Paul, Martinus Martin, Aloysius Sumedi. Aktor teater kawakan Gunawan Maryanto berusaha sesetia mungkin memerankan Wiji selama 97 menit ini. Dia bahkan menggunakan gigi tonggos palsu agar terlihat sangat mirip dengan sosok sang penyair. Puisi Wiji, yang memandu jalannya cerita, dibacakan melalui sebuah voice-over, terdengar jelas dan teguh.
Bagi novelis dan eksekutif produser Okky Madasari, Istirahatlah Kata-Kata memantik antusiasme penonton terhadap informasi yang ditutupi-tutupi penguasa (“seperti Wiji, mereka akan terus ingat rasanya ditinggalkan dan dihapus oleh negara,” tulis Okky dalam esai tentang fim tersebut). Biopik ini menggambarkan Wiji sebagai sebagai seorang manusia yang dirundung ketakutan namun tak lantas mengkerut dan sebagai anggota keluarga yang tak pernah jelas rimbanya. Istirahatlah Kata-Kata sayangnya mengabaikan taji puisi Wiji yang memang dari awal sudah sangat konfrontasional. Menurut sang pembuat film, menonjolkan puisi-puisi Wiji tak diperlukan lagi karena penonton sudah bisa merasakannya dalam film, seakan mereka terlibat langsung dalam penggalan Wiji.
Bagi kita, Wiji adalah sebuah kisah yang diceritakan dengan sangat meyakinkan. Kita pun mengenal orang-orang yang ditinggalkan Wiji. Istrinya Sipon, yang dulu pernah digelayuti depresi pasca Wiji menghilang, kini menjalankan usaha jahit di Solo. Fitri Nganti Wani, putri sulung Wiji, adalah seorang lulusan fakultas sastra Universitas Sanata Dharma dan pernah merilis kumpulan puisi berjudul Selepas Bapakku Hilang. Fajar Merah, anak kedua Wiji, mendirikan band bernama Merah Bercerita. Album self-titled Merah Bercerita berisi empat lagu yang mengadaptasi puisi sang ayah. “Bunga dan Tembok”, salah satu gubahan puisi itu, terdengar dalam adegan puncak Istirahatlah Kata-kata.
“Aku suka filmya seperti ini. Filmnya mendramatisir banyak hal dan punya banyak adegan sunyi. Aku suka situasi yang hening karena saat itu pikiran kita berkejaran. Jadi kita bisa mikir ‘oh jadi gini rasanya jadi buronan’” terang Fajar sambil menghabiskan kentang goreng dan menyesap coklat.
Rasanya tidak terlalu gegabah jika kita mengira bahwa Fajar dan Wani sudah berdamai dengan cobaan yang menimpa mereka. “Tidak juga karena saya punya band, ya kan? Kami sering dapat pertanyaan tentang bapak…tapi itu masuk akal toh, saya kan anaknya. Sebenarnya, saya tak tahu banyak tentang bapak—bagaimana beliau menjalani hidup. Seringkali pas orang berbagi kenangan soal bapak, saya trenyuh. Karena kalau kenangannya menyakitkan, saya teringat cobaan yang menimpa kami,” ungkap Fajar.
Semua asumsi saya—bahwa Fajar mengidolakan sang ayah—membuat saya terlihat dungu. Tentu saja, ada banyak hal yang belum selesai. Selalu ada pertanyaan yang dijumpai Fajar yang mengingatkan pada sosok sang ayahnya. “Ya, media kadang kelewatan terutama kalau ada pertanyaan bodoh yang diajukan oleh reporter, pertanyaan yang cuma ingin mencari bahan pemberitaan sensasional. Saya suka media yang menanyakan hal-hal yang mendalam.” ujar Wahyu.
Tetap saja, tak semua sangkaan saya luput. Wiji Thukul memang seorang lelaki pemberani, apalagi dalam menghadapi situasi berat selama pelarian. “Ayah sudah menjadi apa yang dia inginkan: menjadi penulis. Ayah ialah seorang idealis yang menjadu penulis bagi kaum miskin. Ayah menulis tentang hak-hak yang dirampas, tentang kebebasan yang dibungkam. Pada saat itu, belum banyak orang seperti Ayah. umumnya, orang memilih jalan utama dan kalau pun mereka akhirnya bertabrakan, ya normal saja. Ayah memilih langit atau jalur kereta dan akhirnya dia tabrakan juga. Luar biasa.” terang Fajar.
Namun, Istirahatlah Kata-Kata muncu sebagai teks bagi hidup yang dijalani Wiji. film ini juga bisa jadi peringatan atau sebuah inspirasi bagi kita semua. Aku mung pengen kowe ono, ujar Sipon dalam film. Kalimat dalam bahasa jawa itu bermakna Aku cuma ingin kamu ada. Dan dalam puisi yang dinukil jadi nama film ini, Wiji menulis:
tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
Nyatanya, seperti terlihat dalam film itu, kata-kata Wiji lekas bangkit.