Kenapa Orang Bisa Hilang di Tengah PDKT? Para Pelaku ‘Ghosting’ Jelaskan Alasannya

Dalam season ketiga serial televisi Insecure, Issa (diperankan Issa Rae) jadi korban di-‘ghost’ (alias ditinggal menghilang tanpa alasan) dengan cara yang sangat kejam oleh sang gebetan. Nathan, penumpang Lyft (aplikasi transportasi online semacam Uber) ganteng yang menjadi gebetan Issa, terlihat tertarik dengan Issa. Nathan bahkan membantu Issa dalam sebuah proyek dan mengambil inisiatif lebih dulu membicarakan masa depan hubungan mereka. Setelah semua pertemuan dan harapan yang membuncah, tiba-tiba Nathan tidak bisa dihubungi sama sekali. Hilang begitu saja.

Secara psikologis, kehilangan Nathan berdampak sangat negatif pada Issa. Dia jadi kerap terbangun gelisah karena mimpi buruk dan kelewat bersemangat setiap kali dia menerima SMS, sebelum akhirnya kecewa karena Nathan tak lagi mengubunginya. Di salah satu episodenya, Issa menggunakan karakter Molly sebagai alasan untuk pergi ke rumah Nathan. Issa ingin mencari jawaban kenapa dia ditinggalkan begitu saja.

Videos by VICE

Cerita serial ini memang kemasannya lucu, tapi juga memaksa penonton untuk menyaksikan fenomena ghosting yang sering dialami, terutama oleh orang yang sebenarnya benar-benar mengidam-ngidamkan hubungan romantis. Ujung-ujungnya kita berkhayal tanpa henti memikirkan situasi yang membuat si gebetan tidak kunjung membalas pesan kita.

Sebagai orang yang belum pernah meng-ghost orang lain, saya sama bingungnya seperti Issa perihal manusia semodel Nathan. Maka dari itu, aku menghubungi beberapa orang yang berpengalaman dalam seni ghosting untuk mengerti lebih baik jalan pemikiran mereka.

Orang sibuk sama pekerjaan atau hobi tuh sebenarnya wajar. Tapi beberapa pelaku ghosting mengaku fluktuasi kesehatan mental mereka itu sangat terkait dengan pola ghosting masing-masing. Ada juga banyak kasus dimana orang merasa nyaman meng-ghost orang lain tanpa konsekuensi yang serius, hingga ghosting itu digunakan untuk menghindari situasi-situasi canggung yang sebenarnya sepele. Banyak juga yang bahkan merasa ghosting adalah cara yang netral, bahkan sopan, untuk mengakhiri sebuah hubungan.


Tonton dokumenter VICE menyorot persoalan lonjakan jumlah jomblo di Tiongkok, yang memicu masalah sosial serius seputar kencan dan pernikahan:


Mari kita bahas kasus-kasus ghosting yang tidak disengaja. Ini biasanya tipe orang yang lupa membalas pesan atau memang kurang tertarik pada saat itu, tapi ingin tetap menjaga kemungkinan berhubungan di masa depan. Tapi saat si pelaku ini siap untuk membalas pesan, dia khawatir sudah terlambat. Justin Vann, yang tidak sengaja ghosting, bercerita melalui komen Facebook, “Aku rasa sih, kalau udah beberapa minggu aku enggak balas pesan mereka, lebih sopan kalau aku cuek aja daripada aku ngomong ke mereka ‘Hey, maaf ya aku nge- ghost kamu. Pasti aku nanti nge- ghost kamu lagi sih. Makan yuk?’”

Pastinya kalau Justin benar-benar mengirim pesan seperti itu, hasilnya pasti akan buruk. Itu namanya nge-ghosting ganda. Tapi ingat ya, si Justin ini merasa bahwa mengabaikan seseorang itu lebih sopan daripada minta maaf. Logika seperti ini terus muncul-bahwa ghosting itu lebih lebih baik untuk kedua orang yang terlibat, dibanding memberi penjelasan kepada gebetan.

Beberapa pelaku turut mengaku kebiasaan mengabaikan lawan bicara terjadi, karena mereka takut harus mengkonfrontasi diri sendiri. Beberapa contoh yang saya dengar biasanya berasal dari pengalaman memalukan yang dialami pelaku di masa lalu. Dalam beberapa kasus, alasan-alasan ini agak konyol, tapi dampaknya sama saja bagi yang di-ghost. Misalnya Stuart Hoskins. Dia memilih ninggalin gebetan begitu saja di fase PDKT karena perkara sepele. “Beberapa bulan lalu aku ada janjian sarapan sama orang, tapi aku bangunnya kesiangan dan sampai sekarang aku belum bicara lagi sama dia.”

Kadang-kadang, rasa malu ini juga terkait dengan harga diri. Elijah Fortson, melalui komen Facebook saat kuhubungi, mengaku dosanya dipicu trauma hubungan sebelumnya. “Aku pernah nge-ghost orang karena aku udah terlanjur cerita bahwa banyak hal baik yang sedang terjadi dalam hidupku, begitu semuanya gagal, aku malu.” Ada juga yang berpengalaman meng-ghost orang setelah mengalami serangan panik akibat takut lawan bicaranya tidak akan menyukainya.

Setelah retrospeksi, banyak juga yang mengaku bahwa keputusan mereka memang tidak masuk akal dan ghosting itu sebenarnya hanya cara untuk mempertahankan persepsi diri. “Aku pernah nge- ghost orang alih-alih membatalkan janji karena itu membuatku merasa lebih baik, seakan-akan bukan aku yang membatalkan,” kata Em Gibson.

Yang menarik, ketika membicarakan perasaan bersalah karena ghosting, banyak yang merasa ghosting itu sebenarnya taktik perawatan diri untuk menyimpan energi. Menurut Vann, “Ada masa berminggu-minggu aku enggak mau ngomong sama siapa-siapa. Seharusnya aku ngerasa bersalah, tapi enggak tuh.” Mengamini pernyataan ini, Ali mengaku terlalu gampang didekati sama orang baru. Itu justru memicu masalah. “Jadi akhirnya aku malah berteman dengan orang-orang yang aku tidak suka.”

Jawaban-jawaban ini mempertegas logika perawatan diri yang membuat orang tidak merasa bersalah ketika membatalkan janji, menolak ajakan kencan, atau memotong orang-orang toxic dari hidup kita. Ini bisa menjadi alasan mengapa ghosting itu sangat populer. Tipe alasan “perawatan diri” ini memang tidak secara langsung mendorong orang untuk mengabaikan orang-orang yang tidak berbuat salah kepada mereka.

Saya melihat pelaku ghosting cenderung menggunakan bahasa yang sama ketika mereka membela hak mereka untuk “tidak berutang apapun” kepada orang lain. Madeline Esme berpendapat Perasaan ‘tidak berhutang apapun’ itu memang ada benarnya. “Masalahnya kalau apa yang kita lakukan itu secara moral tidak bersalah, ya ghosting itu lebih sopan.”

Bahkan dalam zaman kekinian yang sangat pro-ghosting ini, masih banyak orang sulit menerima aksi menghilang secara tiba-tiba. Tindakan kayak gitu di fase PDKT dirasa sangat kasar dan tidak sopan.

Bailey Garfield menyatakan paradoks yang populer soal kebiasaan ini. “Aku jarang merasa bersalah ketika aku meng- ghost orang, tapi rasanya canggung kalau tiba-tiba ketemu orang yang aku ghost di jalanan.”

Shawn Vizgan mengaku biarpun sulit membenarkan perilaku ghosting, toh nyatanya semua orang melakukannya : “Kalau aku di-ghost, enggak ada yang peduli juga toh? Jadi aku juga enggak peduli kalau nge- ghost orang.”

Jadi solusinya apa supaya pelaku ghosting bisa mengurangi kebiasannya, atau sebaliknya, mungkinkah khalayak umum mau menerima ada banyak orang suka ngilang gitu aja di tahap awal hubungan?

Kebanyakan orang sudah berpengalaman positif menggunakan ghosting sebagai cara untuk melarikan diri dari kegelisahan sosial, hingga mereka melupakan dampak psikologis orang yang di- ghost. Kalian boleh saja enteng mengatakan ghosting itu tidak harus ditanggapi kelewat serius. Sayangnya ini tidak benar. Siklus ghosting akan berlanjut selama pelaku terus-menerus membenarkan perilakunya terhadap gebetan.

Aku tidak menyarankan kalian mendatangi rumah orang yang nge-ghost kamu seperti karakter Issa. Tapi alangkah baiknya kalau kita mendorong diri kita sendiri, teman-teman kita, dan orang yang meng- ghost kita untuk lebih bertanggung jawab karena sudah berkontribusi terhadap fenomena ini secara berlebihan. Ternyata hanya bermodal mengajukan beberapa pertanyaan sederhana saja, para pelaku sebenarnya akan sadar bahwa taktik “perawatan diri” mereka bedanya sangat tipis sama ketidakpekaan terhadap perasaan orang lain.

Follow Taylor Hosking di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.