Kenapa Brand Global ASICS dan IKEA Bisa Kalah di MA Lawan Merek ‘KW’?

Dekade 1950-an, perusahaan sepatu ASICS yang berlokasi yang berpusat di Kota Kobe, Jepang, berniat membuat alas kaki khusus bagi atlet dan pecinta baseball. Setelah beberapa kali percobaan, hadirlah sepatu yang kelak akan melegeda itu: Onitsuka Tiger. Desainnya sangat unik, terinspirasi dari sepatu olahraga Chuck Taylor dilengkapi sol yang bisa menempel di permukaan apapun macam tentakel gurita. Onitsuka Tiger mengubah nasib ASICS (kala itu masih bernama Onitsuka Ltd.) yang belum genap berusia lima tahun. Sepatu baseball tersebut laris manis. Memasuki Abad 21, ASICS adalah salah satu perusahaan apparel olahraga sukses di dunia, berkompetisi dengan raksasa lain macam Nike, Adidas, Skechers, atau Reebok.

Jauh setelah Onitsuka Tiger pertama kali dipasarkan di Negeri Matahari Terbit, dua pengusaha Jakarta memulai petualangannya sendiri di bisnis sepatu. Theng Tjhing Djie dan Liog Hian Fa, mendaftarkan logo dan hak cipta ‘Onitsuka Tiger’ ke pemerintah Indonesia pertengahan dekade 80-an. Hak logo turut dipegang Djie dan Fa sejak 1995, dibuktikan dokumen notaris yang mengatakan mereka satu-satunya pencipta logo tersebut di Indonesia. Mereka memiliki bukti brosur yang menampilkan produk berlogo ASICS di 1996 tapi dijual lewat nama PROFESSIONAL.

Videos by VICE

Terdaftarnya merek ini memicu sengketa bisnis yang panas, setelah ASICS menyadari ada perusahaan lokal memakai merek Onitsuka Tiger tanpa izin. Hasil persidangan panjang yang diumumkan lewat situs resmi Mahkamah Agung sangat mengejutkan.

Kalian pasti berpikir, ASICS pasti menang dong. Perusahaan yang sudah memproduksi merek itu sejak ayah-ibu kalian belum lahir, masa kalah sama dua pengusaha sepatu kecil-kecilan di Jakarta? Ya kan?

Kalian salah. ASICS Corporation kalah di semua tingkatan pengadilan. Awalnya tim pengacara ASICS optimis bisa memenangkan gugatan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 2010. Perusahaan Jepang ini menuntut ganti rugi Rp6 miliar sebagai kompensasi atas pencurian logo dan potensi hilangnya pendapatan karena Onitsuka Tiger sudah dijual selama dua dekade di Tanah Air tanpa ada keterlibatan ASICS sama sekali. Majelis Hakim menolak gugatan ASICS, menenangkan dua pengusaha Jakarta itu karena mereka terbukti lebih dulu mendaftarkan merek tersebut ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pengadilan Tinggi mengulang putusan pengadilan sebelumnya. Dan sekarang, Mahkamah Agung, turut menolak gugatan ASICS.

“[Majelis Hakim] Menolak permohonan ASICS Corporation,” seperti dikutip dari putusan Majelis Hakim di situs resmi MA.

Ketua majelis yaitu Hakim Agung Abdurrahman, bersama hakim agung Soltoni Mohdally dan Hamdi, menyatakan penolakan gugatan ini lebih dipicu oleh kelemahan argumen pengacara ASCIS. “Hubungan hukum yang menyebabkan penggugat mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan ini menjadi juga tidak tegas, dari pencipta atau pemakai hak cipta. Hal ini pun menjadi gugatan cacat formil,” mengutip penjelasan majelis.

Ditilik dari aspek bisnis, kekalahan ASICS bukan cuma perkara legal formal belaka. Konsekuensi putusan majelis mengesankan Onitsuka Tiger sebagai merek sepatu asli Indonesia, sementara ASICS adalah pembuat produk tiruannya. Bukan cuma ASICS bernasib apes seperti ini. Toyota, IKEA, Pierre Cardin, dan Polo Ralph Lauren semuanya kalah ketika berusaha memperjuangkan hak melindungi merek produk mereka yang dibuat tiruannya di Indonesia. Rupanya sistem hukum negara ini memang unik. Tak peduli apakah kalian raksasa multinasional ataupun pemilik kios furnitur kecil, semua setara. Siapapun yang mendaftarkan pertama kali merek dagang tersebut ke negara, dialah yang berhak mengklaim keasliannya.

Pengusaha Indonesia justru tak senang dengan cara kerja pengadilan yang sekilas tampak pro-pebisnis lokal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyesalkan kekalahan ASICS, dan banyak merek global lainnya, di meja hijau. Putusan MA dianggap melegalkan pembajakan dan pencurian properti Intelektual terang-terangan. Kejadian yang terus berulang ini bisa membuat investor asing jadi tak percaya pada kepastian hukum lokal. Dampak buruk lainnya, pasar Indonesia berpeluang dibanjiri produk tiruan dan barang asli yang mahal karena harus impor.

“Seharusnya kalau ada yang menggugat itu diberikan kepada yang berhak, itu kan kelihatan banget,” kata Hariyadi Sukamdani, Ketua APINDO, saat dihubungi VICE Indonesia. “Engga bener. Masa orang berbisnis engga ada etikanya.”

Masalahnya, bagaimana bisa pengadilan memenangkan pemilik merek yang sah, jika masih ada bolong dalam dasar hukumnya? Inilah kekhawatiran yang disuarakan oleh Ragil Yoga Edi, Kepala Bidang Hak Kekayaan Intelektual di LIPI saat dihubungi VICE Indonesia.

“Di rezim merek, kebaruan tidak bisa diuji,” ujarnya. “Misalnya ada sebuah merek yang didaftarkan di negara lain. Kemudian dia gagal, lalai, atau menganggap tidak penting untuk didaftarkan di negara lain, maka ada kemungkinan orang di negara tertentu mendaftarkan merek yang sama.”

Akar masalah dari kekalahan ASICS, dan banyak merek global lainnya saat bersengketa perkara merek, menurt Ragil adalah longgarnya hukum properti intelektual di Tanah Air. Status mereka sebagai perusahaan multinasional sama sekali tak menjadi perhatian majelis hakim.

Sisi buruk lainnya dari proses sengketa yang ruwet ini adalah upaya pemerasan oleh si pemalsu merek. Mereka bisa memanfaatkan putusan pengadilan, memaksa perusahaan pemilik merek dagang yang sah untuk membeli perusahaan mereka berkali-kali lipat dari valuasi yang sebenarnya. Hal itu pernah terjadi lho di Indonesia. Salah satu contohnya IKEA, kalah di pengadilan saat menggungat pengusaha furnitur asal Surabaya. Dua merek dagang perusahaan furnitur Swedia itu, dari 40 merek yang mereka punya, justru tidak diakui oleh Pangadilan Niaga Jakarta maupun Mahkamah Agung karena sudah didaftarkan oleh si pengusaha lokal. Beruntung IKEA telah mendaftarkan merek baru pada 2014 untuk mendukung pembukaan toko resmi mereka di Indonesia yang lisensinya dipegang oleh PT Hero Supermarket Tbk.

APINDO mendesak pemerintah dan legislatif membenahi dasar hukum properti intelektual, agar kasus serupa tak terus berulang. Sukamdani mengaku ingat kabar kekalahan merek Polo, produsen kaos asal Swiss, di pengadilan melawan pengusaha lokal yang bahkan sama sekali tak pernah datang ke pengadilan. Buat Sukamdani, perilaku pebisnis Indonesia macam itu sangat memalukan. APINDO menyatakan mustahil bagi perusahaan sekelas ASICS untuk memantau semua negara dan memastikan merek dagang mereka sudah dipatenkan di masing-masing wilayah.

“Pemerintah atau pengadilan harus memenangkan yang memang berhak punya hak [merek] itu. Kan engga mungkin [perusahaan] asing terus mengawasi,” ujarnya.