Selamat datang kembali di kolom Shit Indonesians Say. VICE berusaha menelisik kebiasaan verbal orang-orang di Indonesia yang tumbuh subur, diinternalisasi, dimaklumi, sampai dianggap wajar dalam pergaulan sehari-hari. Padahal kata-kata atau pertanyaan itu bermasalah banget.
Di Indonesia game saja bisa diakali jadi punya solusi damai. Aku ingat pas SMP dulu pernah main game Play Station 2 Grand Theft Auto: San Andreas memainkan karakter Chris Johnson alias CJ. Saat itu CJ diburu mobil polisi, helikopter, sampai kapal patroli kepolisian. Status karakterku adalah buronan, ada bintang lima di punggungnya. Tiba-tiba kawanku merebut stick playstation yang sedang aku pegang. Sejurus kemudian ia menekan serangkaian tombol. CJ tiba-tiba saja enggak bisa ditangkap polisi. Dia bebas membuat kerusakan. Tak ada lagi bintang, yang menandakan dia harus dibekuk.
Videos by VICE
Kawanku menyebut kode ajaib yang ia masukan itu sebagai: KODE DAMAI. “Pokoknya wajib masukkin kode damai biar mau ngapain aja bebas,” kata kawanku yang saat itu membawa berlembar-lembar dokumen kode cheat hasil nge-print dari warnet terdekat.
Sejak pengalaman main GTA itu, istilah ‘damai’ jadi terasa sakti banget. Realitasnya memang begitu kok. Beranjak dewasa, aku makin akrab sama cara masyarakat Indonesia menggunakan kata “damai” atau “kekeluargaan”. Keampuhan istilah ‘damai’ sampai tercermin pada pemakaiannya di media massa. Contohnya kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami mahasiswi Universitas Gadjah Mada berinisial Agni. Media menggunakan istilah “berakhir damai” soal skandal itu, merujuk keterangan rektorat UGM yang mengklaim pelaku dan korban sepakat menempuh proses non-litigasi.
Suharti, kuasa hukum penyintas Agni dari lembaga perlindungan kekerasan seksual Rifka Annisa, menyangkal jika persoalan ini berakhir “damai” seperti klaim UGM. Menurutnya, penggunaan diksi tersebut menihilkan perjuangan Agni memperoleh keadilan dalam kasus kekerasan seksual yang ia hadapi. Agni pun menolak menggunakan diksi tersebut.
“Kami sangat keberatan, menolak, terganggu dengan penggunaan diksi ‘damai’, Tidak melulu merujuk pada media, tapi siapa saja yang menggunakan istilah damai dalam penyelesaian kasus ini,” ujar Suharti saat dihubungi media.
Pengguna medsos turut panas, ketika muncul kabar penyelesaian skandal di UGM itu berakhir damai. Kebanyakan mereka mengkritisi makna “damai” yang digunakan dalam penyelesaian konflik ini. Padahal, ini adalah masalah yang semestinya bisa diusut secara formal menggunakan hukum positif.
Metode menyelesaikan masalah secara “damai” atau “kekeluargaan” terlanjur mengakar dalam budaya masyarakat Nusantara. Sosiolog Universitas Padjadjaran, Yusar Muljadji menyebut masyarakat Indonesia masih mewarisi karakter masyarakat kolektif yang punya banyak alternatif penyelesaian masalah. Jika kini kita mengenal hukum positif, di saat bersamaan masyarakat masih mengenal jenis hukum lain, misalnya adat, yang bahkan kedudukannya dianggap lebih tinggi oleh sebagian masyarakat daripada hukum formal.
“Damai itu artinya berasosiasi dengan diselesaikan tanpa campur tangan peradilan, tapi menggunakan norma-norma yang bukan hukum positif. Di kita emang tipikal masyarakat komunal ya. Jadi masalah tuh bisa diselesaikan dengan urun rembug,” kata Yusar menjelaskan pada VICE. “Hukum formal dianggap memakan waktu kemudian juga adanya culture expose sehingga bisa mempermalukan. Nah jadi untuk menjaga agar tidak ada pihak yang menanggung malu, itu dilakukan secara damai dalam tanda kutip.”
Di negara ini, yang sering mencontohkan pendekatan “damai” adalah aparat hukum, dalam penyelesaian konflik antara aparat kepolisian dan mereka yang melanggar lalu lintas. Impunitas itu akhirnya menyebar ke semua lapisan masyarakat. Masalah apa yang sebaiknya diatur dalam hukum positif yang diselesaikan dengan hukum masyarakat komunal? Parameternya tidak pernah jelas.
“Makna damai sendiri artinya melenceng. Kadang-kadang kita ini tidak ada padanan kata, untuk hal-hal tertentu. Jadi digunakanlah yang kira-kira mendekati, dan kemudian menjadi kaprah dan lalu menjadi konsensus,” ujar Yusar. Pendek kata, jalan damai akhirnya dipakai dalam resolusi konflik, oleh pihak-pihak yang ingin menghindarkan diri dari rasa malu.
“Sebenarnya ‘damai’ digunakan untuk menjaga harmonisasi. Menjaga agar suatu pihak tidak menanggung malu,” tandasnya.
Minimal, kita harusnya bisa bersepakat kalau istilah “solusi damai” terlanjur jadi preseden buruk. Bisa-bisa, konsep ini membuat siapapun di Indonesia berpeluang kebal hukum, selama ada pihak yang memilih menutupi kesalahan demi menjaga nama baik institusi.
Perubahan sikap merespons kacrutnya tafsir soal solusi damai hanya bisa dilakukan oleh masyarakat. “Kalau sudah ada aturan formal, baku saja itu gunakan. Tidak ada istilah damai-damai. Tapi kan masalahnya cara pandang. Masyarakat kita secara sosial memang punya alternatif-alternatif untuk menyelesaikan masalah,” kata Yusar. “Dengan cara pandang yang lain bisa jadi menciptakan stereotip, bahwa kalau di Indonesia kejahatan bisa dilindungi lewat saja masalah kekeluargaan. Karena yang memandang tidak memiliki alternatif-alternatif lain.”
Kita harus ingat, saat penyelesaian “damai” dan “kekeluargaan” senantiasa dipilih—dan ada saja institusi yang sengaja menghindari sistem hukum positif saat tersandung masalah—yang muncul adalah budaya impunitas. Ketika melanggar pidana bisa diakali agar tak dapat hukuman, karena ada pihak yang takut menanggung malu, mending sekalian dibubarin saja pranata hukum di negara ini.
Aku sendiri enggak bangga jadi bangsa yang “cinta damai”, kalau “damai” sekadar dimaknai sebagai upaya kolaboratif melindungi penjahat dari konsekuensi pidana atas tindakan amoralnya.