Alasan Musik Pop Awal 2000’an Beda Banget Sama Sekarang

Artikel ini pertama kali tayang di i-D.

Pada 22 September lalu, Fergie merilis Double Dutchess, album kedua setelah debut solonya pada 2006. Albumnya dulu terhitung salah satu peninggalan paling bersejarah yang dilahirkan kancah pop dekade 2000-an awal. Tapi kita tidak sedang berminat ngebahas album tersebut. Meskipun Fergie pernah mengeluarkan lagu seperti “Big Girls Don’t Cry,” “London Bridge,” dan “Glamorous” (jangan lupain bagian reffrain ini: the flossy, flossy), kami mengaggap Fergie hanyalah bagian kecil dalam radar budaya pop secara keseluruhan, dan mengkategorikannya sebagai sebuah guilty pleasure. Black Eyed Peas, grup yang melejitkan nama Fergie, masih lebih juara dan berpengaruh.

Videos by VICE

Penilaian kejam kami juga senada terhadap artis lain yang mendfenisikan lagu noughties yang mengobrak-abrik tangga lagu top 40 masa itu: Pussycat Dolls, Paris Hilton, Christina Milan, dan bahkan Lindsay Lohan (yang karir solonya tidak sesuram yang awalnya kami perkirakan). Sekarang sih mereka enggak signifikan lagi, tapi dulu kita semua menganggap nama-nama tersebut sebagai yang “sesuatu banget” pada zamannya. Mereka semua punya satu benang merah. Yakni musik yang mereka buat tidak terdengar lagi di era sekarang, katakanlah, empat tahun terakhir. Kok bisa ya? Apakah budaya pop jaman now sudah berubah sedemikian drastis?

Padahal, dari segi lirik sebetulnya tidak banyak perubahan. Kebanyakan musik pop tahun 2000-an mengangkat topik-topik lebay macam pamer harta, kesuksesan, atau saling sikut antar perempuan (lihat saja lagu “Girlfriend”). Enggak jauh beda juga sih dari tema lirik mendasari hits yang merajai tangga lagu sekarang.

Namun sulit menampik kalau pop music sepanjang kurun 2002-2009 memang zaman berbeda. Bener-bener susah banget buat menjelaskan, apa bedanya, dan kenapa akhirnya era itu dapat dilupakan begitu saja.

Mari kita mulai analisisnya pelan-pelan saja kalau begitu. Seks pada masa itu dipakai sebagai alat untuk mendongkrak nilai jual si penyanyi. Lihat saja polah Christina Aguilera dan album Stripped-nya. Era tersebut juga membuka peluang bagi para bintang pop yang lahir di masa itu untuk melebarkan sayap kreatifnya sebebas mungkin. Artinya, bintang film bisa nyanyi, atau sebaliknya, anggota girlband bisa bikin solo album lalu menjajal karir lain sebagai model atau main film jadi figuran. Kayaknya itu normal ya. Eh tapi sekarang sudah makin jarang lho bintang pop yang multitasking dalam hal karir.

Misalnya saat Nicole Sherzinger, yang gabung The Pussycat Dolls, yang sebelum bersolo karir sukses membuat girlband itu menghasilkan banyak single nomor satu. Begitu juga Lindsay Lohan yang merilis album Rumors pada 2004, berkat kontribusinya dalam musik Freaky Friday dan Confessions of a Teenage Drama Queen. Engga lupa juga waktu Paris Hilton ngeluarin “Stars Are Blind” karena mungkin dia mikir “Ah gue juga bisa kok dikit-dikit nyanyi, kenapa engga usah dilarang?”

Kalau boleh jujur, lagunya Paris Hilton sebenarnya enggak jelek-jelek amat.

Tahun 2000-an itu bener-bener masa anomali alias absurd. Setelah internet melahirkan gaya baru pola konsumi kebudayaan sejak akhir 90-an, dekade awal Abad 21 akhirnya membuka bermacam kemungkinan yang tidak terbayang sebelumnya. Tabloid gosip sejak lama sudah kepikiran membahas perilaku artis-artis yang doyan bertingkah, tapi saat itu kurang ada analisis kritis dan liputan real-time karena belum ada jalur langsung antara para artis dan fanbase-nya (mengingat belum medium-medium penjembatan seperti Twitter, Instagram, atau Facebook). Dengan begitu, citra para artis masih bisa dikemas oleh industri musik dengan cara spesifik, aman, dan tanpa kita bisa terlalu mempertanyakannya.

Makanya, ketika Britney Spears mendadak membotaki kepalanya snediri pada tahun 2007, lalu ramai di Facebook, cara kita memandang bintang pop benar-benar berubah. Sebab media sosial sukses membantu kita melihat aliran komentar dan liputan dari banyak orang, yang semacam menghapus batasan antara si bintang pop SGM ( Sinting Gila Miring) sama kita, para penggemar jelata.

Sejak 2009, ketika Twitter mulai ramai dipakai orang, kebayakan public figure makin mudah untuk kita ikuti dan lihat kesehariannya. Kemudahan akses mantengin perilaku artis otomatis menghilangkan misteri yang menyelimuti para seleb. Bintang film atau superstar musik pop, gara-gara medsos, terbukti cuma manusia biasa; mereka rumit, punya banyak kekurangan, dan seperti kita—terus berusaha memahami makna hidupnya sendiri.

Sederet faktor di atas merupakan etos yang belakangan dianut oleh para bintang pop yang berkarir di atas 2013. Contoh paling gampang tentu saja Fifth Harmony yang menggunakan musiknya untuk merayakan identitas diri serta liberalisasi seksualitas. Demi Lovato dan Selena Gomez memakai medsos menghapus imej Disney mereka, hingga Miley Cyrus yang bahkan single terakhirnya tanpa ragu membahas ceirta putus-nyambungnya dia sama Liam Hemsworth. Oh, hampir kelupaan, Paris Hilton sempet ngasih teaser bahwa dia mau ngeluarin single anyar berjudul “Summer Reign”. Pada akhirnya, popularitas medsos merupakan faktor yang bisa mejelaskan kenapa musik pop berubah drastis belakangan. Baik dari segi sound, kemasan video klip, sampai citra yang ditampilkan oleh artis-artisnya.

Sekarang bintang pop lebih punya ruang untuk mengubah citra, menantang diri, dan membuka diri untuk mengevaluasi ulang jati diri mereka yang sebenarnya. Pop star pada awal dekade 2000’an tidak mendapatkan ‘kemewahan’ semacam itu.

Kadang Fergie bisa diwawancarai majalah, lalu membuka diri tentang sejarah adiksinya terhadap obat-obatan terlarang. Tapi dalam waktu bersamaan, butuh bertahun-tahun bagi Scherzinger akhirnya bisa berbicara tentang kelainan pola makannya saat tergabung di Pussycat Dolls. Sensor diri semacam itu sudah bisa kita duga dan umum bagi pop star muda sepuluh tahun yang lalu. “Confessions of a Broken Heart” dari Lindsay Lohan sebenarnya terang-terangan cerita soal hubungannya yang buruk sama sang ayah, tapi dia baru benar-benar terbuka dalam sebuah wawancara yang terbit 2016.

Kasus lain adalah Ashlee Simpson. Dia menghabiskan hampir sepanjang dekade 2000’an membintang reality show yang menceritakan perjuangannya melawan rasa tidak PD gara-gara bentuk badannya, ketenaran, dan hubungan sama keluarganya. Ashlee Simpson, si anti-pop star yang lebih mirip seperti anak punk dengan rambut dan eyeliner hitamnya (walaupun dia masih sepenuhnya seorang pop star), ternyata baru mulai bisa berbicara blak-blakan tentang kehidupan pribadinya setelah menikah dan melahirkan seorang bayi. Artinya, musik pop dulu beneran penuh kepalsuan, walaupun ada kesan mereka sudah buka-bukaan lewat media. Sosmed beneran mengubah semua standar manajemen citra para artis.

Kemunculan Twitter, Instagram dan Snapchat akhirnya membuktikan bahwa seleb tidak bisa lagi berjarak dari penggemar (dan kita suka banget sama gagasan itu). Tentu kita tidak tiba-tiba jadi bisa kongkow bareng idola. Selebriti masih hidup di dunianya sendiri, namun berkat media sosial, kita seakan punya jalur pribadi lebih memahami apa yang mereka pikirkan, rasakan, serta gejolak yang ada dalam dirinya. Kita sampai mulai merasa makin dekat dengan mereka lebih dalam. Apalagi kalau ditambah perubahan budaya yang memperbolehkan kita untuk terbuka tentang seksualitas, gender, sampai masalah kejiawaan. Semua ini merupakan pertanda kalau si pop star ini sama aja seperti kita, dia telah menjadi penulis ceritanya sendiri sekaligus yang membiarkan kita mengikutinya.

Begitulah. Semua pemaparan tadi beda banget dengan kondisi awal dekade 2000’an. Saat itu tabloid gosip macam US Weekly, InTouch, dan TMZ melahirkan semacam obsesi internasional atas selebriti yang mengalami masalah. Banyak gosip masa itu fokus banget membedah para seleb saat cerai, putus, berantem, atau kepergok melanggar hukum. Kenapa? Karena hanya dengan itulah, pembaca bisa merasa seleb juga hidupnya sama aja kayak orang biasa. Strategi media macam begini dulu efektif banget mendongkrak karir Fergie, Scherzinger, Lohan, bahkan Madona (yang merupakan satu-satunya pop star dimana semua orang nerima-nerima aja kalau dia masih membuat musik sambil berumur).

Berkat medsos, kekangan industri tentang bagaimana popstar harus bersikap tak lagi sama. Setahun belakangan, kita menyaksikan artis kayak Demi Lovato terbuka tentang ketergantungan obat-obatan serta masalah kejiwaannya, atau Selena Gomez juga Lady Gaga yang menceritakan sakit kronis yang mereka derita. Fifth Harmony bahkan sampai bermain di ranah politik, menggunakan Twitter nyinyirin Donald Trump.

Sampai di sini, kita dapat pemahaman lebih lengkap kenapa musik pop zaman sekarang beda banget saat didengar (dan dilihat) dibandingkan 10 tahun lalu. Soalnya, dulu kedekatan antara musisi dan fans tidak terlalu penting (walaupun sering dibahas lewat media). Setelah 2012, tidak cukup lagi bagi seorang bintang pop untuk sekadar merilis single yang nadanya nempel di otak. Sekarang, single itu harus pula mengusung pesan yang membuat orang-orang tergerak memahaminya lebih lanjut.

Sebenarnya perubahan pola komunikasi antara seleb dengan fans tidak cuma dialami sama musisi pop. Aktor dan model juga mengalaminya. Contohnya Kendall Jenner yang akhirnya mulai membahas sisi pribadi dan pandangan politiknya, setelah kampanye gagal total lewat Pepsi tahun lalu. Banyak aktor dilaporkan mulai aktif menggunakan hape dan alat-alat komunikasi untuk menyuarakan pendapat mereka tentang kacaunya suasana politik internasional sepanjang 2017.

Pada akhirnya, kita mulai bisa melihat para bakat-bakat muda sebagai orang yang tergabung dalam sebuah agensi. Mereka pun ngakunya udah teralu keren untuk bentukan industry yang dangkal nan jadul.

Jadi 11 tahun setelah rilisnya The Dutchess, kita perlu melihat seperti apa popstar kugiran macam Fergie mencoba beradaptasi dalam iklim pop sekarang. Mungkinkah dia mampu membuat namanya kembali relevan di era yang penuh usaha mengungkap keaslian jati diri dan transparasi. Para pendengar dan penggemar seleb yang nanti bisa menentukannya. Itupun kalau mereka mengizinkan bintang pop kawakan ini tenar kembali. Beneran lho. Populer tidaknya single pop sekarang benar-benar di tangan penggemar: kalian semua yang punya akses ke gawai!