Kenapa Sih Orang Indonesia Boros Banget Menggunakan Plastik?

Kopi boleh jadi lagi jadi tren di Jakarta, ada puluhan penjual kopi takeout yang bisa dicari di layanan delivery macam Go-Food, tapi kira-kira beginilah gambaran skenario ketika kita membelinya: Tidak cuma dapat kopi, kita juga dapat berlapis-lapis plastik sebagai “bonus”. Kopi dalam gelas plastik yang disegel plastik, lalu dibungkus plastik, bersamaan dengan sedotan plastik yang juga dibungkus plastik. Plastic-ception!

Jangankan beli kopi, di Indonesia, beli sekaleng cola atau sebotol kecil kecap manis saja masih dibungkus plastik. Sehingga ini membuat pola penggunaan plastik untuk belanja di Indonesia berbeda dari negara kebanyakan. Di negara yang penduduknya sudah punya kepedulian terhadap sampah plastik, mereka tak segan-segan memberikan harga khusus yang harus dibayar untuk plastik yang digunakan. Di Indonesia, para pedagang akan keheranan jika pembeli meminta penjual tidak menggunakan plastik pembungkus.

Videos by VICE

“Hah, enggak pakai plastik nih Mbak?” tanya salah satu kasir di sebuah minimarket saat aku membeli sekotak susu segar ukuran kecil. Aku yang saat itu lebih memilih memasukkan belanjaan ke dalam tasku malah keheranan balik. Seaneh itukah jika konsumen memilih barangnya tidak dibungkus plastik?

Dalam sebuah riset yang dilakukan Lamb pada 2018 dengan judul Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs menunjukkan bahwa ada lebih banyak plastik sampah di terumbu karang Indonesia dibandingkan di area terumbu karang lain di Bumi.

Tak heran jika Indonesia menyumbang sekitar 3,22 juta metrik ton limbah plastik, terbesar kedua setelah Cina. Sebanyak 70 persenn merupakan sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga.

Media Internasional mencoba menyoroti persoalan pengelolaan sampah plastik di Indonesia. Namun respon yang didapatkan dari pemerintah justru terkesan seperti penyangkalan bahwa sampah yang mengotori lautan Indonesia, bukanlah dari daratan. Letak Indonesia yang berada di jalur perlintasan lah yang menjadikan negara ini jadi kubangan terbesar sampah plastik. Ya itulah respon pemerintah Indonesia dalam menanggapi laporan yang dirilis Jurnal Science.

“Sampai dengan saat ini masih dilakukan upaya pencermatan kembali sampah-sampah plastik ini dari mana saja karena Indonesia merupakan jalur lintas Asia dan Australia apakah sampah-sampah ini itu berasal dari Asia Selatan atau dari mana, kita sampai sekarang juga belum memastikan,” kata Djati Witjaksono Hadi, kepala biro hubungan masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kependudukan saat diwawancarai BBC Indonesia.

Aku mencoba bertanya ke beberapa toko berbeda. Salah satu yang bersedia ngobrol bareng bersamaku adalah Andi Anas, pramusaji kedai kopi di selatan Jakarta. Ia mengaku selalu bertanya dahulu kepada kustomernya apakah perlu menggunakan plastik atau tidak. “(Pakai plastik) lebih ke servis dan kesopanan sih, kan kita suka tanya mau langsung minum atau engga, kalau mau langsung minum ya kita enggak kasih plastik,” kata Andi kepada VICE.

Ada juga Kasnanto yang sudah belasan tahun menjadi pramusaji di sebuah swalayan di Jakarta Selatan. Kasnanto sering merasa tidak enak jika tidak memberikan bungkusan pada pelanggannya, kecuali jika pelanggan lah yang meminta untuk tidak dibungkus dalam plastik. Ia bahkan mengaku berinisiatif membungkus barang yang dibeli pelanggan sebagai bentuk kesopanan terhadap pembeli.


Baca artikel lain di VICE yang membahas tentang dampak buruk sampah plastik merusak ekosistem Bali:


“Kalau saya suka ngerasa enggak enak kalau pembeli nenteng gitu aja barangnya. Tapi kalau ada persetujuan dari pembelinya ya monggo saja. Kadang misalnya ada yang belanja makanan kucing sama makanan manusia, atau makananan sama sabun pembersih kadang saya suka enggak tega kalau mau menyatukannya dalam satu bungkusan,” kata Kasnanto kepada VICE. “Memang pembeli kita anggap raja. Pembeli kan yang punya uang, supaya lebih aman dan tidak ada prasangka bahwa yang dibawa adalah barang curian.”

Di Indonesia perilaku bungkus-membungkus ini seakan sudah menjadi norma tak tertulis terutama dalam relasi antara penjual dan pembeli. Terlepas dari apakah perilaku demikian menjadi salah satu kontributor terbesar banyaknya sampah plastik di Indonesia. Mungkin tidak bisa disebut sebagai faktor satu-satunya, tapi mungkin bisa menjadi satu dari banyak faktor yang membuat kita santai-santai saja dengan sampah plastik.

Sosiolog Universitas Padjadjaran, Yusar Muljadji menyebut bahwa masyarakat di Indonesia pada umumnya menganut prinsip “Pembeli adalah Raja”. Itulah salah satu hal yang membuat bungkus membungkus di nusantara sangatlah wajar. Masalahnya bukan di kebiasaan membungkusnya melainkan apa yang digunakan untuk membungkus.

Jika dulu orang membungkus dengan bahan yang lebih ramah seperti kain atau daun, kini masyarakat memilih plastik. Yusar menjelaskan bahwa pembungkus dengan bahan plastik merupakan efek dari industrialisasi yang membuat mental masyarakat selalu ingin sesuatu yang efektif, efisien, dan mudah. Inilah yang mempengaruhi kultur dan santun masyarakat Indonesia menjadi sesuatu yang tak disadari berbahaya.

“Maknanya adalah menempatkan pembeli sebagai pihak yang harus dilayani, pembeli adalah raja. Sehingga, jika tidak dibungkus, ya tidak elok, memang ada etika tersebut dalam kultur kita,” ujar Yusar.

Namun tentu saja anggapan “pembeli adalah raja” memiliki akar historis yang lebih dalam. Yusar menjelaskan bahwa ada kecenderungan dalam masyarakat untuk menempatkan posisi pedagang lebih rendah dan tidak setara dengan pembeli. Contohnya, ada kecenderungan memanggil pedagang dengan sebutan “Mas”, “Mang”, atau “Bang” alih-alih “Bapak”; “Mbak”, “Bibi”, “Ceu” alih-alih “Ibu”.

Apakah hal ini juga yang menyebabkan kultur “self-service” di Tanah Air tidak dipahami konsepnya? Misalnya, di restoran cepat saji manapun kustomer yang mengambil makanan di kasir, maka hukum tak tertulisnya kustomer juga yang semestinya membereskan bekas makanannya. Konsep seperti ini tidak sepenuhnya dipahami oleh kebanyakan kustomer di Indonesia.

“Saya pikir semacam norma tak tertulis dan sudah menjadi bagian dari ketidaksadaran orang Indonesia untuk menempatkan pedagang itu di posisi lebih rendah. Yang menyajikan, disebut pelayan dan pelayan memiliki konotasi dan derajat yang lebih rendah,” ungkap Yusar kepada VICE.


Tonton dokumenter VICE mengenai ‘gunung api’ aneh di pinggir laut yang ternyata hasil gundukan sampah raksasa bertahun-tahun:


“Soal mentalitas ‘ingin dilayani’ ya saya pikir di alam bawah sadar ya memang sudah ada, istilahnya ‘kan saya sudah bayar, layani saya’. Karena saya adalah pembeli dan pembeli itu adalah raja, dan raja stratanya lebih tinggi di atas, dan orang yang menjual stratanya di bawah. Maka adanya kecenderungan untuk dilayani itu jelas, itu habitus yang terlanjur mengakar.”

Dengan ancaman serius limbah sampah plastik, rasanya lebih masuk akal jika para kustomer harus belajar untuk tak selalu dilayani, bawa pembungkus sendiri atau tempat makan sendiri terasa lebih masuk akal. Karena selain harus sopan pada pembeli toh, kita sepatutnya harus sopan pada alam juga.