Selang sehari setelah jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di perairan Karawang, ratusan anggota keluarga korban ketar-ketir menunggu kabar di RS Polri Kramat Jati. Entah masih layak atau tidak keluarga yang menunggu itu berharap kerabatnya ditemukan dalam keadaan selamat, terlebih di media seliweran berita-berita yang menceritakan kondisi korban saat ditemukan di laut.
Salah satu anggota keluarga yang menunggu di sana adalah Melissa. Ini bukan pertama kali Melissa dibikin trauma oleh Lion Air. Pada 2014 lalu, anaknya pernah mengalami kejadian tak mengenakkan ketika menumpang Lion Air. Pesawat yang ditumpangi anaknya pada saat itu sempat mengalami delay sampai 10 jam sebelum diputuskan terbang. Sewaktu di udara, masalah bukannya sirna malah makin menjadi-jadi. Anaknya beserta seluruh penumpang di pesawat itu menyaksikan ada ledakan pada mesin pesawat. Beruntung pesawat masih sempat merapat ke bandara.
Videos by VICE
Tapi karena perangkat pesawat sudah tak karuan, proses pendaratan jauh dari mulus. Pesawat mendarat terlalu kencang sehingga ketika menyentuh landasan, ekor pesawat patah dan terseret di landasan. Situasi di kabin sudah kacau, apalagi isi bagasi berjatuhan, semua penumpang panik. Di tencah suasana ricuh itu, seorang ibu-ibu kalut loncat dari pintu pesawat yang terbuka hingga kakinya patah. “Saya trauma,” kata Melissa mendengar cerita anaknya, kepada VICE. “Saya menangis sampai pingsan.”
Kali ini Melissa datang ke RS Polri untuk menunggu kabar tentang Janry Efrianto, 28 tahun, keponakannya yang menumpang dalam Lion Air JT610. Orang tua Jan yang tinggal di Jambi belum bisa menyusul ke Jakarta. Melissa akan terus menunggu di Jakarta sampai tim dokter dari kepolisian bisa memastikan nasib keponakannya itu.
Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) berhasil mengevakuasi puluhan jenazah dari laut Selang sehari setelah kecelakaan nahas yang merenggut nyawa 189 penumpang serta awak maskapai Lion Air JT610. Setelah diangkut dari perairan Karawang, jenazah-jenazah itu langsung diantar ke Rumah Sakit Polri Jakarta Timur untuk diidentifikasi.
Hingga Selasa sore, Polri belum bisa memastikan identitas puluhan jenazah yang diangkut Basarnas dari laut. Ada berbagai metode dan prosedur yang harus dijalani tim investigasi korban bencana (DVI) dalam menentukan identitas korban. Jalan yang paling cepat untuk mengidentifikasi korban, kata Kepala Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto, Kombes Musyafak, adalah melihat ciri-ciri fisik jenazah yang ada. Namun masalahnya tak selalu cara itu bisa dilakukan.
Jalan lain yang ditempuh tim DVI Polri dalam mengidentifikasi korban adalah mengambil tes DNA. Polri menilai metode itu adalah yang paling tepat dilakukan untuk saat ini meski tes DNA memakan waktu lama. “Identifikasi DNA paling cepat itu empat sampai lima hari,” kata Musyafak via konferensi pers Selasa siang tadi. “Kami melakukan pemeriksaan DNA yang cukup banyak,” ujarnya.
Wakil Kepala Polri Komjen Ari Dono menyatakan dari 189 korban, baru 151 keluarga yang tercatat telah menyerahkan data antemortem alias data korban sebelum meninggal. Data-data antemortem itu mencakup keterangan tinggi dan berat badan, pakaian, bentuk dan gambar tato, posisi tahi lalat, foto formasi gigi, dan lain sebagainya.
Selain masalah waktu, tim dokter Polri menemui kendala lain, yakni dalam hal mencocokkan DNA korban pesawat jatuh dengan pihak keluarga. Hingga saat ini masih ada beberapa keluarga kandung korban belum melakukan tes DNA di RS Polri. Tanpa kehadiran keluarga kandung, Polri tak bisa mengambil sampel DNA penyanding. “Kami mengimbau pada keluarga, kepada anak dan orang tua, agar segera ke RS Polri,” kata Musyafak.