Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Kerajaan Arab Saudi Selasan pekan ini mengumumkan dekrit raja yang bersejarah. Perempuan akan diizinkan memiliki Surat Izin Mengemudi pada Juni 2018. Kabar ini mengakhiri diskriminasi yang sudah ditentang oleh para perempuan Negeri Petro Dollar tersebut selama 40 tahun terakhir. Hingga akhir dekade 70’an, perempuan Saudi sebetulnya diizinkan menyetir mobil. Semuanya berubah akibat Revolusi Islam Iran pada 1979. Mulai muncul desakan di dunia Islam, bahwa perempuan berhak bepergian tanpa harus ditemani oleh lelaki, merujuk yang dialami umat muslim Iran. Sejak itu larangan menyetir mulai berlaku, walaupun tidak ada pengumuman resmi. Tandanya, pemerintah tidak bersedia menerbitkan SIM bagi perempuan.
Videos by VICE
Sejak 80’an, berbagai kelompok aktivis perempuan, dari sekian generasi, aktif menggelar unjuk rasa menentang larangan yang terus dipaksakan oleh Kerajaan Saudi. Unjuk rasa terbesar terjadi pada 1990, ketika 47 perempuan secara sengaja menyetir mobil ramai-ramai di Ibu Kota Riyadh, yang segera dibubarkan aparat. Pekan ini, para pegiat perempuan Saudi akhirnya bisa merayakan kemenangan kecil, dari perjuangan yang mereka upayakan selama bertahun-tahun. Termasuk aktivis gaek Aziza al-Yousaf yang masih ingat ketika negerinya mengizinkan perempuan mengendarai mobil di jalanan.
Broadlu menghubungi beberapa perempuan untuk meminta respons mereka atas keputusan Raja Salman melonggarkan aturan soal menyetir tempo hari. Salah satunya Samia El-Moslimany, perempuan 54 tahun yang tumbuh besar di Saudi, lalu sempat pindah ke Amerika Serikat, kemudian kini menetap di Kuwait. Pada 26 Oktober 2013, Samia bersama 60 perempuan lain menggelar protes dengan cara menyetir mobil beramai-ramai. Dari puluhan perempuan itu, cuma Samia dan satu pegiat lain bernama Nahid Batarfi yang dijebloskan ke penjara.
“Bagaimanapun saya gembira. Ini adalah capaian yang patut dirayakan,” kata El-Moslimany. “Tentu saja, kita tidak bisa terjebak euforia. Saya segera teringat kepada banyak perempuan lain yang sudah berkorban dalam perjuangan untuk meraih hak asasi yang terenggut di negeri ini.”
El-Moslimany menyatakan kerajaan Petro Dollar itu sebetulnya sejak jauh-jauh hari sudah berniat mengizinkan perempuan kembali menyetir mobil. Namun, tak jelas karena alasan apa, niatan tersebut selalu ditunda-tunda. “Aku pulang dari kuliah di luar negeri saat usiaku 20 tahun. Saat itu semua orang bilang ‘tunggu lima tahun lagi, perempuan nanti boleh menyetir’,” ujarnya. “Ya artinya dulu kita dijanjikan boleh menyetir tahun 1990.”
Perempuan lain yang kami hubungi adalah Christina Frasi Zahid, dia tinggal di Arab Saudi sejak 1966 hingga suaminya meninggal pada 2001. Dia masih ingat, pada dekade 60’an dia leluasa mengendarai mobil ke mana-mana tanpa kena masalah. “Makanya kami bingung kenapa kemudian muncul larangan tak tertulis. Dulu perempuan Saudi biasa kok bawa mobil sendiri ke pantai atau pesta di tempat teman.”
“Kali ini kerajaan Saudi mau berpihak pada hak perempuan.”
El-Moslimany mengingatkan, bahwa keputusan Raja Salman tidak bisa dianggap sebagai kemenangan perempuan. Alasannya, banyak juga perempuan konservatif yang sebetulnya menganggap “pemberian SIM bagi perempuan melanggar aturan agama.”
Belum jelas pula pandangan mayoritas penduduk lelaki yang selama ini dominan di kerajaan tersebut, dan mendorong agar larangan perempuan mengemudi tetap dipertahankan. Untunglah, menurut El-Moslimany, aturan Raja Salman berupa dekrit. Status hukumnya di Saudi wajib dipatuhi. “Dengan begitu, saya berharap makin banyak orang Saudi yang akan bersikap lebih toleran terhadap gagasan perempuan di luar ruangan dan bisa mengemudi sendiri.”
“Selain itu,” kata El-Moslimany, “berkat dekrit raja orang-orang untuk tak akan lagi punya alasan melarang perempuan mengemudi mobil.”
Bagi negara-negara Barat, Arab Saudi adalah simbol rezim penuh represi yang tidak ramah bagi perempuan. Larangan mengemudi ini sering menjadi sorotan untuk membuktikan betapa Bani Saud—pemimpin kerajaan kaya minyak tersebut—sebagai pemerintahan misoginis. Padahal, jika ditilik lebih lanjut, beberapa aspek kehidupan perempuan di Saudi jauh lebih baik dibanding Amerika Serikat. El-Moslimany mencontohkan partisipasi perempuan dalam politik Saudi yang sangat tinggi. Sebanyak 150 anggota Dewan Syura, setara parlemen di Saudi, 20 persennya diisi perempuan. Jauh lebih tinggi dibanding proporsi lelaki-perempuan di Kongres AS.
Kami meminta pula komentar dari Dr. Modia Batterjee, warga negara Saudi yang sejak dua dekade belakangan aktif menggalang dukungan internasional untuk melindungi hak-hak perempuan di negaranya. “Saya bagaimanapun merasa sangat berbahagia atas dekrit raja,” ujarnya.
Baterjee mengaku selama ini mengalami diskriminasi dalam perkara menyetir ini, tidak hanya oleh lelaki dari negaranya, namun juga buruh migran yang dia pekerjakan sebagai sopir. “Bahkan para sopir itu merasa mereka jauh lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan Saudi. Sekalipun saya mungkin lebih sejahtera, tapi saya tidak diizinkan mengemudi.”
“Semua itu berubah sekarang,” kata Baterjee. “Kali ini kerajaan Saudi mau berpihak pada hak perempuan.”