Separuh terumbu Karang di Grea Barrier Reef Australia—sistem terumbu karang terbesar di dunia—sudah mati sejak 2016. Para ahli menyalahkan perubahan iklim dan polusi untuk pemanasan air laut dan penghancuran margasatwa laut daerah tersebut. Hutan hujan Amazon di Brazil sedang dihancurkan penggundulan hutan, sehingga salah satu ekosistem paling beragam di dunia perlahan berubah menjadi padang rumput kering. Berkat sifat kapitalisme yang menyimpang, industri turisme kini berupaya mengeksploitasi tragedi-tragedi tersebut.
Pekan ini, situs wisata di San Francisco bernama Stride merilis kampanye “Tempat Yang Akan Menghilang Akibat Perubahan Iklim”. Mereka mendorong wisatawan mengiuti tur ke 10 destinasi yang dipasarkan sebagai lokasi paling terancam perubahan iklim. Tujuannya, menurut CEO Stride Gavin Delany, adalah supaya gagasan perubahan iklim tampak lebih “nyata dan mendesak.”
Videos by VICE
Namun, aktivis dan pekerja industri turisme lainnya menyebut aksi ini cari untung doang, dan berpotensi menyesatkan atau bersifat “ greenwashing”—yaitu disinformasi yang menggambarkan aksi tersebut sebagai “ramah lingkungan,” padahal tidak. Selain mempergunakan bencana lingkungan, pemasaran turisme macam ini kesannya munafik, apalagi mengingat dampak industri wisata pada emisi rumah kaca—turisme menyumbang 8 persen emisi rumah kaca global.
Stride menganalisa 40.000 destinasi global untuk menciptakan daftar 10 tempat yang dipasarkannya sebagai tempat terancam perubahan iklim, termasuk Gunung Kilimanjaro di Tanzania dan Jurang Rhone di Prancis. Stride mengklaim akan menyumbang 10 persen penghasilan paket wisata ini kepada “LSM yang mendanai upaya lokal di daerah-daerah rentan dan memastikan tempat yang sering dikunjungi akan bertahan secara ekologis, ekonomis, dan sosial.” Namun penyelenggar tidak mencatumkan info LSM mana saja yang akan dilibatkan.
Alex Speers-Roesch selaku juru kampanye perubahan iklim dan energi di Greenpeace Kanada menjuluki pemasaran macam ini sebagai “kapitalisme bencana.”
“Salah satu alasan kita mengalami krisis ini adalah perusahaan-perusahaan malahan mencari penghasilan alih-alih mencari cara untuk memperbaiki situasi. Sampai ada lebih banyak orang dan institusi yang memprioritaskan kesejahteraan manusia sebelum penghasilan jangka pendek, masalah seperti perubahan iklim dan isu-isu lingkungan akan terus bertahan,” katanya.
Kembali ke kenyataan
Gavin mengatakan kritik ini wajar dan mengklaim kesadaran sosial adalah bagian penting dari misinya. “Saat kamu melihat glasier dimana ia berdiri sekarang, lalu melihat foto glasier yang sama beberapa tahun sebelumnya, kamu bisa melihat secara fisik seberapa jauh glasier itu surut—pengalaman itu sangat menyentuh. Dampak emosional itu memaksamu memperdulikan lingkungan,” katanya.
Gavin mengatakan salah satu hasil “tour dampak perubahan iklim” adalah pengunjung akan termotivasi mengatasinya pada jangka panjang, setelah perjalanan mereka berakhir. Gavin dan pekerja industri turisme lainnya mencatat bahwa pengaitan unsur perubahan iklim dengan paket tour mulai menjadi tren lumrah yang ditujukan pada kaum milenial dan Gen Z.
Menurut pengkritik Gavin, pendekatan ini ternyata berdampak buruk karena mempermudahkan banyak turis mengunjungi tempat sensitif yang sudah terancam perubahan iklim.
Alex dari Greenpeace menolak gagasan bahwa satu-satunya cara membuat orang peduli dengan lingkungan adalah membawa mereka ke tempat jauh untuk melihat dampak perubahan iklim secara langsung. “Ada cara lebih baik: tonton dokumenter atau film virtual reality. Daripada menghabiskan banyak uang untuk mengunjungi tempat-tempat ini, lebih baik kalian menghabiskan uang untuk melindungi lingkungan,” katanya.
Tanda-tanda greenwashing
Jamie Sweeting, wakil presiden layanan perjalanan petualangan G Adventures, percaya kampanye yang memanfaatkan perubahan iklim bersifat eksploitatif.
“Saya tidak setuju dengan pendekatan itu. Saya tidak menyukai gagasan bahwa kita harus mengunjungi suatu tempat sebelum ia menghilang. Sebagai perusahaan turisme, kami bertanggung jawab untuk menjaga tamu dan karyawan kami, begitu juga dengan orang dan tempat yang dikunjungi pelanggan kami,” jelasnya.
Jamie menegaskan bahwa pemasaran unik dan “turisme bertanggung jawab” itu dua hal berbeda. G Adventures telah menciptakan sistem “Ripple Score” yang mengidentifikasi bagaimana tour-tour mereka mengalokasikan dana untuk mendukung komunitas lokal.
Jamie menginginkan para wisatawan melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum melakukan booking untuk mencari tahu apakah perusahaan yang mereka pilih bertanggung jawab atas lingkungan, margasatwa, dan orang lokal yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Aktivisme setengah hati
Gavin mengaku kampanye Stride mungkin “bukan aksi yang memadai,” tetapi setidaknya lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.
Namun, Alex khawatir turisme perubahan iklim akan membuat pelanggan merasa mereka melakukan sesuatu yang baik, tanpa membekali mereka dengan alat-alat yang diperlukan untuk benar-benar mengatasi masalah perubahan iklim.
“Apakah mereka mengatakan kebenaran tentang apa yang dibutuhkan untuk menanggapi isu perubahan iklim? Apakah mereka mendidik pelanggannya tentang isu ini dan meminta mereka berhenti memakai bahan bakar fosil dalam beberapa dekade ke depan? Apakah mereka mengaku aksi-aksi itu berarti kita harus mengubah gaya hidup dan ekonomi kita?”
Ia mengatakan tanpa “pendidikan lengkap” mengenai isu ini, kemungkinan para pelanggan malah tambah bingung, dan destinasi-destinasi terancam perubahan iklim akan justru memburuk.
Follow Anne Gaviola di Twitter
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US