Bintang fashion yang kini 19 tahun tahun, Evita Nuh, segera mengguncang komunitas fashion global tak lama sejak dia pertama kali menyalakan laptopnya dan iseng menulis. Saat itu dia baru 8 tahun dan menulis blog tentang estetika pribadi penuh nuansa ceria dan tomboy. Nuh kadang mengenakan kostum superhero—dari umur tiga sampai lima, seragam pilihannya adalah kostum Spiderman—lalu hari berikutnya mungkin dia memakai terusan monokrom yang dilengkapi jaket olahraga laki-laki dan topi dari Paris.
Nuh muncul dalam laporan Cara Mengidentifikasi Anggota Generasi Z di The New York Times sebagai sosok yang mewakili definisi normcore (fashion unisex). Beberapa media internasional lain membandingkan Nuh dengan sosok influencer Tavi Gevinson. Berbeda dari Gevinson, sejak umur 12 tahun Nuh sudah meluncurkan brand miliknya sendir yang cepat habis terjual di distro-distro seputaran Jakarta, sebelum akhirnya dia “bosan” dengan hobi tersebut. Gaya dan suara Nuh melambangkan keinginan Generasi Z menjadi semandiri dan seasli mungkin.
Videos by VICE
Nuh aktif menggunakan ask.fm, platform medsos yang mana pengguna bisa bertanya secara anonim. Nuh juga terus mengelola situs webnya JellyJellyBeans yang populer, serta akun Instagram dengan lebih dari 74 ribu followers. Remaja ini rutin membagikan tips-tips fashion andalan, ambisi untuk masa depan, dan bagaimana dia mengatasi kegelisahan masa remaja.
Foto-foto Evita, yang dia potret dan tata sendiri muncul dalam sebuah blogpost yang berjudul “Aku kelihatan kayak orang dewasa, tapi sebenarnya aku cuman bocah yang tinggi,” Nuh mengaku dia punya gebetan. “Tahu kan,di tengah semua orang yang doyang ngomong, terus tiba-tiba kamu melihat seseorang yang pendiam?” ujar Evita, yang mulai menulis blog sebagai cara untuk berkomunikasi dengan orang karena mengidap Sindrom Asperger.
Gaya Nuh senantiasa memancarkan individualitas. Saat ditanya tentang prinsip-prinsipnya saat memilih busana, jawaban perancang brand tas EN.PENS ini sederhana sekali. “Aturannya adalah, ya enggak ada aturan!”
Rasa percaya diri Nuh mendorongnya untuk bergaya “androgini eklektik,” karena dia demen “memakai pakaian cowok.”
Jurnalis i-D duduk bareng cewek berambut bowl cut yang juga hobi mengenakan wig ini untuk ngobrol tentang fashion, media sosial, dan lika-likunya dalam menulis.
Dari kecil kamu kayaknya sudah punya estetika pribadi yang kuat. Bagaimana ceritanya kamu menyadari suka sama fashion?
Evita Nuh: Kamu pernah enggak deg-degan pas ngelihat sepasang sepatu? Atau baju terusan? Aku sering ngalamin ini. Aku enggak ngerasa harus memiliki semua barang tadi, tapi aku suka mengagumi keindahannya.
Kapan kamu pertama kali sadar bahwa orang bisa menciptakan identitas diri lewat busana?
Waktu umur lima tahun, aku suka pura-pura main jadi dokter. Aku lagi nyari sesuatu buat dipakai sebagai plester, jadi aku ke lemari ayahku dan mengambil salah satu dasinya. Aku menggunting dan membungkus bonekaku pakai dasi itu. Ayah marah banget sama aku. Aku sih cuman mikir ‘Emang ini dasi istimewanya apa sih?’ Aku minta ayahku beliin aku dasi lagi, lalu aku bandingin kedua dasi yang ada di depan aku. Aku baru sadar ada perbedaan antara bahannya dan jahitannya. Kayaknya itu pertama kali aku paham istilah fashion. Aku sadar kalau di dunia fashion, bisa ada dua hal yang kelihatannya mirip banget, tapi perbedaannya terletak di detailnya.
Gimana ceritanya mulai blogging?
Aku mulai 2008, waktu aku masih naif, umur 8 tahun. Sebenarnya aku enggak ingat kenapa aku bikin blog itu. Aku cuman ingat aku dulu suka browsing, sama kayak semua perempuan yang sayang sama gadget mereka. Aku nge-google “dress lucu” dan aku ketemu blog seorang perempuan asal perancis bernama Alix. Aku langsung terobsesi sama blog itu, jadi aku kepikiran, “Blog tuh ide yang bagus ya, pasti aku juga bisa bikin.”
Dari iseng-iseng tadi kamu mengembangkan blog JellyJellyBeans?
Iya. Banyak orang pengen tahu kenapa nama blognya “jellyjellybeans.” Jawabanku cuma, “Aku suka permen-permen jellybean. Dulu aku bisa pakai baju pink, tapi dalamnya aku sebenarnya asem.” Iya, aku dulu pas umur delapan suka pamer-pamer. Tapi aku enggak kepikiran kalau umurku adalah masalah. Menurutku blogging itu enggak susah, cuman main-main sama baju dan menulis buku harian online. Kerjain PR matematika aja lebih susah. Agak aneh sih, melihat namaku di daftar-daftar blogger muda, padahal aku sudah 7 tahun punya blog.
Bagaimana caramu pakai platform ask.fm?
Aku lahir mengidap Sindrom Asperger. Buat aku percakapan biasa rasanya canggung banget karena aku benar-benar enggak bisa bohong. Aku baru tahu, orang tuh perlu bohong setiap hari. Bukannya aku enggak bisa bohong sih, tapi kalau ada yang nanya aku, aku pasti cerita segalanya. Aku suka ask.fm karena orang bisa menanyakan aku apa saja. Di ask.fm, kalau ada pertanyaan yang aku enggak mau jawab, tinggal dihapus. Coba kalau kehidupan nyata bisa kayak gitu.
Tonton dokumenter VICE saat mewawancarai Toton Januar yang menemukan passion hidup sebagai desainer busana walau dianggap tidak maskulin:
Lantas, kamu dapat inspirasi gaya berpakaian dari mana?
Dari film, musik, buku, dan orang yang aku lihat di jalanan. Pas aku lagi dengerin lagu, aku coba ngebayangin baju yang dipakai sama si penyanyi. Kalau lagi baca novel, aku juga coba ngebayangin baju apa yang dipakai setiap tokoh. Tapi aku sendiri cuman perlu lima menit buat pilih baju. Kalau buat aku inspirasinya datang begitu saja.
Selera fashionmu berubah enggak sih seiring waktu?
Sekarang aku lebih suka perancang-perancang Indonesia kayak Mel Ahyar, TOTON, Peggy Hartanto, Albert Yanuar, dan Sean & Sheila.
Apa item kesukaanmu yang akhir-akhir ini kamu sering pakai?
Aku punya topi silinder yang dibeliin temanku di Paris, sama jaket varsity yang ada tulisan “Mrs. Ezra Miller” di bagian belakang, karena aku suka banget sama Ezra Miller.
Kalau kamu sudah dewasa, mau kerja di dunia fashion?
Aku masih muda kok. Aku demen banget sama fotografi dan juga musik. Aku kolumnis untuk majalah Go Girlz. Waktu aku umur 12, aku sempat membuat rancangan busanaku sendiri, tapi bosen jadi aku berhenti. Sekarang, aku lagi fokus pada brand tasku, EN.PENS.en. Kita lihat saja nanti bagaimana.
Artikel ini pertama kali tayang di i-D.